LUDUS & PRAGMA

27. Rasa Yang Tersembunyi



27. Rasa Yang Tersembunyi

0Davira menatap papan tulis yang ada di depannya. Putih bersih tak ada tulisan apapun yang menghiasi di atas sana. Suasana kelas ramai saat ini, sebab guru pergi lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi. Menyisakan sebuah tugas besar yang harus dikerjakan Davira dengan tenggat waktu dua malam lamanya. Gadis itu menghela napasnya. Melirik jam dinding yang terus berputar menyusuri angka demi angka yang mengelilinginya. Arka belum kembali dari dalam ruang basket. Davina juga pergi entah kemana tak ada kabarnya. Ia ingin pergi, keluar dari ruang kelas dan pulang untuk memulai hukumannya.     
0

Selepas sang mama melayangkan kalimatnya kemarin malam, Davira enggan berucap apapun paginya. Berangkat lebih pagi tanpa mau mengisi perutnya yang jelas keroncongan. Tak mau menyapa atau bersua dengan sang mama untuk sekadar bertegur sapa. Jika Davira marah, ia akan sangat mirip dengan sang mama. Diam tak bersuara sampai marah dan emosi dalam dirinya sedikit lega.     

Gadis itu kini mulai mengemasi barang-barang miliknya. Memasukkannya ke dalam tas punggung yang selalu dibawa oleh gadis itu kemudian memakai jaket sweater rajut berwarna cokelat muda. Mulai merapikan diri dan bergegas untuk pergi. Waktu tinggal sepuluh menit sebelum bel nyari berbunyi, jadi tak ada salahnya jikalau ia keluar sekarang ini. Toh juga bukan hal yang aneh lagi untuk siswa dan siswi yang ada di lingkungan sekolah Amerta Bintari kalau pulang lebih awal dari biasanya.     

"Lo mau pergi?" Seseorang menyela. Membuat Davira yang baru saja menunduk untuk mengecek apakah ada benda yang tertinggal di dalam laci meja itu mendongak. Bukan Adam, namun Arka Aditya.     

"Gue mau ngomong," katanya memotong aktivitas Davira. Mengetuk sisi meja kala gadis itu kembali tak acuh selepas melihat siapa yang baru saja datang untuk menyambangi tempatnya.     

"Davira!" Arka kini meninggikan nada bicaranya. Berusaha untuk menarik perhatian gadis yang sungguh menyebalkan sekarang ini.     

"Kalau lo gak mau berbicara sama gue, terus gimana kita bisa menyelesaikan permasalahan kemarin malam?" tanyanya dengan nada meninggi.     

"Gue minta maaf karena udah bikin lo kecewa kemarin malam. Gue benar-benar menyesal!" tukasnya benar-benar berteriak. Bukan hanya menyita perhatian Davira Faranisa, namun juga seluruh teman-teman penghuni kelas.     

"Kalian ngapain kemarin malam? Kenapa Davira marah kemarin malam?" Seseorang menimpali. Memberi pertanyaan ambigu dengan menggerakkan kedua jarinya di sisi wajah tak tampan miliknya.     

"Lo bikin semua orang salah paham." Davira akhirnya mau berucap. Selepas memastikan semua barangnya sudah terbawa masuk ke dalam tas, ia bangkit. Membenarkan seragam yang terlipat kemudian kembali menatap Arka Aditya.     

"Gue mau pulang, minggir." Davira kembali mengimbuhkan. Tatapannya tak bersahabat. Begitu juga caranya menggeser tubuh Arka Aditya agar memberinya celah untuk berjalan keluar.     

"Apa yang harus gue lakukan biar lo gak marah?" Arka menarik pergelangan tangan Davira. Kasar membuat tubuh gadis itu harus kembali berputar dan menatapnya dengan intim.     

"Haruskah gue peluk lo dan mengusap puncak kepala lo kayak waktu itu?" Ia mengimbuhkan. Gadis yang ada di depannya kini menghela napasnya kasar. Memalingkan wajahnya sejenak kemudian kembali menatap remaja jangkung yang ada di depannya.     

"Gue harus pulang. Gue dihukum sama mama, puas lo?" ucapnya dengan nada ketus. Melepas kasar genggaman Arka sebab Davira sudah benar-benar lelah sekarang ini. Pertemuannya dengan Adam kemarin juga tak benar membuahkan hasil yang maksimal. Hanya mampu meluluhkan sedikit amarahnya, tak bisa benar menghilangkan dan menghabiskan emosinya.     

