LUDUS & PRAGMA

46. Pertemuan Mengejutkan



46. Pertemuan Mengejutkan

Sore datang bersama syahdunya hawa semilir yang berembus. Hari ini tak ada yang istimewa. Davira hanya datang ke sekolah pagi hari. Pulang lebih awal tanpa ada momen indah yang berkesan. Sang kekasih masih sama, sibuk dalam dunia basket yang katanya akan lebih ekstra lagi kalau pulang pagi begini. Janji yang dibuatnya untuk menyambut Davira datang mampir ke rumahnya, diingkari oleh remaja jangkung itu. Dalam pembelaan Adam ia harus kembali berlatih sebab hari perang sudah semakin dekat saja. Jadi mau tak mau, Davira harus pulang sendirian. Tak ada yang menemani sebab semua sibuk dalam dunianya masing-masing. Untuk Rena? Tentu, ia menemani Davira hanya sampai halte pertama saja. Selebihnya ia harus pulang sendirian.     

Davira tak ada les sore hari ini. Senggang waktu untuk menikmati sore datang membentang. Tak di rumah, gadis itu memilih pusat perbelanjaan di tengah kota. Berjalan santai untuk melihat-lihat apapun kiranya yang bisa menyita dan menarik serta menggunggah minatnya untuk membeli.     

Sebuah toko kemeja laki-laki yang bisa dikatakan cukup ramai adalah keputusan terakhirnya untuk datang selepas bermenit-menit datang dan berlalu lalang layaknya pengunjung yang lain. Gadis itu masuk. Memilah dan memilih mana yang cocok diberikan untuk sang kekasih sebagai hadiah lelahnya dalam mempersiapkan kemenangan yang membanggakan.     

Davira menemukannya! Kemeja merah maroon dengan lengan pendek polos yang terbuat dari kain lembut dan nyaman kalau dipakai. Menyita perhatian gadis yang kini sigap mengulurkan tangannya dan mengambil. Mengusapnya perlahan sembari berpikir dan menerka kiranya apakah cocok dan pas jikalau dikenakan oleh sang kekasih?     

Gadis itu tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya kala setuju dengan apa yang hatinya katakan sore ini. Adam akan cocok dengan kemeja itu. Membuat tubuh kekarnya begitu pas dan mempesona kala memakainya nanti. Jadi Davira memilih untuk mengambil dan membelinya.     

Alunan musik pop masih terdengar nyaring di telinga Davira. Semakin jelas kala mendekat ke barisan yang ada di depan meja kasir. Sembari menunggu antrean di depannya habis dan tiba gilirannya untuk membayar belanjaannya, gadis berponi tipis yang jatuh tepat di sepasang alis cokelat tua miliknya itu sedikit menyentakkan kakinya berulang kali untuk mengikuti alunan musik ber-genre pop dari barat itu. Sesekali bibir merah ranumnya bergerak mengucap sepatah lirik yang ia hafal. Sebagian lainnya ia hanya berguman ringan untuk mengusir kebosanannya menunggu antrean.     

Davira terlihat cantik dan anggun seperti biasanya. Gaya berpakaiannya itu-itu saja memang, namun tak terlihat membosankan sedikitpun. Kasual tak formal masih dalam batas wajar dan kesopanan. Itulah prinsip gaya berbusana gadis bermata bulat sempurna yang akan berubah menjadi lengkungan bulat sabit kala ia tersenyum kuda.     

"Davira?" Seseorang menyebut namanya lirih. Gadis berkemeja biru muda polos itu menoleh cepat. Melihat siapa yang baru saja memanggilnya dengan suara lirih di tempat ramai begini. Ia menyetralkan tatapan mengarah pada perawakan gadis yang sedikit tak asing untuknya. Senyum mengembang tanda sambutan ramah diberikan untuk Davira Faranisa.     

"Risa?" sahut Davira melirih. Gadis yang hanya tersenyum sembari melambai ringan ke arahnya itu kini mulai berjalan mendekat. Tegas langkahnya terasa sembari sesekali melirik apa yang dibawa Davira di dalam genggaman tangan kanannya saat ini.     

Setelah jarak yang tak cukup jauh, Davira kini mampu menyimpulkan. Gadis yang memanggilnya lirih sembari tersenyum ramah dan melambai ringan sedikit antusias itu adalah Risa. Teman lama semasa sekolah menengah pertama. Juga teman kecil di sekolah dasar tahun terakhir.     

