LUDUS & PRAGMA

39. Malam Pengakuan



39. Malam Pengakuan

0Davira menatap kepergian sang kekasih dengan mobil yang membawa tubuh jangkungnya itu pergi meninggalkan Davira di depan gerbang rumahnya. Selepas momen indah dan mengesankan datang padanya, gadis itu hanya terdiam sembari terus sesekali tersenyum ringan. Memalingkan wajahnya dari sang kekasih agar Adam tak bisa lagi memblokir seluruh fokusnya. Canggung ada dan membentang di antara keduanya selepas semua napsu dituangkan dalam sebuah adegan panas yang menggairahkan. Seakan semua sama-sama lepas kendali tak ada yang bisa menahan mereka berdua lagi, Davira memberikan semua yang diminta oleh sang kekasih, semuanya! Namun tidak untuk mahkota keperawanan yang dipunyai sekarang ini. Meskipun hampir melampaui batasan, akan tetapi gadis itu masih dengan tegas mengingat bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang tak seharusnya berada di dalam adegan yang lebih panas lagi dari ini. Jadi Davira menghentikan aktivitas Adam.     
0

Ia kini menatap masuk ke dalam rumahnya. Lampu utama terang dinyalakan, menandakan sang mama sudah kembali dari pekerjaannya sekarang. Lembur seperti apa yang dikata tadi pagi tak jadi dilakukan oleh wanita yang menjadi single parent untuk mengasuh dan membesarkan Davira dengan segenap rasa cinta dan waras yang dipunyainya. Gadis itu menghela napasnya kasar. Berjalan masuk dan mendorong pintu gerbang yang ada di depannya. Langkah kakinya ringan tak terkesan terburu-buru atau sedang mengendap-endap bak maling yang ingin mencuri.     

"Baru pulang?" Suara menyela. Sukses menghentikan langkah Davira yang kini mematung sejenak kemudian sigap melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kananya. Belum ada jam sepuluh malam. Baru angka sembilan lebihnya beberapa menit ditunjuk oleh dua jarum jam di dalam jam kecil yang melingkar apik nan rapi di pergelangan tangan Davira.     

"Gue tanya sama lo ... baru pulang?" Suara itu kembali menyela. Kalimat dan caranya berbicara juga suara berat yang terdengar jelas kali ini bukan milik sang mama, namun si sahabat Arka Aditya.     

Davira menoleh. Tegas memberi tatapan pada remaja yang duduk rapi di atas gazebo bambu yang dibangun di sisi halaman depan rumah Davira. Lampu remang tak mampu menangkap perubahan raut wajah Arka dengan benar, memaksa Davira Faranisa untuk berjalan mendekat padanya sekarang ini.     

"Lo udah lama duduk di sini?" tanya Davira mengabaikan kalimat tanya dari Arka, toh juga tanpa ia menjawabnya, Arka pasti sudah bisa melihat dengan benar dan memahami bahwa datangnya Davira beberapa detik lalu sebab sang kekasih baru saja menghantarnya pulang dari janji temu yang mereka lakukan hari ini.     

Davira meletakkan tas selempang kecil yang tadinya menggantung di sisi bahunya tepat di samping tempat duduk Arka, melepas sepatu namun tak mau ikut bersila seperti yang dilakukan oleh sahabatnya itu.     

"Kalian pergi ke mana aja jam segini baru pulang?" Arka kembali bertanya. Tak puas dengan diamnya Davira yang mengabaikan kalimat tanya darinya beberapa menit yang lalu.     

"Kemana-mana." Gadis itu menyahut. Tak ingin banyak berbicara dan bercerita perihal apa yang dilakukan dan temat seperti apa yang dikunjunginya bersama sang kekasih hati. Jika Davira mengatakan semua dengan jujur, pasti Arka akan marah besar sebab 'hal tak wajar' yang dilakukannya dengan Adam di dalam mobil. Jadi ia memilih untuk bungkam sebab tak ingin banyak berdusta pada sang sahabat.     

"Ngomong-ngomog mama tau lo ke sini?" tanya Davira menoleh ke arah ambang pintu yang tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda sang mama keluar dan menyambut kedatangan Arka malam ini.     

