LUDUS & PRAGMA

30. Sahabat Vs Kekasih



30. Sahabat Vs Kekasih

0"Davira! Gue mau minta air putih." Suara menyela keduanya. Membuat Davira maupun Adam kini menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Menatap siapa yang baru saja menyela dengan suara lantang miliknya.     
0

Dia adalah Davina Fradella Putri. Gadis cantik yang terlihat begitu anggun dengan celana panjang dan kemeja seperempat lengan yang terlihat begitu pas membalut tubuh tingginya. Tersenyum ringan pada Adam sejenak kemudian memfokuskan tatapannya untuk gadis yang kini bereaksi. Berjalan mendekat dan kasar melepas genggaman tangan dari sang kekasih.     

"Gue ambilin, bentar." Ia merespon. Berjalan cepat untuk menuju ke ambang pintu kamarnya. Dikembangkannya senyum pada Davina yang hanya menganggukkan kepalanya ringan.     

"Ada yang minta air putih juga?" tanya Davira selepas menekan gagang pintu kamarnya. Niat hati ingin menawarkan apa-apa saja yang mungkin dibutuhkan oleh teman-temannya malam ini.     

"Ambilkan kita sekalian. Kita lupa beli air putih tadi," kata Rena menyahut dengan nada tegas nan jelas. Membuat Davira hanya bisa tersenyum sembari mengerang untuk memberi respon kalimat perintah yang ditujukan padanya.     

"Gue bantuin!" Arka menyela. Mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal kali ini. Untuk apa Davira membutuhkan bantuan jikalau yang diambilnya hanya beberapa gelas air putih di atas nampan?     

"Ayok!" Remaja jangkung berponi naik itu menarik kasar tangan Davira. Membawanya keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga. Mengarah ke dapur tempat di mana mereka bisa menemukan segelas air putih untuk disajikan pada tamunya malam ini.     

"Lo masih marah sama gue 'kan?" tanya Arka menyela langkah. Melirik sejenak Davira yang tegas menuruni satu persatu anak tangga untuk sampai ke tujuannya saat ini, kemudian kembali fokus menatap jalanan yang ada di depannya.     

"Kalau ikut gue cuma buat ngomong ini, mending lo balik ke kamar." Davira menimpali dengan nada ketus. Menunjuk ke arah pintu kamarnya yang mulai samar terlihat setelah ia dinyatakan dengan turun ke lantai dasar. Mempercepat langkahnya untuk bisa meninggalkan Arka di tempatnya saat ini.     

"Gue gak akan bahas ini kalau lo gak marah lagi."     

"Lo bikin gue kesel kemarin malam dan tadi sore ... lo bohongin gue juga bikin gue malu dilihatin banyak orang." Davira mengerutkan dahinya. Menggerutu ringan tak mau menatap paras Arka yang terus saja mencoba mencuri perhatiannya saat ini.     

"Karena itu gue minta maaf sekarang. Hanya itu cara buat lo berhenti dan mau bicara sama gue tadi," jawabnya memberi pembelaan. Yang dilakukan oleh dirinya bukan sesuatu yang diniatkan untuk berbuat jahat pada sahabatnya, akan tetapi itu adalah sebuah cara yang ampuh untuk membuat sang sahabat menggubris dirinya.     

"Maafin gue. Gue janji gak akan—"     

"Untung Adam gak lihat tadi," sela Davira sembari mulai menarik gelas kaca yang ada di dalam jajaran rak panjang di depannya. Sesekali melirik Arka yang kini bungkam diam selepas nama Adam disebut oleh Davira. Bahkan dalam keadaan hati dan hari yang sedang tidak baik, Davira hanya memikirkan perasaan Adam Liandra Kin.     

"Emangnya kenapa kalau Adam lihat?" sahutnya dengan nada ketus. Sukses membuat Davira menghentikan aktivitasnya sejenak. Menoleh dan memutar tubuhnya untuk bisa menatap sang sahabat dengan benar.     

"Kalau lo punya pacar, dan lo lihat pacar lo pelukan sama cowok lain ... apa yang ada di dalam pikiran dan hati lo saat melihatnya?" Davira memberi perumpamaan. Mencoba untuk membuat Arka mengerti apa yang sedang dimaksudkan dirinya sekarang ini.     

