LUDUS & PRAGMA

49. Hati Yang Membara



49. Hati Yang Membara

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     
0

Ketika kau mencintai seseorang, siapkan sedikit ruang dalam hatimu untuk menerima sebuah luka. Dengan begitu kau akan tahu apa itu cinta yang sesungguhnya.     

—Arka Aditya—     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Davira mempercepat langkah sepasang kaki jenjang kala suara bel tanda jam pembelajaran akan dimulai diawal hari yang baik terdengar nyaring masuk ke dalam telinganya. Hari ini, ia kacau! Semalam Davira tak bisa benar menutupkan matanya untuk beristirahat guna menyambut pagi datang menyapa. Sebab hatinya yang kalut, pikirannya yang kabar, dan malamnya yang buruk gadis itu tak bisa bangun pagi hari. Alasannya datang terlambat cukup jelas sekarang ini.     

"Gelangnya bukan buat lo ternyata." Seorang gadis menyela langkahnya. Davira terhenti. Menoleh kala suara langkah kaki bersepatu identik corak, model, dan warna dengan miliknya berjalan ringan sembari melipat tangan rapi di atas perut datarnya.     

"Udah gue duga lo gak mungkin minta barang murahan," lanjutnya sinis. Davira hanya diam. Kedua sorot matanya kini ikut menatap pergelangan tangannya sendiri seperti yang sedang dilakukan oleh gadis di depannya itu.     

"Biar gue tebak, lo buang hadiahnya atau hadiahnya bukan buat lo?" Lagi-lagi ucapan gadis itu hanya dibalas bungkam oleh Davira. Gadis bertubuh semampai dengan rambut pekat tergerai itu hanya menyipitkan matanya sembari menautkan alis cokelat tuanya.     

"Pasti bukan buat lo," lanjutnya.     

Davira menghela nafas kasar. "Gue gak tau apa yang lo—"     

"Gue liat Adam beberapa hari lalu. Sepulang latihan basket dan dia beli gelang di pinggir jalan."     

Davira diam sejenak. "Pasti buat dirinya sendiri," lanjutnya meyakinkan, namun bukan untuk si gadis aneh yang tiba-tiba datang menghentikan langkahnya itu. Tapi, untuk dirinya sendiri.     

"Awalnya gue juga ngira gitu. Tapi sejak kapan Adam suka warna merah muda?"     

Davira diam. Menatap fokus gadis berambut sepunggung yang ikut menatapnya sembari tersenyum seringai. Dalam senyumnya, gadis sebaya dengan Davira itu seakan mengisyaratkan pada Davira untuk mulai mencurigai segala gerak-gerik Adam.     

"Lo masih mau menghancurkan hubungan gue?" Davira kembali membuka percakapan saat hening sejenak membentang di antara keduanya.     

"Segitunya lo benci sama gue?"     

Davira menelan saliva dalam-dalam. Mencoba mengatur emosinya agar tak memuncak sebab gadis di depannya ini.     

"Kalau lo mau bilang Adam selingkuh buat menghancurkan hubungan gue, gue—"     

"Adam beneran selingkuh?" Gadis itu menyela. Mengerutkan keningnya sembari berjalan mendekati Davira.     

"Sesuai dugaan gue ternyata," lanjutnya lirih terkekeh kemudian. Tanpa mau menghiraukan Davira selanjutnya, gadis itu berpaling. Melangkah pergi untuk meninggalkan Davira di sana.     

"Kay," panggil Davira lirih. Gadis yang disebut namanya menoleh.     

"Bukan lo?" tanya Davira mengimbuhkan. Sukses membuat yang dilontari pertanyaan tersenyum miring.     

Kayla—gadis bermata sipit yang baru saja dilontari pertanyaan aneh oleh Davira— kembali berjalan mendekat.     

"Gue emang benci lo. Tapi lo tau? Gue lebih benci Adam," ucapnya kemudian berlalu. Kali ini ia benar-benar pergi. Meninggalkan Davira yang masih mematung di tempatnya dengan ribuan pertanyaan yang kini muncul dalam benaknya.     

