LUDUS & PRAGMA

43. Remaja Penuh Teka Teki



43. Remaja Penuh Teka Teki

0Semuanya sudah tertata dengan rapi. Ada balon warna warni, beberapa lilin yang sengaja ditata untuk menghias suasana dan dekorasi pesta yang didominasi warna biru muda—warna kesukaan Raffardhan Mahariputra Kin— Beberapa saat kemudian, lagu yang menjadi ciri khas sebuah pesta ulang tahun dinyanyikan. Adam terlihat begitu antusias kala menyanyikannya. Hari ini adalah hari yang sangat istimewa untuk keluarga Kin. Sebab putra terakhir mereka sudah menjadi remaja yang genap berusia 17 tahun. Bagi Adam, adiknya adalah penerusnya nanti. Bukan menjadi seorang juara basket, namun menjadi penerus yang akan membuat kedua orang tuanya bangga. Sebab, Adam tak tertarik pada dunia saham maupun investasi. Jadi, seluruh hak perusahaan akan jatuh pada Raffa mulai sekarang.     
0

"Selamat ulang tahun, anakku." Suara melengking wanita berusia 40 tahunan itu terdengar begitu antusias sembari mencium pipi putra sulungnya.     

"Happy birthday, Raffa." Davira menimpali kemudian. Raffa yang tadinya terfokus pada mamanya, kini mulai menatap paras ayu Davira. Dia cantik, sangat cantik sore ini.     

"Terimakasih, kak." Raffa menjawab lirih. Tatapannya masih fokus pada paras ayu Davira. Polesan make up yang menjadi pendukung paras ayunya hari ini. Gaun pendek selutut bewarna merah jambu dengan sepatu heels berpita dengan warna senada membuat penampilan Davira bak malaikat tanpa sayap untuk Raffa.     

"Kak Davira udah beliin ini buat kamu." Adam menyela di sela lamunan Raffa. Menyodorkan kotak hitam yang sudah dihias dengan pita biru muda di tengahnya.     

"Semoga suka, Raffa." Davira kembali membuka suaranya. Sembari berjalan mendekat lalu meraih tangan Adam dan merangkulnya. Di depan Raffa? Tentu. Bahkan di depan kedua orang tua Raffa dan Adam.     

"Terimakasih, kak," jawab Raffa lirih.     

Gadis itu tersenyum ringan. Menatap perubahan ekspresi wajah remaja jangkung yang baru saja genap menginjakkan kakinya di masa remaja.     

Suasana kembali meriah. Beberapa orang asing kini mulai berdatangan untuk memberikan ucapan indah teruntuk tokoh utama sore ini. Raffardhan Mahariputra Kin.     

Adam ikut masuk ke dalam obrolan mereka. Mengabaikan Davira yang masih mencoba menyesuaikan suasana asing di sini. Tak ada satu pun yang dikenalnya selain keluarga Kin. Pun, sang tuan rumah kini mulai meninggalkannya selepas berpamit pada Davira untuk menyambut tamu istimewa di sudut halaman. Pria berjas rapi dengan aksesoris mahal yang menghias tubuhnya. Dalam tebakan Davira, itu adalah teman bisnis papa Adam. Datang sebab undangan terhormat yang diberikan untuknya sebelum ini.     

Davira hanya bisa mengangguk. Tersenyum manis mengiringi kepergian kedua calon mertuanya itu. Gadis itu kini berjalan mendekat ke arah sang kekasih. Menyenggol bahunya untuk membuat Adam menoleh dan fokus sejenak pada Davira.     

"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" Davira menepuk perlahan pundak Adam yang sedang fokus berbincang dengan teman-teman sang adik semata wayang.     

"Tau jalannya?"     

Davira mengangguk. "Bisa tanya mama kamu di dalem nanti."     

Adam hanya mengangguk. Membiarkan Davira pergi kemudian. Gadis itu berjalan santai. Masuk ke dalam rumah tanpa ragu. Matanya sesekali menyusuri setiap sudut ruangan yang ia lewati. Ramai tentunya, tapi tak seorang pun dia kenal di sini. Mama Adam entah kemana perginya, di kamarnya barangkali. Kalau sang papa, tentu berada di halaman depan dengan rekan kerjanya.     

"Kak Davira?" Baru saja Davira mau melangkah masuk ke dalam kamar mandi, namun suara Raffa menghentikannya. Sukses membuat gadis cantik itu menoleh padanya. Sejenak menyipitkan matanya sebab tak menyangka bahwa Raffa benar mengikutinya sampai sini.     

