LUDUS & PRAGMA

66. Akhir dan Awal



66. Akhir dan Awal

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     
0

Mau aku ceritakan satu kisah mengerikan?     

Begini ceritanya ....     

Satu waktu, seseorang mengucap janji padaku tak akan pernah pergi dan meninggalkanku sendirian (lagi). Namun, keesokan harinya ia menghilang.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Gadis berambut pekat sebahu itu berjalan tegas menyusuri lorong sekolah yang mulai menyepi. Suara riuh remaja berseragam sama dengannya mulai melirih dan hilang saat ia berbelok di ujung lorong. Kini hanya tersisa beberapa remaja yang tak asing lagi untuk Davira. Teman-teman Adam.     

"Ra?" Davira terhenti kala satu suara memanggilnya. Tatapan kosongnya kini mulai terisi bersama dengan ingatannya kembali pada saat ia tak sengaja masuk ke dalam kamar Adam beberapa hari lalu—mungkin minggu. Entahlah, Davira terlalu sibuk jika disuruh untuk meningingat hal-hal tak berguna seperti itu.     

"Ra? Davira?" ulang suara lirih nan serak itu. Kali ini Davira memutar tubuhnya. Sumber suara yang memanggil namanya dengan suara lirih itu berada di belakangnya.     

"Ra?" Davira menggulangnya. Benar. Semua orang memanggilnya dengan sebutan 'Ra' bukan 'Dav'.     

"Kalung itu—" ucap Davira lirih. Matanya memejam sejenak. Kemudian kembali terbuka kala menyadari sesuatu. Kalung liontin di laci kamar Adam memang bukan untuknya. Benda itu sudah melingkar apik di leher milik gadis yang menjadi lawan bicaranya sekarang ini.     

"Kalung?" Lawan bicaranya mengulang lirih. Tak mengerti dengan gadis yang tiba-tiba saja mengatakan soal kalung. Tatapannya perlahan turun, ikut mengimbangi ke mana perginya arah sorot mata Davira Faranisa sekarang ini. Gadis itu tertarik dengan benda baru yang melingkar apik di leher Davina. Sebuah kalung ukir bertuliskan nama panggilan gadis yang memakainya sekarang ini.     

Arka tepat sasaran dalam menduga. Davina memakai kalung itu. Hari ini adalah hari jadi mereka yang pertama. Hancur sudah hati Davira, melihat fakta perselingkuhan ada di depan matanya sekarang ini. Meskipun mencoba kokoh dan tak goyah sedikipun, namun tetap saja Davira adalah seorang gadis yang akan merasa sakit kalau kekasih hati yang amat dicintainya diambil oleh gadis lain.     

"Ah, kalung ini?" Davina tersenyum ringan. Mengusap permukaan kalung miliknya.     

"Saudara gue yang memberikannya."     

"Gue gak tanya," sahut Davira dengan nada ketus. Sukses membuat mulut lawan bicaranya itu bungkam dengan memasang ekspresi sedikit terkejut.     

"Di mana Adam?" Davira menyahut lirih.     

"Dia keluar sama guru OR. Katanya mau nemuin perwakilan sekolah lain un—"     

"Bilang sama dia, temuin gue sepulang sekolah." Davira menyela. Remaja di depannya hanya mengangguk tak paham. Bukan soal permintaan Davira padanya, melain tentang nada bicara sekaligus ekspresi tak biasa dari seorang Davira Faranisa ketika menyebut nama Adam.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Senja baru saja ingin menyapa. Menutup sinar sang surya yang begitu agung menghangatkan bumi. Langkah demi langkah kaki jenjang bersepatu pekat itu tegas menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi. Beberapa siswa sudah kembali ke rumah mereka beberapa menit setelah bel sekolah nyaring dibunyikan. Adam ingin melakukannya—maksudku adalah kembali ke rumah. Namun, seseorang memberi tahu padanya tentang Davira yang datang dengan raut wajah yang sedikit berbeda. Nada tegas yang tak biasa membuat si pemberi informasi paham betul kalau gadis berdarah Indo itu sedang kalut hatinya. Mendengar itu, Adam bergegas mencari Davira. Mencari ke segala 'sumber' untuk mengetahui keberadaan Davira saat ini. Dan, Adam menemukannya. Davira ada di belakang sekolah sejak tadi siang. Mengabaikan bel tanda masuk dan bel tanda pulang ke rumah.     

