LUDUS & PRAGMA

47. Kabar Baru Yang (Tak) Haru



47. Kabar Baru Yang (Tak) Haru

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     
0

Tuhan, aku mencintai karya indah-Mu dengan segenap jiwa dan ragaku.     

-Davira-     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Davira sengaja memilih tempat yang jauh dari keramaian dan alunan musik yang mereka dengar kini lebih lembut ritmenya. Davira meletakkan secangkir moccacino dan segelas susu cokelat hangat ditemani dengan beberapa potong kue kering dengan topping susu putih di atasnya.     

"Gimana kabar lo sekarang, Sa?" Davira memulai percakapan. Gadis yang diberi pertanyaan hanya mengangkat satu sisi bahunya sembari mendesah ringan.     

"Ya gini-gini aja," katanya singkat. Diikuti dengan kekehan kecil dari celah bibir mungilnya.     

"Enak sekolah di London?" Gadis itu mengimbuhkan. Menatap lawan bicara yang hanya tersenyum miring sembari sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari caranya Larisa merespon, terkesan benar dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh Davira, namun dari caranya menatap tidak demikian. Seakan sesuatu sedang mengganjal di dalam hatinya saat ini.     

"Ada enaknya ada enggaknya. Enaknya adalah lo tau sendiri 'kan, gue pinter bahasa inggris. Gak enaknya karena Indonesia lebih baik negara manapun untuk gue."     

Davira tertawa. Sahabat pena tidak berubah sedikitpun ternyata. Masih sama, seorang Larisa Hannara Putri. Gadis kaya raya yang tak pernah menunjukkan kekayaannya. Berani tahurahan kalau saja orang tua Larisa bangkrut, gadis bermata kucing itu pasti mampu bertahan hidup sendirian dengan usahanya sendiri.     

"Sekarang? Lo masih di London? Dan sekarang lagi liburan?"     

Larisa mengangguk. "Habis lulus gue balik ke Indo."     

"Sekitar dua bulan lagi mungkin." Risa melanjutkan. Meneguk setengah susu cokelat yang ia pesan.     

"Terus? Habis lulus lo mau kuliah di mana?" Davira ikut meneguk minumannya. Melirik sekilas sahabat penanya yang hanya diam sembari tersenyum kecut. Davira yakin, bukan susu cokelat yang membuat sahabatnya merubah ekspresi wajahnya begitu.     

"Gue harus ngurus anak gue," sambungnya lirih. Davira sedikit tersentak. Menghentikan segala gerak yang ia ciptakan sebelumnya. Matanya kini terfokus pada paras oriental milik sahabat penanya. Sesekali sorot mata bulatnya mengarah ke perut datar Larisa.     

"Lo Ha—" Davira menghentikan kalimatnya. Entah mengapa jantungnya berdetak tak karuan sekarang.     

"Setelah lulus gue mau nikah." Larisa kembali menjelaskan situasi sulitnya saat ini. "Lo tau? Hidup di negeri orang itu susah."     

Davira meletakkan cangkirnya perlahan. "Nikah sama ayahnya 'kan?" Davira melirik Larisa yang kembali tersenyum pahit.     

"Ayahnya ninggalin gue. Dia orang asing, jadi kelurganya gak restuin. Gue gak bisa maksa. Cukup udah malu-maluin orang tua gue."     

"Terus lo ni—"     

"Sama orang yang kasian sama gue.Katanya gue cantik, jadi gak rugi-rugi amat." Larisa kini terkekeh kecil. Seakan jiwa warasnya sudah berkurang sejak hidupnya hancur di negeri orang sebab mantan kekasihnya.     

Davira lagi-lagi hanya diam. Sekarang sorot matanya tak berani lagi untuk jelas menatap paras ayu Larisa. Tak tega, itulah yang ia rasakan sekarang. Meskipun sahabat penanya itu sedang tertawa saat ini, ia paham benar bahwa dalam dirinya sedang hancur lebur tak berbentuk. Masa depan yang pernah dibicarakan dengannya empat tahun silam sudah menjadi angan semata. Ia akan menjadi seorang ibu sebentar lagi dengan begitu ia harus melepas kehidupan remaja yang bebas.     

"Soal Adam, gue belum pernah ketemu sama dia. Kapan-kapan temuin kita dong." Larisa cepat merubah topik pembicaraan kala menyadari situasi canggung mulai membentang di antara keduanya.     

