LUDUS & PRAGMA

29. Rindu Yang Menggebu



29. Rindu Yang Menggebu

0"K--kenapa kalian datang ke sini malam-malam tanpa memberi kabar?" Davira berucap dengan sedikit gagap. Ingin ia lari, menyembunyikan segala penampilan konyolnya malam ini. Berubah menjadi seorang putri cantik yang tak memalukan dirinya sendiri. Akan tetapi, ini bukan negeri dongeng yang bisa bertindak semudah itu, berubah menjadi gadis Cantik setelah semuanya terjadi tak akan mengubah fakta bahwa sang kekasih sudah melihat penampilan buruk rupanya malam ini.     
0

"Gue udah telepon beberapa kali. Rena juga, Davina juga, bahkan Adam juga. Tapi ponsel lo mati. Jadi kita datang langsung ke sini," sahut Arka menerangkan. Meletakkan segala camilan yang dibelinya sebelum datang ke sini di atas ranjang empuk milik Davira. Kemudian berjalan menuju pintu balkon yang masih tertutup rapat. Membukanya perlahan untuk membiarkan udara masuk kali ini.     

"Gue udah bilang buka pintunya selagi lo di dalam kamar. Udara malam mungkin bisa—"     

"Bisa membuat Davira sakit." Adam menyahut. Memotong kalimat Arka yang baru saja ingin memutar tubuhnya selepas membuka lebar pintu kaca yang ada di depannya. Kembali berjalan mendekat pada kumpulan remaja yang masih berdiri mematung di tempatnya masing-masing.     

"Bisa menghilangkan stress dan hati yang sedang kalut. Itu maksud gue, Davira." Arka mengabaikan remaja jangkung yang ada di sisinya sekarang ini. Lebih memilih menatap Davira selepas memungkaskan kalimat pendek yang baru saja diucapkan olehnya itu.     

"Dia bisa sakit." Adam berjalan mendekat. Menyela Arka dan berdiri di depan Davira untuk membatasi pandangan gadis itu.     

"Saran lo emang gak pernah masuk akal, Ka."     

"Mereka mulai lagi," sahut Rena melirih. Berjalan menjauh dan naik ke atas ranjang empuk milik Davira. Duduk bersila kemudian mulai memilah dan memilih segala camilan yang sebagian dibeli menggunakan uang jajannya itu.     

"Davina, ke sini." Ia memanggil. Mengabaikan dua remaja jangkung yang masih mematung sembari saling tatap.     

"Davira lo juga sini. Gak baik meladeni bocah-bocah itu."     

Gadis yang baru saja disebutkan namanya itu tersenyum tipis. Mendorong tubuh jangkung sang kekasih untuk memberinya celah bisa datang dan bergabung dengan Rena juga Davina di atas ranjang.     

"Gue yang lebih tahu bagaimana Davira karena gua yang hidup bersama lebih lama dari hubungan baru kalian."     

"Kita udah dua tahun," sahut Adam memprotes. Sukses membuat Arka tertawa kecil sebab baginya dua tahun tak ada apa-apanya jikalau dibandingkan dengan persahabatannya yang lebih dari sepuluh tahun lamanya.     

"Mau gue kasih tahu berapa lama kita bersama menjadi seorang sahabat? Bahkan gue bisa hapal bagaimana bentuk kamar Davira dulu." Arka mulai memancing. Membuat Adam membisu tak bersuara sedikitpun kali ini. Benar, jikalau disuruh membandingkan maka dirinya lah yang akan kalah sekarang.     

"Kalian gak pengen makan camilannya?" Davina menyela keduanya. Mengulurkan tangannya sembari menyodorkan apapun yang sedang ia pegang sekarang ini. Entah untuk Arka atau Adam, ia hanya ingin menyudahi pertengkaran hanya untuk memperebutkan posisi siapa yang paling baik di mata Davira Faranisa sekarang.     

"Gue mau ke balkon aja." Adam menolak. Berjalan menjauh menuju ke arah balkon kamar Davira berada. Mengabaikan Arka yang baru saja tersenyum seringai sebab ia menang secara tidak langsung, meskipun Adam tak mau mengakui bahwa ia sudah kalah malam ini.     

"Gue nyusul Adam dulu," ucap Davira lirih. Menyahut apapun camilan yang ada di dalam jangkauannya kemudian bangkit dan turun dari ranjang. Berjalan menjauh untuk keluar dari ruang kamar dan berada di balkon bersama sang kekasih.     