Selepas pertengkarannya dengan Arka siang tadi, ia tak jadi menemui Davira. Dirinya mencoba untuk menenangkan diri dan menguasi situasi runyam yang sudah terlanjur terjadi.     

--dan kini saatnya ia berbincang dengan sang kekasih.     

Adam berlari. Menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke tujuannya. Was-was hatinya kala mendengar kata 'selingkuh' dengan nada penuh penekanan. Adam tak tahu, jika dalam diam Davira begitu memperhatikannya. Segalanya. Bahkan hal kecil sekalipun. Kalimat Arka sukses membuat hatinya takut. Kesalahan bodoh sudah dilakukannya. Seakan tak pernah takut pada karma yang berlaku, Adam berjalan bahagia di atas luka yang menimpa sang kekasih. Mengabaikan fakta bahwa Davira mungkin saja bisa pergi meninggalkannya selepas tau semua perbuatan bodohnya itu.     

Langkahnya terhenti saat melihat perawakan tubuh yang tak asing untuknya dari kejauhan. Tubuh itu juga berdiri mematung untuk menatapnya sayu. Dia, gadis yang dicari oleh Adam. Davira Faranisa.     

--Sebelumnya aku menyepatkan waktu untuk memikirkan segala kemungkinkan yang mungkin terjadi. Ketika bertemu kekasih hatiku selepas pulang dari perang untuk membawa kemenangan yang idamkan. Bagaimana caraku memeluknya? Haruskah aku juga mencium bibir tipisnya? Atau hanya perlu tersenyum sembari meneriakkan kata selamat dan memberi perayaan yang sederhana nan romantis? Manakah yang pantas? Begitu tanyaku. Lalu, aku tersadar bahwa semua itu tidak ada yang pantas setelah kabar itu terdengar sebagai fakta.--     

--Kemudian aku berpikir, aku begitu kecewa. Ingin mengumpatinya. Menyumpah buruk tentang takdirnya. Lalu, aku ingin menamparnya sekuat tenanga. Selepas itu, aku ingin memakinya habis-habisan. Mengingatkan dia tentang bagaimana sakitnya diduakan dan dikecewakan. Dia pria buruk! sangat buruk! Dari segala macam dosa, dialah dosa terbesar yang pernah kucintai. Dan aku ... membencinya. Aku membenci Adam Liandra Kin!--     

Langkahnya semakin dekat pada Davira. Samar bibirnya berucap kala sepasang mata elang itu menatap bagaimana wajah Davira sekarang ini. Mata bulatnya sembab. Tatapan cerianya berubah sayu. Bibir ranumnya memucat dan tubuhnya seakan ingin tumbang kala bayu menerpanya. Ia kacau. Davira terlihat begitu kacau saat ini.     

--Aku ingin membunuhnya, Tuhan! Tidak, aku ingin menamparnya terlebih dahulu. Kurasa lebih baik jika aku memakinya habis-habisan saja! Tidak! Aku .. aku sangat membencinya! Sangat membencinya!--     

"Davira ... aku bisa jelasin soal—" Ucapannya terhenti kala tubuh yang ikut berjalan menghampirinya itu memeluknya erat.     

--Namun, aku hanya bisa memeluknya. Sangat erat. Aku tak ingin melepasnya, Tuhannya. Aku tak ingin.--     

"D-davir-ra?" Adam melirih. Perlahan tangannya ikut mendekap erat gadis yang menangis dalam pelukannya.     

"I'm so sorry ...."     

Davira terisak. Lirih tangisannya terdengar begitu memilukan untuk Adam. Bahkan, Adam juga ingin menangis saat ini. Ia bodoh, sangat bodoh. Teganya ia melakukan hal sekeji itu terhadap Davira. Namun, mau dikata apalagi, Semesta terkadang memang keterlaluan.     

"A-apapun itu. Hubungan apapun itu ... akhiri," ucap Davira lirih disela isakannya. Adam hanya mengangguk. Erat dekapannya menyembunyikan isak tangis Davira dalam dada bidangnya. Mengusap perlahan puncak kepala gadis yang hanya setinggi bahunya itu.     

--Bagaimanapun, dia tetap orang begitu aku cintai. Sebab itu, sekali saja Tuhan aku ingin memaafkan. Memberi sebuah ruang baru dengan menutup kisah lama yang pernah ada. Sebuah kisah yang begitu memilukan. Untukku juga untuk Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.