LUDUS & PRAGMA

50. Selamat untuk Nona Cantik



50. Selamat untuk Nona Cantik

0Davira menghentikan langkah kala ujung sepatu hitamnya sudah berada di depan pintu dengan lubang sekat kaca di tengahnya. Aroma khas rumah sakit sudah tercium jelas di kedua lubang hidungnya. Sesekali remaja sebaya dengannya menepuk pundaknya perlahan—untuk meyakinkan Davira bahwa Larisa akan baik-baik saja—     
0

"Dokter, gimana keadaan teman saya?" ucap Davira kala seorang pria tua berjas putih bersih dan berpenampilan layaknya dokter keluar dari ruangan secara tiba-tiba.     

"Baik-baik saja, kalian tak perlu khawatir. Dia hanya kelelahan saja," jawabnya tersenyum ramah.     

"Nona Larisa hanya cukup beristirahat dan semua keadaannya akan kembali normal. Aku sudah memberi nasihat untuk menjaga kesehatan dan stamina tubuhnya sebab ia sedang mengandung di usia muda." Pria tua itu menerangkan. Lagi-lagi mengembangkan senyum ramah. Sejenak menundukkan kepalanya untuk memberi salam hormat pada Davira juga Arka Aditya. Dua remaja itu menyambut. Ikut membungkukkan badannya dengan ramah penuh dengan kesopanan. Membiarkan dokter yang baru saja menjadi malaikat penyelamat untuk sahabat pena itu berlalu pergi.     

Tanpa pikir panjang, Davira menerobos masuk ke dalam ruangan. Diikuti langkah sepasang kaki jenjang yang mengekorinya masuk ke dalam ruangan bergaya minimalis didominasi cat putih bersih.     

"Sa," ucap Davira lirih. Gadis yang panggil menoleh.     

"Kalian datang?" jawabnya sembari melirik perawakan jangkung yang sedikit asing untuknya—sebab Larisa sudah lama tak bertemu dengan Arka. Kabar terakhir yang ia dengar kedua sahabatnya itu masuk di SMA yang sama—     

"Lo kenapa sih, Sa? Dokter bilang lo kecapekan." Davira mengusap punggung tangan sahabat penanya.     

"Gue cuma beres-beres rumah. Tapi badan gue agak meriang, Ra." Gadis yang terbaring lemah itu menimpali. Berusaha untuk bangkit dan menyambut kedatangan dua teman baiknya itu. Sungguh, Larisa masih belum bisa mempercayai ini. Melihat cinta pertamanya datang berkunjung di tengah keadaan dirinya yang sedang kacau benar-benar membuat rasa sakit tersendiri untuknya sekarang.     

"Tapi udah enakan 'kan?" Arka menyahut. Berjalan maju untuk menyejajarkan posisinya dengan Davira.     

"Iya," jawab Larisa lirih.     

"Usianya berapa?" Arka kembali bertanya. Melirik sekilas tangan kiri Davira yang mengusap lembut permukaan perut milik Larisa.     

"Baru jalan tiga bulan."     

"Kalau ada apa-apa, please telepon atau kabarin gue, Sa." Davira menyela. Membuat gadis yang ada di depannya hanya tersenyum ringan. Meraih tangan Davira lalu menepuknya perlahan. Menganggukkan kepala untuk menuruti apa yang diinginkan oleh sahabat penanya itu.     

"Adam gak ikut?"     

Davira menoleh sekilas ke arah Arka, sebelum akhirnya kembali memfokuskan sorot matanya pada Larisa. "Dia sibuk."     

Percayalah, sebab Arka yang datang tiba-tiba dan menarik Davira untuk datang ke sini, ia lupa sejenak tentang Adam.     

"Lo harus banyakin istirahat, Sa." Arka membuka suara. Yang diberi nasihat hanya mengangguk tanda paham tentang apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Larisa menyesal sekarang ini. Dirinya meninggalkan kehidupan baiknya hanya untuk mendapatkan kehidupan yang buruk dan menyedihkan seperti sekarang ini.     

Ia ingin mengulangnya. Mulai dari saat dirinya memilih dan menentukan alur hidup yang ingin dijalaninya dulu. Jika bisa, Larisa ingin memilih untuk tetap tinggal dan bermain bersama kedua sahabatnya itu.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°     

Puas dalam berkunjung dan melihat paras Larisa adalah alasan keduanya pergi keluar dari ruangan. Berpamitan pada nenek Larisa yang sempat menahan mereka untuk tak segera pergi. Namun, Arka menolaknya. Mengatakan bahwa ijin yang berikan sekolah untuk mereka, tak lama. Jadi mau tak mau mereka harus lekas kembali ke sekolah sekarang ini.     

