LUDUS & PRAGMA

51. Rasa Tak Terarah



51. Rasa Tak Terarah

0Pantulan bola basket yang diciptakan oleh Candra kini menyita seluruh fokus milik Adam Liandra Kin. Remaja jangkung itu tak habis pikir dengan keadaan yang selalu saja melibatkan sang kekasih dengan sahabat kecilnya itu. Mengapa tak bersama Adam? Itulah yang selalu terbesit di dalam benak remaja yang menjabat sebagai kapten basket selama hampir tiga tahun berjalan. Adam mendengar semuanya kala ia bertanya masuk ke dalam kelas Davira juga Arka. Pada Davina ia memperoleh informasi yang mengusung fakta tak ada dusta. Davira pergi menjenguk sahabat lamanya dari sekolah dasar bersama Arka. Katanya kalau tak salah dengar Davira menyebut nama Larisa sebagai embel-embel alasan kala ia mengabari Davina untuk memberikannya segala informasi mengenai kelas yang ditinggalkannya dalam sejenak itu.     
0

Larisa? Adam pernah mendengar nama gadis itu disebut oleh sang kekasih. Si teman lama yang datang bukan membawa kabar baik. Larisa datang dengan fakta yang mengejutkan. Kata Davira, hidup Larisa di London tak baik dan tak sebahagia yang dipikir Davira selama ini. Gadis itu banyak menerima tekanan dari lingkungannya. Davira juga pernah menambahkan padanya kalau Larisa mulai kembali akrab dengan Davira bukan melalui pertemuan secara fisik. Berkontak mata dengan posisi duduk saling berhadapan satu sama lain. Gadis itu kembali akrab dengan sang kekasih sebab sebuah pesan singkat yang diterima Davira melalui surel pribadinya.     

"Lo beneran gak mau main?" Candra kini menyela. Sengaja melemparkan bola basket tepar mengarah pada ujung kaki remaja jangkung yang perlahan menaikkan pandangannya. Menatap kehadiran Candra yang mulai mendekat padanya.     

"Gue tanya, lo gak mau latihan hari ini? Semua orang kecewa Arka mangkir lagi, tapi untuk lo? Semua akan marah karena kaptennya kayak gini," imbuhnya kembali mengulang. Kala yang dilontarkan pertanyaan hanya diam sembari menatap dengan lesu.     

Candra kini mengambil posisi duduk sejajar dengan Adam. Seakan ingin berbincang ringan dengan topik pembicaraan yang tak lain tak bukan adalah pasal Davira Faranisa juga Arka Aditya.     

"Haruskah kita mengeluarkan Arka dari tim?" Adam menyela. Memberi penawaran tak berdasar pada si lawan bicara.     

Candra menoleh. Tertawa ringan kemudian menepuk kasar pundak lebar milik Adam Liandra Kin. "Ini pertandingan terakhir kita. Tinggal beberapa hari lagi, mengeluarkan Arka akan berdampak besar bagi kita semua."     

"Gue tahu lo marah karena tadi. Melihat orang yang paling kita cintai bersama orang lain, itu sangat menyesakkan di dada." Candra mencoba menggurui. Seakan merasa dirinya paling 'jago' kalau sudah menyinggung pasal sakit hati.     

"Itu alasan lo mutusin Karina?" Adam ikut tertawa lirih. Singkat namun cukup untuk membuat Candra berdecak kesal kala nama mantan kekasih disebut jelas oleh Adam.     

"Gue putus karena dia ...." Remaja berpotong rambut cepak itu menjeda. Menimang dan mencoba untuk mencari kalimat yang pas dan cocok tanpa membuatnya terlihat menyedihkan di mata si teman seperjuangannya itu.     

"Dia yang mutusin gue. Karena dia bilang kita udah gak cocok."     

"Alasan klasik." Adam menyahut.     

Keduanya kini terdiam. Sama-sama menatap lurus ke depan sembari sesekali menghela napasnya ringan. Adam sakit hati kali ini. Melihat Davira kembali bersua dan pergi bersama Arka tentu membuat luka tersendiri untuk Adam. Sedangkan Candra? Luka lama yang dimilikinya belum benar kering. Hubungan remaja itu kandas setengah tahun yang lalu. Sang mantan kekasih mengakhiri hubungan sebab Candra tak terlalu baik katanya. Gadis bernama Karina itu lebih memilih laki-laki dua tahun lebih tua darinya. Katanya dalam pujian kala memutuskan Candra, si laki-laki lebih tampan, lebih mapan, dan lebih beriman.     