"Raffa?"     

"Makasih kadonya," pekik Raffa lirih. Davira hanya tersenyum sembari mengangguk ringan.     

"Adam yang—"     

"Kamar kak Adam ada di atas. Pintu kayu pertama dengan gambar bintang kecil di sisinya." Raffa memotong perkataan Davira. Gadis bergaun merah jambu dengan pita kecil yang melingkar di pinggangnya itu hanya diam tak mengerti.     

"Kenapa dengan kamar Adam?"     

"Kakak masih ingat perkataan ku malam itu?"     

Davira diam sejenak. "Kamu masih mau nuduh Adama selingkuh dari aku? Raffa kamu itu keter—"     

"Bukan itu."     

Davira diam. Bungkam mengunci rapat bibirnya kala suara tegas kembali memotong kalimatnya.     

"Kalau ragu, datang saja padaku," lanjut Raffa semakin membuat Davira tak mengerti dengan jalan pikiran remaja satu ini.     

"Jadi?" tanya Davira lagi. Memincingkan matanya sembari terus mencoba menerka dan meneliti apa kiranya yang sedang ada di dalam pikiran remaja jangkung di depannya itu.     

"Kamar kak Adam gak dikunci. Kalau kak Adam tanya kemana kak Davira aku bilang aja Kak Davira ngobrol sama mama jadi lama." Raffa semakin keluar dari topik pembicaraan. Gadis yang tadinya hanya diam mematung sembari mencoba menerka isi pikiran adik dari kekasihnya itu kini mulai melirik lantai atas tepat di mana kamar Adam berada.     

"Tidak ada salahnya memeriksa." Raffa kembali menggurui. Tanpa mau mendengar pembelaan dari Davira untuk Adam, remaja berparas identik dengan sang kakak itu mengimbuhkan. Nadanya tegas seakan tak ingin Davira melewatkan apapun kali ini. Kesempatan tak datang untuk kedua kalinya! Itulah kiranya yang ingin dikatakan Raffa untuknya.     

"Apa yang harus kuperiksa di sana nanti?" Davira berbasa-basi. Tersenyum aneh untuk mengakhiri kalimat singkatnya barusan.     

"Apapun. Kakak mungkin akan menemukan sesuatu nanti." Raffa menyahut. Menimpali dengan tegas tak ada keraguan apapun sekarang. Tatapan antusias dan menggebu itu menandakan bahwa ia ingin memaksa Davira untuk masuk dan menuruti segala kalimat perintah darinya saat ini. Tak ingin banyak bantahan juga sanggah dari seorang Davira Faranisa.     

"Kamu ingin aku menemukan apa?" katanya lagi. Kali ini berjalan mendekat menjauhi pintu kamar mandi yang baru saja ingin dibuka olehnya.     

"Apapun yang bisa kakak temukan."     

Davira kini menghela napasnya. Ringan senyum kembali mengembang di atas paras cantik gadis itu. Ia menunduk sejenak. Menatap ubin putih yang samar memantulkan bayangan wajah berparas jelita miliknya.     

"Kalau aku berhasil menemukan itu, kamu mau apa?" tanya Davira mulai berkelit. Kali ini ia tak ingin mengalah dan diam saja. Baginya, Raffa adalah remaja labil yang tak mengerti apa itu cinta, hubungan harmonis, dan kepercayaan yang patut dikokohkan. Semua yang dilakukannya sekarang ini hanya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, Davira Faranisa.     

"Aku akan menjawab semua pertanyaan kakak. Tanpa kebohongan dan tanpa hal yang di—"     

"Raffa!" Davira kini menyahut. Memotong kalimat remaja yang baru saja menyentalkan lensa pekat pada Davira.     

"Kamu keterlaluan. Aku membiarkan kamu selama ini bukan untuk mengikuti semua permintaan kamu. Aku hanya ... kasihan." Davira mulai menjelaskan. Tatapannya sayu. Samar keningnya berkerut tanda masih tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Raffa saat ini.     

"Aku juga kasian dengan kakak. Jadi masuk dan periksalah. Memeriksa tak ada salahnya." Ia mengimbuhkan. Tersenyum ringan kemudian berlalu untuk meninggalkan Davira.     

Davira diam. Haruskah? Haruskah ia mendengar dan melakukan yang dikatakan remaja labil itu? Ataukah ia hanya sedang bergurau dengannya pasal Adam?     

Gila. Itu defisiensi pertama tentang semesta dari seorang Davira Faranisa.     

...to be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.