"Kita ke sini mau nemenin Davira atau mau nganter Adam buat pacaran sih?" kekeh Rena melirik dua remaja yang kini hanya terlihat punggungnya saja. Davira duduk berjajar dengan sang kekasih. Sama-sama menatap luasnya cakrawala yang menghitam malam ini.     

Mendung datang sebab itu tak ada bintang yang bergemerlap di atas sana. Dewi malam juga terlalu takut untuk muncul sebab gumpalan awan hitam terlihat begitu mendominasi, mungkin beberapa menit lagi hujan akan turun menetes dan menghantam permukaan bumi. Membasahi rerumputan juga apapun yang ada di bawahnya malam ini. Menumbuhkan hawa dingin dengan semilir bayu yang berembus tegas membelai. Kalau tak pakai jaket hanya berkaos tipis seperti Davira malam ini, mungkin dingin akan terasa sebentar lagi.     

"Kenapa kamu gak gabung?" tanya Davira menyela. Melirik sang kekasih yang kini menoleh padanya.     

"Kamu cantik." Ia berkata acak. Keluar dari topik pembicaraan mereka saat ini.     

Davira kasar menepuk-nepuk pipinya. Benar, selama ia bertemu dengan Adam setidaknya ada lip balm atau bedak tipis yang ada di atas wajahnya, akan tetapi ia benar-benar tak memakai riasan apapun. Paras yang digunakannya menyambut Adam masuk ke dalam kamarnya malam ini adalah wajah aslinya kala ingin tidur juga selepas bangun di pagi hari.     

"Aku tak pakai make up apapun. Haruskah aku pakai lib balm dulu biar enak dipandang?" tanya Davira dengan tatapan polos.     

Adam menggeleng. Menarik tubuh Davira untuk benar mendekat padanya malam ini. Tak berjeda juga bercelah seperti sebelumnya. "Aku bilang kamu cantik." Remaja itu mengulang. Mengulurkan tangannya kemudian mengusap kedua pipi Davira.     

Hangat! Jari jemari Adam terasa hangat membelai lembut permukaan wajahnya saat ini.     

"Aku membenci suasana ini." Adam meneruskan. Sukses membuat Davira mengerutkan dahinya samar.     

"M--maksudnya?"     

"Aku berencana datang sendiri malam ini, tapi Arka mengajak yang lain dan mengacaukan semuanya." Ia berkata lirih. Kini mulai memindah jari jemarinya untuk mengusap permukaan bibir Davira yang terlihat sedikit pucat.     

"Suasana jadi ramai, itu lebih baik dari sebelumnya." Davira menimpali. Mencoba tersenyum senatural mungkin malam ini meskipun jujur saja, usapan lembut jari jemari Adam di atas bibirnya dengan tatapan tajam yang terus saja menatap ke bagian bawah bibirnya itu sukses membuat jantung Davira was-was. Berdetak lebih kencang sebab ia belum bisa benar mempersiapkan adegan yang akan terjadi selanjutnya.     

"Kamu gak pernah berduaan sama aku doang di kamar ini?" tangannya lagi.     

Ambigu! Mengapa Davira sekarang berpikir makna kalimat itu sangat intim dan pribadi?     

"Bukan gitu, aku hanya ...."     

"Ini pertama kalinya aku datang masuk ke dalam kamar kamu. Bukankah sambutannya harus lebih hangat dari ini?" Adam menyela. Semakin tegas mengusap permukaan bibir gadis yang ada di depannya.     

"Adam ... di sini banyak—"     

"Aku kangen kamu." Lagi-lagi remaja itu menyela. Membuat Davira terhenti dan menatapnya penuh makna.     

Adam kini menaikkan pandangannya. Mengulurkan tangannya untuk meraih tengkuk leher gadis yang ada di sisinya saat ini. Tak ada perlawanan dari Davira. Gadis itu hanya diam sembari terus menatap sang kekasih. Wajah Adam semakin dekat dengannya. Kini Davira merasakan embusan napas itu menerpa permukaan kulit wajahnya.     

"Adam ... ada teman-teman yang lain di sini sekarang," tolak gadis itu memalingkan wajahnya kala ia tersadar bahwa Adam ingin mencium bibirnya malam ini.     

"Maaf," pungkasnya menutup kalimat.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.