"Apa maksud lo bilang kek gitu?" Arka kembali menyela. Kali ini dengan tegas menatap kedua lensa teduh milik Davira.     

"Mama tau semuanya. Tentang yang gue katakan ke papa Alia," jawabnya dengan nada malas.     

"Jadi dia memberi gue hukuman. Untuk itu, jangan ganggu gue karena gue udah pusing sekarang ini. Lo bisa pergi dari sini." Davira mengimbuhkan. Kali ini benar memutar tubuhnya untuk pergi menjauh dari Arka Aditya. Kembali berjalan melangkah untuk keluar dari dalam ruang kelas.     

Ia tak ingin banyak berbicara kali ini. Baik Adam maupun Arka, sama-sama terkesan sangat mengganggunya sekarang.     

"Davira, tunggu." Benar! Bukan Arka namanya kalau hanya membiarkan Davira pergi begitu saja tanpa memintanya untuk menjelaskan semua yang terjadi padanya kemarin malam. Davira mendapatkan hukuman dari sang mama. Memang, bagi beberapa orang itu adalah hal wajar yang tak perlu banyak dipertanyakan lagi. Seorang ibu memberikan hukuman pada putra atau putrinya yang melakukan kesalahan, namun untuk Arka itu adalah hal yang tidak wajar. Sebab Diana tergolong begitu sabar dan pengertian untuk mentoleransi segala kesalahannya putri semata wayangnya itu.     

"Dihukum apa?" tanya Arka menarik pergelangan tangan Davira. Gadis itu sigap menampiknya kasar. Tak ingin terhenti dan meladeni remaja yang benar-benar kokoh dalam niatnya itu.     

"Hukuman apa?!" pekik Arka dengan nada tinggi. Raut wajahnya memerah padam. Matanya membulat dan syaraf yang ada di lehernya menegang. Seakan amarah mulai tumbuh di dalam dirinya. Bukan sebab ia jengkel dengan sikap Davira, namun sebab ia begitu khawatir sekarang ini.     

"Lo bentak gue?" Davira terhenti. Memutar tubuhnya untuk bisa berhadapan dengan remaja jangkung di depannya itu.     

"Hm, gue bentak gadis dewasa yang bertingkah kenakak-kanakan!"     

"Kemarin lo sebut gue jahat sekarang lo sebut gue kekenak-kanakan?" Davira mengulang. Dengan nada tinggi dan tatapan aneh. Menunjuk tepat ke arah paras tampan remaja yang kini berkacak pinggang di depannya.     

"Kenapa emangnya? Benar 'kan apa yang gue katakan?!" protes Arka menyahut.     

"Cih, lo bener-bener sahabat yang gak pengertian!" Davira mendorong kasar dada bidang Arka. Membuat remaja yang tadinya kokoh berdiri di depannya itu bereaksi. Berpura-pura terdorong ke belakang dan jatuh terjengkal. Merintih kesakitan kala merasakan tangannya yang mungkin saja terkilir saat ini.     

"Argh!!!" erangnya hebat. Sukses menarik perhatian Davira yang baru saja ingin pergi melangkah jauh.     

"Gak usah pura-pura," katanya ketus. Melirik sekitar yang tegas menatap ke arah keduanya.     

"Bangun," bisik Davira sembari ragu mengulurkan tangannya.     

Arka tak merespon. Hanya terus mengerang kesakitan sembari memegangi pergelangan tangannya.     

"L--lo beneran terkilir?" Davira menelisik. Perlahan membungkuk dan berakhir pada posisi berjongkok untuk menyamakan posisi dengan Arka Aditya.     

"Gimana ini? Sakit banget?" tanyanya sembari melipat keningnya tegas. Sesekali melirik Arka yang mulai terdiam sembari tegas memberi tatapan pada Davira.     

"Gue bawa ke rumah sakit." Ia mengimbuhkan. Menarik tubuh Arka untuk membawanya bangkit, akan tetapi remaja itu bereaksi. Menarik tubuh Davira dan menjatuhkannya tepat di atas pelukan hangat milik Arka Aditya. Mengusapnya perlahan sembari sesekali menghela napasnya ringan.     

"Sekarang lo mau cerita hukuman macam apa yang diberikan mama lo buat kesalahan lo kemarin?" Arka menyela. Membuat Davira yang ada di dalam pelukannya perlahan melunak.     

"Gue minta maaf, Davira," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.