LUDUS & PRAGMA

26. Bagaimana Dengan Hatiku?



26. Bagaimana Dengan Hatiku?

0"Kalian bertiga terlihat begitu lucu kalau sedang bersama." Rena memulai percakapan. Selepas memesan dan membayar, mereka mengambil satu meja panjang dan kursi sebagai tempat duduk di pojok ruang kantin. Sisi paling sepi adalah tempat favoritnya kalau sedang makan bersama seseorang. Seperti Rena misalnya.     
0

"Lucu apanya. Hati gue sedang gak baik dan mereka cuma tau cara berantem." Davira mendesah di bagian akhir kalimatnya. Melirik sejenak Rena yang baru saja terkekeh kecil nan singkat.     

"Lo ada masalah lagi 'kan?" Rena menebak. Bukan tanpa alasan ia bertanya demikian, jikalau paras Davira sudah masam dan cara berbicaranya ketus sedikit dingin dengan suara malas dan tatapan tak fokus seperti itu maka bisa disimpulkan bahwa ia sedang berada di dalam sebuah bencana.     

"Soal rumah."     

"Lo ada masalah sama mama lo?" Rena menyahut. Membulatkan matanya sejenak sembari sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menelisik perubahan ekspresi milik gadis yang masih fokus memainkan sendok dan garpu di dalam genggaman tangannya untuk beradu satu sama lain. Jika ada makanan, Rena akan sangat yakin bahwa Davira akan mengabaikan dirinya dengan memakan semua yang ada.     

"Bukan. Soal papa gue dan keluarganya."     

Rena bungkam. Diam tak mampu banyak berkomentar pasal hal itu. Bukan tak mau mengulik dan membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi oleh teman dekatnya itu. Namun, Rena tak banyak tahu akan hal itu. Semenjak berteman dan dekat dengan Davira, ia memang mengetahui hampir seluruh masalah yang ada di dalam hidup seorang gadis bernama lengkap Davira Faranisa. Namun, hampir! Itu artinya tak semua. Salah satunya adalah ia tak mengetahui banyak perihal keluarga tiri gadis itu. Bagaimana sang papa kandung yang sebenarnya, siapa ibu tirinya, dan seperti apa rupa adik-adik tirinya. Rena tak pernah tahu semua itu.     

"Mama gue kayaknya marah dengan apa yang lakukan kemarin. Jadi dia menghukum gue hari ini."     

Rena menoleh. Menatap dengan benar gadis yang ada di sisinya. Kemudian menghela napasnya dan mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak Davira. "Hukuman macam apa?"     

-Flashback On-     

Larut datang dengan suasana sepi yang membentang. Gadis yang baru saja sampai di dalam rumah itu berjalan gontai. Menyusuri setiap petak ubin yang samar memantulkan bayangan tubuhnya. Davira tak bertenaga kali ini. Seakan semua terkuras habis hanya dalam hitungan jam. Tak menyisakan sedikit pun tenaga untuk bisa ia berikan di setiap langkah kakinya.     

"Kamu sudah pulang?" Suara lirih menyela. Menarik segala perhatian Davira untuk menoleh dan menghentikan langkahnya. Sang mama sudah ada di depan ambang pintu kamarnya. Berdiri tegap sembari melipat kedua tangannya rapi di atas perut. Sesekali mengernyitkan dahinya sembari mengerutkan kedua sudut matanya. Dari jarak yang tak bisa dibilang dekat juga tak patut kalau dibilang jauh, gadis itu bisa mengerti bahwa sang mama sedang marah saat ini.     

Untuk apa? Sebab Davira pulang malam? Ia rasa tidak. Davira sering melakukannya. Sang mama hanya bertanya dan meminta jawaban dengan meletakkan kejujuran dari sang putri. Marah sebab hal sepele seperti itu, tak akan pernah dilakukan oleh Diana pada putrinya.     

"Bisa kita berbicara sebentar, Nona Davira?" tanya mamanya berjalan mendekat. Tak mengubah raut wajahnya dengan tegas memberi sorot pandangan pada sang putri.     

"Hm. Ada masalah selama Davira pergi?"     

"Masalahnya adalah kepergian kamu yang tak seharusnya terjadi," kelit Diana menyela sang putri. Sukses membuat Davira sejenak mengernyitkan dahinya tak mengerti. Kalimat mamanya terlalu mengada-ada dan tak berdasar.     