Langkah kaki keduanya kini berjalan beriringan membelah rerumputan  basah sebab hujan gerimis kemarin malam. Baik Davira maupun Arka hanya terdiam tanpa mau berucap sepatah katapun. Davira tak tahu, selalu saja perasaannya kalut kala mendengar tentang sahabat penanya itu. Entah itu kabar baik maupun kabar buruk.     

Rasa bersalah yang ada dalam dirinya masih kental dalam ingatannya. Jika saja Arka tak menolak cinta Larisa hanya untuk mempertahankan persahabatan dengan Davira juga gadis itu, Larisa tak akan marah dan pindah ke London. Jikalau Larisa tak pindah ke London, hidupnya tak akan hancur seperti ini. Bisa dikatakan bahwa sumber masalah dari kehidupan Larisa adalah dirinya.     

"Adam selingkuh?" Arka berucap tiba-tiba. Davira menghentikan langkahnya kemudian kembali melangkahkan kakinya.     

"Sama Kayla?" lanjut Arka tegas.     

Davira menggeleng. "Gue gak mau nuduh cowok gue sendiri. Sejauh ini gue masih percaya sama Adam."     

Arka menghentikan langkahnya. Menarik tangan Davira dan membuat gadis itu ikut menghentikan langkahnya. Aroma rumah sakit kini mulai menghilang dari indra penciuamnya. Suasana mulai ramai tak seperti sebelumnya. Mereka sudah berada di parkiran belakang rumah sakit sekarang ini.     

"Kalau ragu datang saja padaku?" Davira berucap tiba-tiba. Menirukan kalimat Raffa yang masih tertanam jelas diingatnya.     

Arka menggeleng. "Lo mulai goyah ternyata," lanjutnya kala lensa pekatnya menatap sepasang lensa identik milik Davira.     

"Ra."     

"Arka, sebelum gue liat sendiri, gue akan tetap berusaha percaya sama Adam," sambung Davira meyakinkan dirinya dirinya. Arka melepas perlahan genggamannya. Mengangguk ragu kemudian.     

"Lo cinta sama Adam sekarang?" tanya remaja itu lirih.     

Davira diam.     

"Gue tau, dulu lo nerima Adam karena usaha Adam yang membuat lo jatuh hati dengan Adam, dan karena prestasi Adam. Bukan karena perasaan," jelas Arka menggurui.     

"Lo gak usah sok—"     

"Kita sahabat dari SD. Gue paham betul gimana lo, Ra." Arka melanjutkan.     

"Hm, Gue suka dan sayang sama Adam sekarang." Davira menyela. Menatap lensa pekat milik Arka.     

"Dan gue gak mau kehilangan dia untuk alasan apapun." Gadis itu mengimbuhkan.     

"Ra," panggil Arka mencoba untuk menyela kalimat Davira.     

"Gue akan berjuang untuk mempertahankan Adam dan gak akan membuka hati untuk orang lain hanya karena masalah seperti ini." Davira menutup kalimatnya dengan tegas. Arka yang tadinya hanya diam mendengarkan kini mulai mengangguk paham. Ini adalah Davira Faranisa—sahabat masa kecilnya yang tak perna berubah—.     

Kalian tahu? Terkadang meskipun kita menyisihkan satu ruang kecil dalam hati kita untuk menerima luka, nyatanya masih terasa sangat sakit. Namun, dari rasa sakit itu kita akan paham bagaimana mencintai seseorang itu. Menerima luka, mendapatkan duka, memberi rasa, mendapatkan bahagia, atau kehilangan jiwa, dan bahkan juga membuang nyawa. Seperti itulah rasanya mencintai seseorang.     

Cinta itu unik, kau tahu. Kita tahu bahwa kita pasti akan mendapat luka, dihempas harapan dan diremukkan oleh kata-kata, namun seakan sudah tahu bahwa waktu akan menyembuhkan, kita berani mengambil resiko untuk tetap mencoba.     

Cinta membutuhkan percaya untuk tetap berjuang. Cinta memerlukan sabar untuk mampu berdamai dengan waktu. Juga terkadang cinta membutuhkan bodoh untuk tetap bertahan mencintai.     

Selamat berjuang dalam kebodohan.     

Selamat berteman dengan kehampaan.     

Selamat berkompromi dengan perasaan.     

Selamat berunding bersama kepalsuan.     

Semoga yang selalu kusemogakan untukmu adalah sebuah harapan agar kau selamat sampai di tempat tujuanmu, Adam Liandra Kin.     

Dari Arka untuk harapan bahagia milik Davira Faranisa.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.