"Pasti," sahut Davira lirih sembari tersenyum simpul.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Taksi ber-plat nomer B itu melaju sedang di jalanan kota Jakarta. Membelah senja dan langit mendung jantung negara Indonesia. Suara klakson menjadi melodi pengiring perlajanan Davira untuk sampai ke tempat latihan Adam sore ini. Rencananya ia ingin memberikan satu kemeja baru yang ia beli untuk kekasih hatinya itu. Sembari menikmati sepiring sup hangat di warung pinggir perempatan dekat tempat latihan basket kapten kesayangannya, ia ingin berdiskusi ringan tanpa cela juga jeda dengan Adam. Menenangkan pikiran dan hatinya setelah mendengar kabar tak terduga dari sahabat penanya.     

"Sudah sampai, Nak." Suara berat pak supir membuyarkan lamuran Davira. Gadis itu melirik sisi kanannya. Benar, itu lapangan tempat Adam berada dan tentunya, Adam sedang menunggunya di sana.     

"Makasih, Pak." Davira menyodorkan uang lalu membuka pintu taksi dan beranjak keluar. Berjalan menyebrang jalan untuk sampai ke tempat tujuannya.     

Gadis berambut sebahu dengan poni tipis itu melambai ringan sembari tersenyum kuda. Bibirnya samar menyebut nama Kapten Kin —Panggilan sayangnya untuk Adam.     

Sembari berlari kecil. Adam ikut melambai. Tetesan keringat jelas memenuhi pelipis kanan dan kirinya. "Kenapa gak tunggu aku yang jemput?" Adam meraih pundak kekasihnya. Mengusap puncak kepala Davira kemudian.     

"Udah selesai memang latihannya?" Gadis itu melepas kasar rangkulan Adam. "Bau!" sentaknya sembari terkekeh kecil.     

"Bau-bau kamu juga suka." Adam ikut terkekeh. Kembali meraih tubuh mungil yang kini pasrah tak meronta lagi.     

"Aku pakek jaket dulu terus kita makan sup, mau?"     

Davira menggeleng. "Aku pengennya bakso."     

Adam berdecak sembari mencubit pipi kiri Davira. "Aku beliin sama warungnya sekalian," ucapnya lalu berbalik badan. Melangkah menjauh dari Davira untuk mengambil jaket dan berpamitan dengan teman-temannya.     

"Kapten Kin!" Davira menghentikan langkah kekasihnya.     

"Apa?"     

Gadis itu diam sejenak. Mencoba untuk membaca situasi sekarang ini. "Nanti aja," lanjutnya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

"Tadi aku habis ketemu sama Larisa," ucap Davira menyela. Adam yang baru saja ingin memasukkan sesendok nasi dengan kuah sup itu menghentikan aktivitasnya. Matanya kini tertuju pada Davira. Davira sedang sedih sekarang —Adam tahu dari nada bicara gadisnya yang tak biasa.     

"Larisa yang kamu ceritain sering kontak kamu lewat e-mail setengah tahun terakhir ini?"     

Davira mengangguk. Yang Adam tahu tentang Larisa Hannara Putri hanyalah sahabat pena yang lama menghilang dan tiba-tiba muncul dengan memberi Davira kabar melalui media sosial. Kiranya setengah tahun lalu juga Davira bercerita tentang hubungannya dengan Adam kepada Larisa. Lalu, di saat yang sama, Davira juga mengatakan pada Adam bahwa ia kembali berkomunikasi dengan sahabat penanya di sekolah menengah pertama.     

"Dia bilang apa?" Adam menyela. Meletakkan kembali nasi yang ingin ia makan.     

"Dia bilang ...."     

Davira diam sejenak. "Dia bilang dia mau ketemu kamu. Katanya pengen liat muka kamu," lanjutnya kala Adam hanya diam mendengarkan.     

"Hanya itu?" Adam mencoba kembali bertanya dengan nada lirih kala menyadari bahwa Davira mulai menyembunyikan wajahnya. Kepalanya tertunduk. Seakan ingin menutupi betapa buruk wajahnya kali ini.     

"Hm," jawab Davira sembari mengangguk. Kembali mendongakkan wajahnya untuk menatap Adam.     

"Kalau dia cerita tentang kehidupannya di London lagi ... nanti aku ceritain ke kamu," sambungnya.     

Adam hanya mengangguk paham. Apapun itu, Adam paham betul kalau Davira sedang tak ingin menceritakannya. Tapi, remaja berperawakan jangkung itu paham benar kalau gadisnya itu akan segera menceritakan itu padanya.     

Pasti. Sebab dia adalah Davira Faranisa.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.