"Itu Arka!" Candra menunjuk. Tepat mengarah pada remaja yang baru saja terlihat batang hidungnya.     

Adam kini menoleh. Menatap kedatangan Arka seorang diri. Tak ada Davira yang menemani serta menyertai langkahnya sekarang ini.     

"Gue telat. Sorry," ucap remaja itu kala langkah yang diciptakan semakin dekat dengan posisi Adam juga Candra.     

"Mana Davira?" Adam menyela. Bangkit dari posisi duduknya kemudian berjalan dan terhenti tepat di depan tubuh jangkung milik Arka Aditya. Memblokir segala langkah yang diciptakan oleh remaja jangkung itu hingga memaksanya untuk berhenti.     

"Di kelasnya." Arka menyahut dengan nada ringan. Seakan sedang tak merasa bersalah sekarang ini. Toh juga, Arka memang tak melakukan kesalahan apapun bukan? Baginya pergi bersama Davira bukan untuk alasan yang tak jelas dan tak berdasar. Ia pergi, sebab kepentingan yang harus segera diselesaikan.     

"Berapa kali gue memberi peringatan untuk tidak mengganggunya lagi?"     

Arka tersenyum miring. Ditatapnya remaja sialan yang terus saja berusaha untuk mengusik dan mengganggu ketenangannya.     

"Kenapa lo semarah ini sekarang? Padahal kita hanya ke rumah sakit untuk menjenguk teman lama. Larisa namanya, dia hampir saja keguguran karena kelelahan. Lo pikir Davira tak boleh datang dan menjenguknya?" Arka kini menjelaskan. Memberi penegasan dan penekanan di setiap kalimat yang terucap dari celah bibir merah muda miliknya.     

"Karena gue gak suka itu." Adam melirih. Menatap tajam remaja yang masih saja tersenyum untuk menanggapi kemarahannya sekarang ini.     

"Karana lo khawatir Davira akan berbalik arah?" tanyanya memicu.     

Adam menundukkan sejenak pandangannya. Mengambil satu langkah maju untuk mendekat pada remaja jangkung setara tinggi dengannya itu. "Kenapa gue harus khawatir kalau Davira cinta mati sama gue? Bahkan kesalahan apapun yang gue lakukan, akan selalu mendapat maaf dari dia bukan?" paparnya menyeringai. Menaikkan pandangannya untuk menatap wajah Arka yang memerah.     

Tangan remaja itu mengepal. Sigap menarik kerah kaos yang dikenakan oleh Adam siang ini. Membuat seluruh pasang mata yang ada di lapangan basket kini menoleh padanya. Candra bereaksi. Sigap menarik tubuh Arka untuk tak melancarkan aksinya kali ini. Dalam tebakan Candra, Arka dan Adam pasti ingin berkelahi untuk kedua kalinya.     

"Please! Ini lingkungan sekolah." Lirih remaja berponi tipis dengan potongan rambut cepak itu menyela. Berusaha sekuat tenaga untuk melepas cengkraman kuat jari jemari Arka Aditya dari atas kerah kaos yang digunakan oleh Adam. Remaja jangkung yang ada di depan Arka tak bereaksi sedikitpun. Hanya diam mematung sembari terus menatap Arka dengan cermat.     

"Arka! Lo mau gue panggilkan Davira sekarang!" sentak Candra jengkel. Perlahan jari jemari milik Arka melunak. Melepas kasar dengan sedikit mendorong tubuh Adam ke belakang.     

"Lo melupakan satu hal di sini ... gue adalah sahabat kecil dari Davira Faranisa." Ia berucap. Mendorong kasar tubuh Adam untuk memberinya celah kembali melangkah. Menjauh dari Adam yang masih diam sembari menyeringai samar.     

"Lantas? Apa yang bisa lo lakukan sekarang? Davira terlanjur jatuh hati sama gue."     

Arka menghentikan langkahnya. Menoleh pada Adam sembari mengembangkan senyum aneh. "Mau lihat apa jawabannya? Jawaban dari Davira akan memilih lo atau gue."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.