LUDUS & PRAGMA

40. Rahasia Termanis



40. Rahasia Termanis

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     
0

Rupa boleh sama, tapi untuk rasa harus berbeda.     

-Adam dan Raffa-     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Sebuah rasa memang indah adanya. Memberi warna dalam setiap cerita klasik tentang kita. Mau diberi warna apa, tentu kita yang menentukannya.     

Jingga adalah warna mirip senja yang begitu menyilaukan mata.     

Merah adalah warna tegas yang mewakili semangat rasa yang berapi-api.     

Biru adalah warna sejuk yang menenangkan segala amarah.     

Hijau adalah warna damai yang menuntun jiwa dalam sebuah ketenangan.     

Abu adalah satu warna hitam yang memudar tapi putih belum sampai.     

Hitam adalah warna gelap yang begitu menyeramkan.     

Lalu putih adalah warna bersih sebersih harapanku teruntuk mu.     

Lalu, kamu bertanya ... mengapa tak disebutkan warna merah muda?     

Dalam diamku merangkai kata, aku menemukan kalimat ini.     

"Merah muda itu warna yang tak pasti. Orang bilang itu hanya untuk perempuan. Tapi tak dosa bukan jika aku juga menyukainya? Fakta lain bahwa merah muda itu untuk perasaan cinta saja. Sebenarnya situasi apapun bisa digambarkan olehnya."     

"Lalu?"     

"Aku tak ingin menyebut warna itu untuk menggambarkan kita. Sebab apa? Sebab kita itu pasti."     

Lalu kamu tersenyum. Bagai bunga ceri yang mekar di musim semi, kamu begitu indah. Setiap tingkah yang kamu perbuat selalu sukses membuat ku tertawa senang, bahkan saat jiwaku sedang kalut sekalipun.     

Kamu pandai menghibur dengan rangkaian kata yang indah nan rapi. Menyejukkan telinga kala kamu mulai bersajak. Tak perlu berirama atau disertai melodi, cukup berucap nanti selalu tertancap dalam kalbu.     

Kamu pandai bersenda gurau untuk meredakan suasana kalut dan aku suka itu.     

Namun, sayangnya ... itu semua bukan untukku saja. Sebab kamu itu orang baik pada siapa saja. SIAPA SAJA.     

YA. SIAPA SAJA.     

Davina menutup novel yang ia baca kala dirinya menyadari bahwa teman sebangkunya sudah menunggunya di ambang pintu. Sebelum kelas dimulai pagi tadi, Davira—si gadis bertubuh semampai— itu mengajaknya untuk mengambil paket yang sengaja dikirim ke sekolah sebab ia akan memberikannya langsung pada sang kekasih hati.     

"Lama banget sih." Davira mengumpat lirih. Sedang yang diberi umpatan hanya tersenyum kuda bak manusia tak berdosa.     

"Kenapa paketnya dikirim ke sekolah?" tanya Davina mengikuti langkah Davira yang sudah mendahuluinya berjalan.     

"Nanti temenin ke ruang basket sekalian ngasih ke Adam." Mengabaikan pertanyaan dari teman sebangkunya itu, Davira hanya terkesan cuek tak peduli. Untuk Davina, sifat mantan teman sebangkunya itu memang terkadang begitu. Kalau sedang bersamanya, Davira adalah gadis yang terkesan cuek dan tidak peduli dengan siapapun atau apapun berita buruk tentangnya. Namun, saat sedang bersama Adam Liandra Kin, Davira adalah gadis yang manja, yang sabar, yang baik, dan penyayang.     

Bisa begitu? Kalian tahu, cinta terkadang selain membodohkan jiwa raga juga mampu merubah sifat manusia. Lucu bukan? Tentu.     

"Isinya apa?" tanya Davina lagi. Kali ini Davira menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadap Davina sembari melipat tangannya rapi.     

"Karena kalau dikirim ke rumah Adam atau rumah gue gak bakalan ada yang terima jam segini. Kedua, isinya adalah kado buat Raffa. Hari ini dia ulangtahun." Davira melepas lipatan tangannya. Memajukan tubuhnya sembari tersenyum aneh pada Davina. "Menjawab semuanya?"     

Davina diam sejenak. "Ngapain lo ngajak gue?"     