"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Diana menegur dengan nada tegas. Memancing reaksi lain dari Davira yang mulai mencoba menelisik arti tatapan bersama dengan kalimat bernada ketus nan dingin dari sang mama.     

"Davira gak melakukan kesalahan apa—"     

"Kenapa kamu menjadi pengemis dengan meminta perusahaan dari papa kamu!" Mamanya berteriak. Meninggikan suaranya untuk membuat sang putri sedikit mengerti dengan keadaan yang sedang terjadi saat ini.     

"Ah, karena itu?" jawab Davira dengan nada tenang.     

"Karena itu?" Diana mengulang. Samar kembali mengerutkan dahinya untuk merespon kalimat dari Davira Faranisa.     

"Itu keterlaluan Davira," ucapnya melirih. Meraih tubuh sang putri yang baru saja memberi respon dengan melangkah mundur.     

"Dia pasti mengadu sama mama 'kan?"     

"Dia adalah papa kamu." Diana kembali menimpali. Memalingkan sejenak wajahnya kemudian menghela napasnya berat. Ia tak tahu, kalau penampilan sang putri yang ditoleransi olehnya tadi, akan membuahkan hasil yang mengejutkan seperti ini.     

"Lalu? Apa aku tak boleh meminta sesuatu dari papa aku?" Davira ikut melirih. Menelisik perubahan raut wajah sang mama yang baru saja mengusap kasar wajah lelahnya.     

"Perusahaan adalah harta satu-satunya yang dimiliki oleh papa kamu sekarang ini. Meminta itu artinya kamu meminta hal yang tak sopan padanya."     

Davira diam sejenak. Tersenyum seringai kemudian kembali memusatkan fokusnya untuk menatap sang mama.     

"Kamu bisa meminta baju mahal, make up, jam tangan, aksesoris, atau bahkan rumah sekalipun. Tapi kenapa kamu meminta harta yang menjadi kehidupan papa kamu?"     

"Karena hanya dengan itu ... aku bisa mengambil kebahagiannya." Davira menyahut dengan tegas. Samar kedua lensanya berbinar. Seakan menyembunyikan ribuan air mata yang ingin menetes sekarang.     

"Mama salah mendidikmu selama ini Davira. Seharusnya mama tidak terlalu memanjakan kamu," tutur Diana dengan nada lembut. Kembali mengusap wajahnya kala melihat sang putri benar-benar lain malam ini.     

"Kenapa tak bunuh Davira saja waktu itu?" Gadis itu menyahut. Melirihkan nada bicara hingga terdengar samar masuk ke dalam kedua telinga sang mama.     

"Davira ...."     

"Davira tak pernah meminta banyak dari mama. Davira tak pernah meminta harta atau menjadi anak orang kaya. Davira tak butuh rumah mewah dan segala fasilitas konyol ini. Yang Davira butuhkan adalah kita menjauh dari mereka."     

Diana diam bungkam tak bersuara lagi. Menatap tetes demi tetes air mata yang turun mengiringi kalimat sang putri.     

"Tapi kenapa mama malah membantu mereka dan kembali berhubungan dengan mereka? Melibatkan Davira masuk ke dalam permasalahan yang dibuat oleh mama? Kenapa?!" Davira mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas berat. Seakan benar-benar tak ingin masuk ke dalam permasalahan ini lagi. Akan tetapi, dengan kasar dan penuh paksa sang mama menariknya masuk. Meninggalkan Davira di sana sendirian untuk menghadapi semua kekonyolan ini.     

"Davira hanya muak ...." Gadis itu memungkaskan kalimatnya lirih.     

"Kalau mama masih mencintai papa, setidaknya pergi dan tinggalkan Davira di rumah nenek! Mulai hidup baru dengan—"     

"Davira!!!" Diana membentak. Memotong kalimat dari sang putri.     

"Kamu dihukum. Renungkan kesalahan kamu dan jangan pergi kemanapun setelah pulang sekolah! Pulang dan kurung diri kamu sendiri di dalam kamar. Kamu gak akan dapat uang jajan sebelum melakukannya."     

Davira tersenyum ringan. "Benar, mama hanya perlu melakukan hal itu," ucapnya mengakhiri kalimat. Pergi dari hadapan Diana untuk melangkah menuju kamarnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.