LUDUS & PRAGMA

44. Senja Yang Manis



44. Senja Yang Manis

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     
0

Cinta bukan pasal seberapa pandai kah kita saling membohongi, dengan siapa yang paling pandai memberi kepercayaan dialah yang akan menang. Tapi, cinta itu tentang bagaimana saling memberi kepercayaan, dengan siapa yang paling percaya dialah yang paling mencintai.     

-LUDUS dan PRAGMA-     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Davira membuka perlahan pintu kayu dengan bintang kecil di sisinya secara perlahan. Sedikit ragu memang, bagaimana kalau Adam melihatnya dengan penuh kelancangan senja ini? Bagaimana kalau Adam memarahinya dan juga membencinya sebab masuk ke dalam ruang pribadinya tanpa seijin si tuan pemilik?     

Namun, Davira tetap ingin melanjutkan langkahnya. Perlahan namun pasti irama kaki milik gadis itu kini masuk ke dalam ruangan yang didominasi cat hijau muda dengan ranjang king size yang tentunya adalah milik Adam.     

Davira tertegun sejenak kala foto dirinya terpampang nyata di sisi kaca rias milik remaja berperawakan kurus tinggi itu. Bibirnya tersenyum kemudian. Bagaimana bisa ia tak tahu jika Adam diam-diam adalah remaja yang begitu romantis?     

Langkahnya kini mulai mantap berjalan mendekat ke arah foto dengan bingkai cokelat tua di sisi cermin persegi milik sang kekasih, sesaat kemudian ia terhenti. Duduk di kursi dan kini paras ayunya sudah tergambar jelas di dalam cermin persegi milik Adam. Ia menatap sejenak wajahnya. Menghela nafas untuk menenangkan hatinya yang sedang was-was saat ini.     

Bersama dengan tubuh semampainya, kedua bola mata Davira berputar menyusuri setiap sudut ruangan. Mencoba untuk mulai menyesuaikan diri dengan ruangan bergaya modern yang sangat asing untuknya—mengingat Davira tak pernah masuk ke kamar Adam meskipun bukan pertama kalinya ia datang ke rumah kekasih hatinya itu.—     

"Laci Adam." Davira melirih. Beranjak menuju ke sudut ruangan dengan meja kecil yang menjadi pembatas antara dirinya dengan jendela besar bertirai abu-abu.     

Perlahan tangan Davira menarik laci itu. Terhenti saat kotak kecil berwarna merah darah tertangkap oleh sepasang lensa pekat miliknya. Ragu tangannya meraih benda itu.     

"Ini punya Adam?" Davira mencoba untuk menerka isi kotak di dalamnya. Saat tak ada jawaban yang membuatnya yakin, gadis berparas ayu itu memutuskan untuk membukanya. Perlahan namun pasti. Netranya kini mulai menangkap benda berkilau indah yang menggunggah daya tariknya. Kalung cantik berwarna silver yang terlihat sederhana namun elegan.     

"D-a-v." bibir merah maroon-nya mengeja seiring dengan jari jemari lentiknya yang mengusap perlahan ukiran yang menjadi inti keindahan kalung dalam genggamannya itu.     

"D-a-v-ira," ulangnya sembari terkekeh kecil. Kalung emas berukir nama depan seorang gadis itu pasti untuknya.     

"Kenapa Kapten Kin gak ngasih ini ke gue kemaren?" Davira terhenti sejenak kala satu pertanyaan tiba-tiba terlontar dari bibirnya tanpa ia sadari.     

Benar. Bukankah memberikan gadisnya sebuah hadiah yang bagus dan mahal di hari jadi hubungan mereka adalah hal yang paling romantis di dunia? Adam lupa? Mungkin.     

"Ra?" Suara bariton tiba-tiba memanggil namanya lirih. Dengan cepat Davira mengembalikkan kalung itu ke dalam kotak dan menutup lacinya rapat-rapat.     

"Ngapain kamu di situ?"     

Davira memutar tubuhnya cepat. Itu adalah Adam—si tuan pemilik ruangan.—     

"I-ini kamar kamu ter-nyata," jawab Davira gagap. Adam hanya mengangguk ragu. Berjalan mendekat ke arah Davira.     

"Kamu nyari sesuatu?" Adam mencoba melirik sesuatu yang ada di belakang tubuh semampai Davira. Apapun.     

"A-aku ...." Davira terdiam. Benar, ia tak mungkin mengatakan bahwa Raffa yang menyuruhnya untuk memeriksa kamar remaja bermata elang ini.     

"Aku tadi jalan-jalan buat liat isi rumah kamu," lanjut Davira kemudian.     

"'Kan setiap ke sini selalu lihat-lihat." Adam sedikit mendebat. Seakan tak mau percaya begitu saja pada Davira.     