Gadis itu kembali berjalan. Diikuti oleh Davina yang kini mulai menyeimbangi setiap langkah yang diambil oleh Davira.     

"Karena gue males sendirian."     

"Cih!" Davina mengumpat lirih kemudian. Terkekeh kecil sembari memukul kasar bahu sahabatnya itu.     

Satu fakta yang disimpan baik oleh Davina perihal mantan teman sebangkunya itu, Davira tak suka berjalan sendirian kalau ada yang bisa menemani. Tak harus Adam, tak harus juga Arka ataupun Rena. Kalau Davina yang tergolong tak se-akrab dengan Davira seperti dulu bisa menemani, maka ia akan memperbolehkannya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Keduanya kini berjalan beriringan menuju ruang basket—tempat di mana Adam Liandra Kin berada.— Davina yang tak henti-hentinya membolak-balikkan kotak yang sudah dibungkus rapat itu akhirnya memutuskan untuk meraih pundak teman sebayanya. Memaksa langkah gadis berambut pekat itu untuk terhenti sejenak.     

"Isinya jam tangan." Davira tiba-tiba berucap. Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh mantan teman sebangkunya itu. Davina hanya mengangguk paham lalu kembali melanjutkan langkahnya mengekori Davira.     

"Permisi, Adam?" panggil Davira lirih kala tubuh semampainya sudah sampai di ambang pintu. Semua penghuni ruangan yang tak terlalu luas itu menoleh pada sumber suara. Dua gadis berparas ayu sedang menunggu di depan pintu, rupanya.     

"Paketnya?" Suara berat khas milik Adam terdengar dari bilik ganti. Davira hanya mengangguk tanpa mau menatap benar wajah kekasihnya itu.     

"Ada Davina juga," lanjut Adam kala menyadari seorang gadis dengan perawakan kurus tinggi yang sedang bersandar di dinding samping jendela ruang basket.     

"Nanti aku jemput jam lima, oke?" Davira hanya mengangguk sembari mengerang ringan.     

"Kok kalian jadi keliatan canggung gitu sih?" Seorang teman menegur. Benar, Davira sedang bersikap tak seperti biasanya terhadap Adam.     

"B-biasa aja." Davira menjawab cuek tanpa mau melihat Adam yang hanya terkekeh kecil di sisinya.     

"Kalian habis ngapain emang kok jadi  canggung?" Remaja berkepala plontos ikut menimpali. Semuanya terdiam menunggu jawaban dari Davira maupun Adam.     

"Ciuman ya?" sambungnya sembari tertawa lepas.     

Davira mendongak cepat. Melirik Adam sekilas lalu menepuk-nepuk kedua pipi tirusnya perlahan—Davira takut, kalau pipinya berubah menjadi merah sekarang ini.—     

"Lo nyium Davira, Dam?"     

Semuanya kini saling menatap. Bukan hanya Adam dan Davira, namun juga Davina yang masih kokoh dalam posisi awalnya juga Arka—remaja bermata elang— yang hanya menggeleng tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Bukan, ia bukannya tak percaya. Hanya sedang meyakinkan dirinya bahwa hal seperti itu tak pernah terjadi pada Adam dan Davira.     

"Ngomong sekali lagi gue lempar lo ke neraka!" Davira menyentak lirih. Samar-samar nada bicaranya terdengar begitu marah namun juga menggemaskan untuk Adam.     

Remaja berotot pepak itu mengacak kasar rambut Davira. Mencubit pipi tirusnya sembari menatapnya penuh kehangatan. Posisi tubuhnya sedikit membungkuk sekarang ini untuk menyamakan tingginya dengan gadis cantik yang menjadi kekasih hatinya genap dua tahun kemarin malam.     

"Kamu mau aku cium?" ucap Adam kembali menggoda Davira. Semuanya bersorak sembari tertawa lepas. Sedangkan Davira hanya diam sembari menahan rasa malunya sekarang ini.     

Adam ... sedikit sialan kali ini! Bagaimana bisa ia membuat lelucon seperti itu?     

"Lagi?" lirih Adam berbisik pada Davira.     

"SINTING!" jawab Davira kemudian beranjak meninggalkan Adam. Gadis itu tak ingin kalau semua orang melihat parasnya yang berubah warna menjadi merah bak kepiting yang sedang direbus sebab kalimat singkat nan lirih yang terucap dari bibir sang kekasih.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.