"Gue gak akan langsung marah, tapi gue akan bertanya langsung padanya untuk memastikan bahwa apa yang sedang gue pikirkan, tidak benar adanya." Remaja jangkung di sisi Davira mengakhiri kalimat dengan senyum singkat. Meraih bahu sang sahabat dan menundukkan pandangannya. Sedikit membungkuk sebab Davira hanya setinggi dada bidangnya saja.     

"Lagian kita adalah sahabat." Arka mengimbuhkan dengan nada lirih. Kali ini benar meraih tubuh Davira dan kembali memeluknya hangat. Mengusap puncak kepala gadis itu sembari sesekali menghela napasnya ringan.     

"Gue anggap kita gak marahan lagi sekarang," ucapnya kala tak ada perlawanan dari gadis yang ada di dalam pelukannya itu. Davira hanya diam. Merasakan pelukan hangat yang merengkuh dan mendekap tubuhnya saat ini. Bahkan selepas dirinya mengenal Adam dan memutuskan untuk menerima perasaan remaja jangkung itu, Davira melupakan bagaimana hangatnya pelukan dari seorang sahabat yang sudah berpuluh tahun lamanya berada dan menemani Davira dalam menjalani hidup penuh dengan luka dan duri. Akan tetapi selepas Adam datang, ia menyingkirkan Arka secara tidak langsung. Hanya memikirkan remaja jangkung yang menjabat sebagai kekasihnya itu tanpa mau memikirkan bagaimana perasaan Arka sebagai seorang sahabat yang tersisihkan.     

"Menurut lo, gue beneran jahat?" tanya Davira melirih. Menyela pelukan yang hangat dirasa olehnya sekarang.     

Arka mengangguk. "Kalau lo gak segera menyelesaikan masalah ini, bukan hanya jahat tapi lo adalah orang yang gak berani untuk bertanggung jawab."     

Arka melepas pelukannya. Menatap Davira yang masih diam bungkam selepas kalimat yang mengganjal di dalam hatinya lolos keluar.     

"Gue gak pernah mau jadi sahabat palsu bermuka dua untuk lo, Ra. Gue hanya ingin menjadi seseorang yang bisa melihat lo apa adanya. Jadi jangan marah dan merajuk seperti itu, kita cari jalan keluarnya bersama-sama," tutur Arka memberi pengertian pada Davira. Tak banyak yang bisa dikatakan gadis itu sekarang. Hanya diam bungkam sembari terus menatap lawan bicaranya saat ini.     

"Pertama-tama, minta maaf sama mama lo. Dia hanya ingin yang terbaik buat anaknya."     

"Kedua, minta maaf dengan—"     

"Papanya Alia?" Davira menyela. Dengan nada sedikit ketus untuk memotong kalimat dari remaja jangkung di depannya.     

"Lupakan. Gue akan cari penyelesaiannya sendiri. Jangan ikut campur." Gadis itu kini melanjutkan kalimatnya. Kembali menarik gelas yang ada dijajaran rak panjang di depannya saat ini.     

"Lo bisa pergi. Gue bisa bawa ini sendiri," ucapnya memungkaskan.     

Arka kembali menghela napasnya. Sigap tangannya lagi-lagi meraih pundak Davira dan memeluknya hangat. Arka menyukai pelukan ini! Hanya dalam keadaan seperti ini lah ia melakukannya tanpa harus meminta ijin pada siapapun. Dengan kedok ingin memberi pengertian dan melunakkan segala ego yang ada di dalam diri sang sahabat, Arka sukses merasakan tubuh Davira ada di dalam pelukannya. Bukan sebagai seorang sahabat, namun ia merasakannya sebagai seorang gadis baik yang dicintainya.     

"Dia pacar gue!" Seseorang menyela. Berjalan dengan langkah cepat kemudian menarik tubuh Davira dari dalam pelukan Arka. Membuat gadis itu sedikit terkejut dengan tarikan tiba-tiba yang terasa sedikit kasar.     

"Jangan peluk sembarang gadis, apalagi dia udah punya pacar. Itu membuat lo terlihat begitu murahan dan menyedihkan." Ia melanjutkan. Ditatapnya Arka dengan penuh amarah yang menggebu saat ini.     

"Lo ceramah di saat seperti ini?"     

"Gue sedang memberi peringatan dan ancaman." Adam mengimbuhkan. Memungkaskan kalimatnya dengan tegas sembari terus memberi tatapan tajam menelisik pada lawan bicaranya saat ini.     

"Camkan itu!"     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.