Gadis yang mengiriminya pesan singkat sesekali dalam seminggu selama satu tahun terakhir ini datang dan berdiri di depannya sekarang. Sukses membuat Davira sejenak mematung sembari menatap tak percaya. Larisa ada di depannya!     

"Ngapain lo di sini?" Yang disebut Risa kembali melontarkan pertanyaan padanya. Davira hanya tersenyum sembari melirik satu kemeja pria yang ia tenteng di tangan kirinya.     

"Buat Adam?" Risa melanjutkan. Sedangkan Davira hanya mengerang ringan sembari mengangguk jelas.     

"Gue melihat-lihat dan tertarik dengan ini. Gue rasa Asam akan suka nanti," lanjut Davira menjelaskan singkat.     

"Selamat." Gadis berambut pendek itu menepuk perlahan pundak Davira sembari tersenyum simpul untuknya. Kalimat selamat yang diucapkan oleh lawan bicaranya itu sukses membuat Davira mengernyitkan dahinya samar. Hanya sebab membeli kemeja pria, Davira mendapatkan selamat dari teman lama?     

"Kemarin kalian anniversary bukan? Gue ingat tanggalnya." Larisa menimpali. Singkat menjelaskan maksudnya kala Davira terlihat sedikit bingung tak mengerti.     

"Ah, itu. Makasih." Davira masih terlihat dan terkesan canggung. Selama satu tahun terakhir, mereka hanya berkomunikasi lewat email. Meskipun terkesan dekat dan intim namun kala bertemu langsung seperti ini ternyata terasa sangat asing dan canggung.     

Larisa pernah meminta tolong padanya dua tahun lalu, namun gadis itu mengabaikan sebab tak pernah membuat pesan masuk dalam surel pribadinya. Gadis itu tak pernah menyinggung pasal permintaan tolong selepas mereka akrab dan suka bertukar kabar melalui email satu tahun selanjutnya. Seakan semua yang terjadi pada Larisa di masa lalu, hilang dan lenyap begitu saja tanpa Davira tahu apa gerangan yang membuat teman lamanya itu mengirimi spam pesan begitu.     

Dia Risa. Larisa Hannara Putri. Dulunya, Davira dan Larisa adalah sahabat dekat di sekolah menengah pertama dan dua tahun terkahir di sekolah dasar. Namun, beberapa minggu setelah hari kelulusan, Risa menghilang bak ditelan bumi. Kabar burung yang Davira dengar, Risa dipindahkan ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan lebih baik lagi di sana-katanya sih, pendidikan di Indonesia kurang memuaskan bagi putri semata wayang keluarga kaya raya seperti Larisa Hannara ini-.     

Setelah hilangnya kabar dari sahabat penanya itu, beberapa bulan setelahnya Davira mendengar bahwa Risa menetap di London bersama nenek buyutnya. Katanya, di sana Larisa hidup bahagia dengan teman-teman barunya. Hingga gadis itu melupakan keberadaan Davira di sini.     

"Lama gak ketemu 'kan, Ra?" Risa kembali melanjutkan. Davira lagi-lagi hanya tersenyum. Matanya perlahan berkaca-kaca. Rindu, Davira benar-benar rindu pada Larisa. Mereka berpisah di usia 15 tahun, lebih tepatnya empat tahun berjalan tanpa Davira maupun Larisa sadari.     

Senyum khas dari gadis bergigi kelinci itu, Davira amat sangat merindukannya! Meskipun keduanya tumbuh menjadi gadis dewasa sekarang ini, namun bagi Davira keadaan mereka masih sama. Sama-sama gadis bodoh yang tak pandai mengungkapkan perasaannya.     

"Lo beli kemeja untuk pacar lo?" tanya Davira acak. Menebak asal selepas lensanya tak sengaja melirik beberapa kemeja yang ada di tangan kanan Larisa.     

Gadis itu tersenyum ringan. Mengangguk ragu kemudian kembali menatap Davira. "Mau ngopi sama gue?" Risa menawarkan.     

Davira kini tersenyum kuda. Sembari mengangguk ia meraih tangan sahabat penanya itu. "Tentu. Gue bayar dulu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.