"Baru saja mama lo masuk beberapa menit yang lalu, katanya dia mau istirahat." Arka mempersingkat. Tak mau banyak membahas pasal mama gadis cantik yang terlihat sedikit kacau dan lelah. Entah apa yang dilakukan Davira dengan Adam tadi, namun yang jelas paras cantik Davira terlihat tak rapi seperti biasanya.     

"Kenapa lo ke sini malam-malam?" tanyanya menyela.     

Arka menaikkan sisi bahu lebarnya. Sejenak melirik Davira kemudian ikut mengudara menatap bentangan cakrawala. Langit memang tak indah malam ini, hanya ada beberapa bintang tanpa kehadiran sang dewi malam. Namun itu terlihat sepi dan nyaman. Membuat siapa saja yang memandang pasti akan merasakan sensasi damai nan tenang ada di dalam jiwa.     

"Lo ada di depan kantor bimbingan konseling kemarin, menunggu beberapa saat dan mendengar semuanya dengan jelas. Tapi saat gue dan Adam keluar, kenapa lo pergi?" Arka mulai berbicara. Seakan menyampaikan maksud dan tujuannya datang kemari untuk menemui sang sahabat.     

Arka paham sekarang, hubungannya dan Davira sebagai sepasang sahabat tak sedekat dan seharmonis dulu. Tak ada lagi kelucuan yang tercipta, tak ada suasana akrab saling berbagi sakit dan bahagia bersama. Semua terasa lain sekarang. Entah Arka yang sedang mengasingkan dirinya dari perubahan sifat sang sahabat, atau memang Davira lah yang terasa begitu asing untuknya sekarang. Bukan sebab Adam, namun sebab mereka sudah mulai dewasa dan menemukan cara hidup juga berpikir dengan cara mereka masing-masing.     

"Lo lihat gue?" Davira menyahut dengan nada lirih. Sejenak menatap sisi bibir Arka yang masih meninggalkan luka sebab tinju yang dilayakan Adam padanya.     

"Gue lihat dari jendela ruangan."     

Gadis yang ada di sisinya kini tersenyum ringan. Suskes mencuri perhatian dari sang sahabat yang menoleh sembari sejenak mengernyitkan dahinya.     

"Kalau gue gak pergi, memangnya gue bisa apa?" tanya Davira membuat remaja yang di sisinya semakin tegas memberi fokus untuk si sahabat. Tatapan Davira sendu sediki sayu. Senyum memang dikembangkan di atas paras cantiknya, namun itu terlihat begitu palsu dan terkesan dipaksakan.     

"Kalau gue membela dan membawa Adam pergi dari sana, itu akan membuat lo berpikir bahwa gue benar-benar berubah dan meninggalkan persahabatan kita. Kalau gue membela dan menarik lo untuk menjauh dari sana, Adam pasti akan sakit hati. Jadi berpura-pura tak tahu adalah hal yang bisa gue lakukan." Davira menjelaskan dengan rinci. Memindah tatapan menuju ke atas. Kembali menatap bentangan cakrawala dengan langit membiru yang gelap.     

"Bener juga. Itu pasti membingungkan buat lo."     

"Apa yang membuat kalian bertengkar lagi?" Gadis itu kembali menyahut. Tak ingin menatap Arka hanya terus kokoh dalam posisi awalnya.     

"Adam gak cerita?"     

"Gue yang gak mau memperpanjang masalah ini sama dia, ini hari baik untuk kita." Ia menimpali. Tersenyum kecut untuk menutup kalimatnya.     

"Gue bilang gue akan merebut lo dari Adam, kalo dia buat lo menangis dan sakit hati." Remaja jangkung dengan baju tebal yang membalut tubuh kekar berotot pepak miliknya itu berbicara dengan jujur. Nadanya tegas seakan tak ada keraguan yang tersisip di dalamnya.     

"Gue juga bilang kalau gue suka sama lo." Arka mengimbuhkan. Kali ini benar mencuri perhatian gadis yang ada di sisinya.     

"Itu sebabnya Adam marah dan memukul gue."     

"Kenapa lo mengatakan semua itu dan membuat keributan?" tanya Davira menelisik.     

"Karena gue ingin membuktikan keraguan yang ada di dalam diri lo, tentang Adam yang mulai berpaling dan menduakan lo."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.