"Tapi kamar kamu belum."     

Persetanan, sejak kapan seorang Davira pandai berbohong dengan mencari-cari alasan begini?     

"Ada yang menarik dari kamar aku?" Adam mulai menggoda. Mendekatkan wajahnya pada Davira. Sangat dekat! Membuat Davira sejenak diam sembari membulatkan matanya tajam. Remaja berkemeja polos itu kini mengambil satu langkah maju. Merasakan detak jantung Davira yang mulai tak karuan ritmenya.     

"Atau aku yang menarik?" goda Adam lagi. Davira cepat-cepat meraih action figure  di sisinya.     

"Iron man!" sentak Davira. Adam kembali menegakkan badannya. Melirik jari jemari bercat kuku merah tua yang kini menggenggam action figure kesayangannya.     

"Ini yang menarik," lanjut Davira sembari menghela nafasnya yang sempat terhenti.     

"Kamu suka?" Adam kembali bertanya.     

"Banget."     

"Ambil aja," sambung Adam enteng. Memutar tubuhnya dan berjalan mendekat ke arah lemari kayu di sudut ruangan.     

"Tapi ini 'kan kesayangan kamu."     

Adam diam. Setelah berhasil meraih jaket boomber, kembali tubuh jangkungnya berdiri menghadap Davira. Membungkukkan sedikit perawakan jangkungnya untuk menyamakan posisi tingginya dengan Davira. "Tapi aku lebih sayang kamu," ucap Adam sembari mencubit pipi Davira.     

"Aku anterin pulang. Acaranya udah mau selesai dan sekarang pasti udah selesai." Adam kembali membuka percakapan. Gadis bermata bulat itu melirik sekilas jam dinding di kamar Adam. Benar, waktu yang ada dalam undangan kecil yang Davira terima satu minggu lalu hanya menunjukkan sampai pukul enam malam. Tak lebih juga tak kurang.     

"Hm," erang Davira lirih. Berjalan mendahului Adam untuk keluar dari ruangan yang didominasi warna cerah itu.     

"Ra," ucap Adam sembari memeluk tubuh gadis yang hanya setinggi bahunya itu dari belakang.     

Davira diam. Menahan nafasnya sejenak lalu kembali mulai untuk membiasakan posisinya. Adam semakin nekat setiap harinya. Dulu, bahkan mereka jarang berpegangan tangan layaknya pasangan kekasih di luar sana. Adam hanya ada untuk bola basket dan segala ambisinya untuk masuk universitas ternama di Jakarta. Dalam pembelaannya, Adam selalu menyebut nama Davira Faranisa sebagai alasannya gila dalam berambisi.     

"Besok sepulang sekolah mau mampir ke sini?"     

Davira terdiam. "Besok?"     

"Besok kita pulang pagi. Kamu inget 'kan?"     

Davira hanya mengerang lirih sembari mengangguk ringan. Ia ingat jelas jikalau papan pengumuman sekolah menuliskan bahwa besok adalah hari yang paling membahagiakan untuk Davira, Adam, dan juga seluruh teman-temannya sebab mereka tak perlu menjemput senja bersama tumpukan buku dan kalimat berteori pasti yang tak bisa dibantah oleh siapapun. Bahkan seorang gadis yang super duper keras kepala seperti Davira sekali pun.     

"Mampir ke rumah kamu?"     

"Ke kamar aku," jawab Adam sembari berbisik. Mempererat pelukannya untuk Davira.     

"Kalau aku gak mau?"     

Adam melepas pelukannya perlahan. Meraih bahu Davira dan membuat gadis itu berputar perlahan. Kini, kedua lensa identik itu saling beradu dalam satu titik. Baik Adam maupun Davira, keduanya hanya diam saling menatap.     

"Kamu akan berada dalam bahaya." Adam berucap sembari tersenyum. Cepat tangannya meraih pipi gadis di depannya. Membawa bibir gadis itu untuk beradu dengan bibir tipis miliknya.     

Dalam kecupan yang berakhir pada lumatan penuh cinta yang Adam berikan untuk Davira, Adam memberikan sebuah kesan dan arti 'bahaya' dalam konteksnya. Bahaya yang pada akhirnya hanya Adam dan Davira yang tahu.     

Adam melepas kecupannya perlahan. Menatap Davira yang hanya diam sembari tersenyum padanya.     

"Gimana? Mau mampir?"     

Davira mengangguk. "Besok aku mampir."     

"Kenapa?" Adam bertanya sembari mengusap pipi tirus gadis di depannya.     

"Kalau aku gak mampir aku dalam bahaya dan kalau aku mampir bahaya itu lebih besar lagi." Davira melepas genggaman tangan Adam. Tertawa kecil kemudian. Adam ikut terkekeh. Kembali memeluk erat Davira.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.