LUDUS & PRAGMA

28. Kunjungan Terbaik



28. Kunjungan Terbaik

0Senja menutup hari. Pergi bersama jingga langit dan agung sinar sang surya. Redup dengan sepi membentang adalah suasana yang tercipta di dalam kamar Davira malam ini. Tak ada yang ingin ia lakukan. Mengurung diri adalah salah satu hukuman yang diterimanya hari ini. Bukan ingin menurut, gadis itu hanya takut kalau uang jajan menipis dan ia tak bisa membeli es krim kesukaannya sepulang sekolah. Toh juga, tak ada berat-beratnya sama sekali hukuman yang diberikan oleh sang mama. Hanya cukup berdiam diri di dalam kamar. Tak keluar menyambangi tempat indah di tengah keramaian kota juga tak melakukan hal yang menimbulkan suara berarti. Davira cukup menikmati suasana seperti ini. Sebab sepi dan damai adalah caranya menjalani kehidupannya.     
0

Tak ada Arka. Selepas sore datang dan bel panjang berbunyi mengakhiri pembelajaran yang ada, Davira melepas pelukan remaja itu dengan kasar. Pergi menjauh dan berlari untuk benar keluar dari jangkauan remaja yang tak lagi mengejarnya. Seakan mampu menerka yang akan terjadi Arka membiarkan Davira lari begitu saja. Namun selepas memastikan bahwa amarah gadis itu padanya sudah sedikit surut.     

Davira bangkit dari ranjang empuk miliknya. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya kali ini. Ia tak ingin tidur lebih cepat, sebab gadis itu benar-benar ingin menikmati sepi yang ada.     

Jadi membasuh wajah adalah cara yang baik untuk kembali memaksa mata bulatnya melebar dan terjaga.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Bel samar berbunyi. Diiringi dengan ketukan pintu ringan yang menyertai. Wanita yang baru saja ingin menutup buku di dalam genggamannya itu menoleh. Mengarahkan tatapannya tegas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Seseorang datang. Menyambangi rumahnya dengan membunyikan bel juga mengetuk pintu. Menyuruh dirinya segera membukakan pintu untuk bisa menyahut dengan ramah.     

Diana berjalan dengan langkah ringan. Sesekali menyahut singkat untuk memberi isyarat pada tamunya agar sedikit melebarkan sabarnya untuk Diana datang dan membukakan pintu.     

Suara gagang ditekan. Tegas pintu dibuka dan menampilkan beberapa tubuh remaja jangkung yang sudah berdiri di depan rumah Diana. Tersenyum samar sembari menyapa wanita itu dengan kompak. Beberapa dari mereka membawa buah tangan, lainnya hanya datang bermodal senyum dan keramahan. Wanita paruh baya itu ikut tersenyum. Menyambut dengan lebih lebar lagi dalam membukakan pintunya. Memberi celah luar biasa besarnya untuk mempersilakan semua remaja yang tak asing untuknya itu masuk ke dalam.     

Rena Rahmawati, gadis yang pertama kali datang masuk melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Sejenak membungkukkan badannya pada Diana untuk memberi kesopanan. Tak lupa senyum Diana kembangkan. Menyambut kedatangan orang kedua yang melakukan aktivitas identik dengan Rena, Davina Fradella Putri.     

Adam menyusul. Sedikit tersenyum kuda pada calon mertua yang menyambutnya penuh antusias dan semangat tinggi. Seakan sebuah anugerah telah datang malam ini.     

"Arka juga?" Diana mulai berucap. Sejenak menatap jajaran remaja yang menganggukkan kepalanya setuju, lalu memindah tatapan untuk Arka yang baru saja masuk dibarisan paling akhir.     

"Ada apa ramai-ramai datang ke sini?" tanya Diana dengan nada lembut. Tak banyak ingin berbasa-basi sebab bukan itu cara yang baik untuk menyambut seorang tamu yang datang.     

"Kita ingin bertemu dengan Davira, Tante." Rena menimpali. Masih dengan senyum manis yang menghias di atas paras cantik natural meskipun polesan make up tak terlalu tebal dan mencolok.     

