LUDUS & PRAGMA

48. Berat



48. Berat

0Suara pintu nyaring diketuk. Memaksa tuan rumah yang baru saja ingin bersantai di atas empuknya sofa tengah ruangan untuk datang dan membukakan pintu rumahnya. Menyambut seorang tamu datang dengan ramah dan sebaik mungkin.     
0

Pintu dibuka. Menampilkan perawakan kurus nan tinggi milik seorang gadis yang tak asing lagi untuk Desi. Dia adalah Davira Faranisa. Malam datang, tak sewajarnya si sahabat anak semata wayangnya itu datang dan menyambangi rumah. Bukan tak boleh, namun tak biasa.     

"Davira?" Lirih suara Desi menimpali. Hanya disambut senyum manis yang merekah di atas bibir merah muda milik Davira saat ini. Gadis itu melirik. Mencoba mencari celah masuk untuk menatap apapun yang ada di dalam rumah Arka saat ini.     

--yang dicari Davira bukan Desi, ataupun sang suami. Namun anak mereka Arka Aditya.     

"Davira mau mencari Arka." Gadis itu menyambung kalimat. Lembut nan lirih bersama kembangan senyum yang tak pernah sirna.     

"Arka ada di dalam kamarnya, masuklah." Desi mempersilakan. Memberi celah untuk putri si teman lama yang sudah dianggapnya sebagai putri kandungnya sendiri. Davira memang beruntung, sebab ia mempunyai tiga ibu sekarang ini. Meskipun tak sah dan tak diakui oleh negara, namun setidaknya Davira bisa memamerkan keberuntungan itu pada orang lain.     

"Davira boleh naik ke lantai atas?Ada yang ingin Davira bicarakan dengan Arka." tanyanya dengan nada ringan. Kali ini senyumnya surut. Tak jelas seperti sebelumnya.     

"Tentu. Arka pasti sedang belajar di kamarnya. Baiklah, nanti tante hantarkan camilan dan minumannya." Wanita seusia dengan mama kandungnya itu memerintah. Memberi interuksi dengan jelas dan tegas. Gadis muda yang diperintah hanya mengangguk. Kini memutar langkah dan berjalan naik ke lantai atas. Menemui sahabatnya malam ini.     

Selepas pertemuannya dengan Adam, Davira tak minta diantarkan pulang oleh sang kekasih. Ia hanya meminta Adam berbelok di gang komplek rumah Arka dan memberhentikannya di depan gerbang rumah sahabatnya itu. Awalnya Adam menolak, dalam alasan Davira harus memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Tak ada sekolah sampai sore juga tak ada les privat yang menambah beban lelah hari ini. Jadi Adam ingin Davira tak melakukan apapun.     

Bukan Davira namanya kalau tak keras kepala, gadis itu dengan tegas menolak dan membantah. Pembelaan yang diucapnya, ia hanya perlu sedikit waktu untuk berkunjung ke rumah Arka sebab ada yang ingin dibicarakan olehnya.     

Gadis itu kini terhenti. Tepat di anak tangga terakhir yang membawa langkahnya sampai ke lantai atas. Kembali berjalan dan masuk ke lorong sedikit gelap tempat kamar Arka berada. Tangannya mengetuk kala sepersekian detik berjalan dan sampailah ia di depan kamar sang sahabat. Sesekali terjeda dengan helaan napas berat tanda sedang tak enak hatinya saat ini.     

"Mama! Arka bilang—" Ucapan remaja itu terhenti kala sukses menarik gagang pintu dan membuka pintu di depannya. Menampilkan perawakan gadis cantik yang menatapnya aneh. Mama? Siapa yang dipanggil mama olehnya? Davira?     

"L--lo ngapain malam-malam ke rumah gue?" tanyanya sedikit ragu. Menatap gadis yang terdiam kemudian menghela napasnya. Berjalan masuk menerobos dengan sedikit mendorong tubuh Arka yang dianggap Davira menghalangi akses masuknya saat ini.     

Gadis itu duduk di sisi ranjang. Menatap suasana kamar Arka yang tak asing lagi untuknya.     

"Gue tanya ... ngapain lo ke sini?" tanya Arka mengulang. Gadis di depannya tersenyum aneh. Meletakkan tas selempang yang dibawanya kemudian bangkit.     