Situasi macam apa ini? Davira tak tahu sejak kapan ia mulai berani menyebut kata selingkuh tepat sebelum nama Adam Liandra Kin disebutkan. Yang jelas dalam ingatnya adalah perkataan Raffa untuk datang padanya jika ia mulai meragukan seorang Adam Liandra Kin. Bodohnya, ia tak sempat bertanya pada remaja yang baru saja genap berusia 17 tahun itu, bertanya perihal untuk apa ia datang pada Raffa jikalau ragu mulai menguasai dirinya dan segala ego yang ia miliki. Saat dinding pertahan yang amat kuat ia bangun untuk melindungi hubungannya dengan remaja jangkung si raja basket di SMA itu mulai rentak bahkan sudah hampir runtuh. Ya, hampir jikalau tak ada badai yang menerpanya lagi.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

"Davira!" Sentak seorang remaja dengan suara berat khas miliknya.     

"Lo harus ikut gue sekarang," lanjutnya tegas. Belum sempat Davira bereaksi, tangannya sudah ditarik paksa oleh remaja berambut pekat yang tak acuh dengan aksi Davira untuk meronta.     

"Arka lo kenapa sih!" Davira menyentak. Rontaannya semakin kuat ia lakukan. Segenap tenaga ia kerahkan untuk menghentikan langkah kaki jenjang yang entah akan membawanya pergi ke mana.     

"Lepasin gue ga—"     

Davira diam kala remaja di depannya itu tiba-tiba terhenti. Melepas genggaman tangannya yang kuat mencengkram pergelangan tangan Davira.     

"Kalau lo cuma mau nunjukin kalau Adam selingkuh, please gue gak ada waktu," ucap Davira kemudian berlalu ingin meninggalkan Arka di sana.     

"Soal Larisa ...."     

Davira menghentikan langkahnya kala nama sahabat penanya disebut. Gadis itu memutar tubuh semampainya kembali melangkah untuk mendekat pada Arka.     

"Kenapa dia?" tanya Davira kemudian. Arka diam sejenak. Mencoba merangkai kata supaya Davira tak terkejut nantinya.     

"Dia masuk rumah sakit," lanjutnya kala tak ada kalimat perumpamaan yang tepat untuk keadaan Larisa saat ini.     

"Lo gak lagi nyari alasan 'kan buat jalan sama gue?"     

Arka menggeleng. "Lo punya waktu sekarang?"     

"Kalau lo nipu gue, gue jorokin lo ke lubang buaya!"     

"Kita pergi sekarang!" Arka memerintah. Menatap tajam gadis yang ada di depannya. Tak bereaksi untuk sejenak. Hanya diam, mencoba untuk memaksakan diri terbiasa dengan situasi yang terkesan tiba-tiha seperti ini.     

"Gue ada kelas," sambung Davira kembali menimpali.     

"Gue urus ijinnya." Remaja itu menyahut. Seakan tak ingin banyak penolakan dari Davira, ia kembali menarik tangan gadis itu. Membawanya pergi menuju ke ruang bimbingan konseling.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Tatapan remaja jangkung itu mengudara. Sejenak menatap langit sembari mengembuskan napasnya kasar. Melihat seorang remaja menggandeng tangan sang kekasih dan membawanya untuk menepi dari keramaian dan jangkauan orang lain adalah hal yang paling menyakitkan untuk Adam Liandra Kin. Meskipun ia paham benar bahwa Arka Aditya adalah sahabat kecil dari seorang Davira Faranisa. Namun tetap saja, sebagai seorang kekasih yang merasa memiliki hati sekaligus raga milik Davira ia tak rela melihat pemandangan seperti itu. Toh juga, apa yang dibicarakan oleh keduanya saat ini? Mengapa terlihat intim dan serius? Bukankah ini adalah jam pembelajaran yang tak seharusnya membiarkan Davira berada di lingkungan luar kelasnya?     

Untuk Arka, ia pasti sudah mendapat perijinan sebab latihan akan segera dimulai tiga puluh menit lagi . Jadi Adam tak ingin banyak menaruh rasa penasaran untuk remaja jangkung sialan itu.     

"Jangan berantem lagi di sekolah." Seseorang menyela Adam. Membuat remaja itu menoleh dan membuyarkan segala fokus miliknya.     

"Kata siapa gue mau berantem?"     

"Tatapan lo buat Arka, itu sudah memperjelas semuanya." Candra --remaja berambut cepak tak berubah meskipun dua tahun berjalan-- kini tersenyum aneh. Menepuk pundak Adam dengan telapak tangan besar miliknya.     

"Siapkan diri lo, sebentar lagi kita latihan. Jangan mengecewakan tim lagi," pungkasnya berlalu pergi.     

.... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.