"Davira?" Diana kini memusatkan tatapannya ke lantai atas. Tak ada suara yang terdengar dari kamar sang putri sejak ia datang dan naik ke atas tadi. Panggilan yang ditujukan untuk Davira pun tak ada jawaban. Seakan sepi bak kamar kosong tak berpenghuni adalah kondisi kamar sang putri beberapa menit yang lalu.     

"Katanya dia sedang dihukum, jadi kita ingin menemani." Adam menyahut kala tak ada suara dalam sepersekian detik berjalan. Membuat Diana kembali menoleh dan menatap paras tampan remaja jangkung berjaket biru polos di sisinya itu.     

"Davira yang cerita?" tanya Diana tersenyum ramah.     

Adam menggelengkan kepalanya. "Arka yang memberi tahu."     

"Ada kesalahan yang dilakukan oleh Davira kemarin malam, jadi tante menghukumnya untuk memberi pembelajaran." Diana beralasan. Tak mau banyak berbicara untuk memperbincangkan permasalahan seperti apa yang sudah membuatnya tega menghukum sang putri malam ini. Tidak ada yang perlu tahu, sebab itu terlalu sensitif dan pribadi.     

"Kalau gitu kita boleh naik dan menengok?" Davina kini ikut berbicara. Menatap Diana dengan penuh pengharapan tinggi bahwa ibu satu anak itu akan mengijinkan mereka untuk mengacaukan hukuman Davira malam ini.     

"Tentu. Jangan membuat keributan yang menganggu." Diana memberi syarat. Menepuk pundak siapapun remaja yang dekat dalam jangkauannya sekarang ini. Membiarkan mereka naik ke lantai atas dan meninggalkan dirinya di tempat.     

Diana tak tahu, bahwa Davira memiliki banyak orang baik yang perhatian padanya seperti ini. Sang putri terlalu tertutup belakangan ini. Mungkinkah sebab masa puber mulai dilewati dan dewasa adalah usia yang sedang ingin dihadapi Davira Faranisa hingga membuat ia mulai menyembunyikan banyak hal dari sang mama? Entahlah. Melihat ia kedatangan banyak tamu malam ini membuatnya sedikit lega, setidaknya di masa tak bahagia, Davira masih punya banyak orang yang akan membuatnya bahagia.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Suara pintu diketuk dengan lirih. Menunggu jawaban dari orang yang ada di dalam ruangan. Kedua dan ketika kali terulang, namun Davira tetap kokoh dalam diamnya. Membuat semua remaja yang ada di depan ambang pintu kini menatap satu sama lain. Seakan ingin memutuskan segala tindakan untuk mendobrak pintu kamar gadis yang menjabat sebagai kekasih dari Adam Liandra Kin.     

"Gue yang buka," sela Arka menerobos. Tanpa aba-aba ia mendorong pintu yang ada di depannya. Benar, tak dikunci. Remaja itu tahu betul bagaimana kalau Davira sedang kalut hatinya. Gadis itu akan lupa untuk mengunci pintu kamarnya sendiri.     

"Dia gak ada di kamar?" tanya Rena menelisik setiap bagian ruangan. Hanya ada suara gemercik air yang mulai samar terdengar. Diikuti dengan suara gagang pintu yang baru saja ditekan tanda seseorang ingin keluar dari kamar mandi di pojok ruang kamar yang terlihat begitu luas dan rapi itu.     

"Davira?" Adam melirih. Memanggil sang kekasih yang baru saja ingin melangkah keluar dengan penampilan kacau alakadarnya. Sisi rambutnya basah dan berantakan sebab selepas membasuh wajahnya, ia belum sempat menyisir dan merapikannya. Pakaian Davira bebar-benar terkesan "acak-adul" sekarang ini. Hanya berbalut kaos kedodoran tak disetrika dan celana pendek selutut yang terbuat dari kain. Wajahnya polis tak ber-make up. Tatapannya sayu sedikit sendu sebab ia merasa kantuk baru saja melandanya.     

"Kamu habis selesai mandi?" imbuh Adam menambahi. Sukses membuat gadis yang mematung di tempatnya itu menggeleng ringan.     

--dari sekian banyak penampilannya, mengapa harus penampilan konyol seperti ini?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.