Berjalan menuju ke balkon kecil yang dibangun di sisi kamar Arka menghadap langsung ke jalanan komplek. Suasana sepi nan damai. Hanya ada kerikan jangkrik yang terdengar samar malam ini. Tak ada mendung, namun juga tak berbintang. Langit kosong dalam diam seakan ingin menjadi saksi bisu percakapan mereka malam ini.     

"Lo punya masalah sama Adam lagi?" Arka kini menebak asal. Muak dengan diamnya Davira yang sukses membuat batinnya bertanya-tanya.     

Davira menggeleng. "Lo tau Larisa udah kembali dari London?" Gadis itu mulai berucap. Sukses membuat Arka menoleh dan menatapnya tajam. Ikut duduk di sisi sang sahabat.     

"Kapan?"     

Gadis itu tersenyum pahit. "Itu artinya gue yang dia datangi pertama kali rupanya," kelitnya menyahut.     

"Gue tanya kapan?" Arka mengabaikan kalimat sang sahabat. Davira bukan gadis yang suka bertele-tele sebenarnya, namun kali ini ia terasa dan terkesan berbasa-basi.     

"Dua minggu yang lalu." Gadis itu kini menimpali. Memicu reaksi lain dari Arka.     

"Gue rasa dia udah gak suka sama lo lagi." Davira menambahkan. Tersenyum kecut untuk menutup kalimatnya itu.     

"Tau dari mana lo? Dia bilang seperti itu?"     

Davira menoleh. Menatap sejenak Arka kemudian mulai membuka bibirnya. "Dia—"     

"Mama mengganggu kalian?" Suara menyela Davira juga Arka. Memancing fokus keduanya untuk sama-sama menoleh ke belakang. Menatap siapa yang baru saja membuka pintu dan berdiri di ambang pintu. Nampan berisi dua gelas sirup dan satu toples camilan juga sepiring makanan ringan menghias di nampan. Menjadi buah tangan yang dibawakan mama Arka untuk menyambut kedatangan Davira.     

"Tidak tante," ucap Davira tersenyum.     

Desi melangkah masuk. Berjalan mengarah pada dua remaja yang kini sama-sama dia. Ia meletakkan nampan yang dibawa oleh keduanya. "Nikmati camilannya, sayang. Tante tinggal dulu." Desi mengimbuhkan. Mengusap puncak kepala Davira kemudian melangkah pergi. Kembali meninggalkan dua remaja yang kini berada dalam situasi dan suasana yang sama.     

"Lo mau bilang apa tadi?" Arka memulai. Tegas nada bicaranya juga tegas cara menatapnya.     

Davira diam. Memalingkan wajahnya untuk menatap apapun yang ada di depannya saat ini. Baiklah, ia membenci fakta yang memaksanya untuk mengatakan hal mengejutkan dan tak mengenakkan begini. Bukankah kalau bertemu dengan sahabat lama yang sudah tak pernah jumpa bertahun-tahun lamanya adalah hal yang amat membahagiakan? Namun bagi Davira, tak ada kata bahagia sekarang ini. Dirinya merasa iba dengan keadaan yang menimpa Larisa.     

"Davira ...." Arka kembali membuka suaranya. Menarik fokus Davira untuk kembali menatapnya.     

"Larisa akan menikah." Davira berucap. Lirih namun lancar seakan tak ada keraguan dalam dirinya saat ini. Namun, Davira benar-benar berharap bahwa kejadian hari ini adalah mimpi buruk untuknya semata. Dari mimpi itu, Davira ingin segera bangun.     

"Apa maksud lo?"     

"Dia akan menikah." Davira mengulang. Kali ini menatap Arka dengan tatapan sendu. Matanya berbinar. Menyimpan beribu air mata yang memaksa untuk turun sekarang.     

"Kenapa dia menikah? Karena dia mencintai pacarnya 'kan?" tanya remaja jangkung itu mengintrogasi. Perasaan yang ada di dalam dirinya kini lain. Selepas mendengar suara dan menerka cara Davira berbicara juga ekspresi wajahnya, ia merasa bahwa ada yang tak beres sekarang ini.     

"Dia menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya."     

Deg! Kalimat itu sangat menyakitkan untuk Arka.     

"K--kenapa dia melakukan itu?" tanya Arka ragu.     

"Karena dia hamil."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.