LUDUS & PRAGMA

32. Awal Keraguan Yang Menggebu



32. Awal Keraguan Yang Menggebu

0"Kalau kakak ragu, datang saja padaku." Davira menghela kasar napasnya. Tak henti-hentinya ujung kuku runcing gadis itu saling beradu satu sama lain untuk meredakan kegelisahannya siang ini. Meskipun sorot mata bulat gadis berambut hitam pekat itu masih terfokus pada pantulan bola yang diciptakan oleh kekasihnya jauh di tengah lapangan, namun pikiran dalam kepalanya melayang entah ke mana perginya. Perkataan yang ia dengar beberapa hari lalu itu benar-benar sukses membuatnya tidak tenang hingga siang ini. Davira tak tahu, ada apa dengannya belakangan ini. Tentang Adam, entah sejak kapan ia mulai meragukan kekasih hati yang hampir genap dua tahun menjalin hubungan dengannya itu.     
0

"Sampai kapan lo mau kucing-kucingan sama Adam?" Suara bariton membuyarkan lamunan Davira. Fokusnya yang tadinya untuk Adam, kini diambil paksa oleh perawakan jangkung yang tak asing olehnya.     

"Siapa? Gue?" Davira menyipitkan matanya.     

"Davira Faranisa. Itu lo 'kan?"     

Davira menautkan alis cokelat tuanya.Tersenyum miring sebelum akhirnya kembali menghela kasar napasnya untuk kesekian kalinya. Tubuh semampainya perlahan memutar. Menghadap remaja sebaya dengan gadis itu yang hanya diam menatapnya sembari berharap Davira akan mengatakan sesuatu yang ia harapkan mampu mengusir rasa penasarannya terhadap gadis yang hanya setinggi dada bidang milik Arka Aditya.     

"Gue gak suka kucing." Davira tersenyum picik. Memutar kembali posisi tubuhnya menghadap ke depan untuk kembali menangkap perawakan tubuh jangkung Adam yang jauh di tengah lapangan.     

"Gue liat lo seminggu lalu, ah mungkin lebih ... di pasar malam sama Raffa," sahutnya tiba-tiba. Davira membulatkan matanya. Tangannya yang tadinya terlipat rapi di depan perut datarnya kini mulai melemas. Cepat kepalanya menoleh sedikit mendongak untuk menatap remaja di sisinya itu.     

"Gue liat lo jalan sama Raffa," ulangnya.     

"Dan tadi gue lihat kalian di dalam perpustakaan sekolah. Lo bener mau bertindak sejauh ini?" Arka mengimbuhkan. Masih dengan tatapan dan ekspresi wajah yang sama.     

Davira diam sembari mengerutkan dahinya. Matanya perlahan menyipit. Lidahnya terasa begitu kelu hingga ia tak mampu berucap apapun kali ini. Diamnya Arka selama ini, bukan sebab ia tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Seputar hubungannya dengan Adam dan sang adik, Arka pasti mengetahui sesuatu. Namun remaja itu enggan memberi tahu pada Davira dan memilih diam. Menyimpannya untuk diri sendiri sembari mencoba mencari kesimpulan yang tepat.     

"Gue dengar kabarnya." Arka kini berdiri sejajar dengan gadis yang masih tegas menatapnya. Mendesah ringan kemudian menoleh untuk memberi fokus pada sang sahabat.     

"Kalau Raffa juga mengatakan bahwa Adam mendua." Ia memungkaskan kalimat dengan nada nada berat. Menyembunyikannya dan berpura-pura tak tahu, ternyata tak ada gunanya untuk Arka     

"Gue gak percaya." Davira menyahut. Tak menatap mau sang sahabat saat ini.     

"Jangan terlalu dekat dan baik padanya. Sikap lo akan memberi dia peluang untuk membuat lo semakin ragu dengan Adam." Arka menimpali. Memotong dan menyahut kalimat dengan suara melirih. Melihat Davira semakin hari semakin menyedihkan seperti ini, bukan membuatnya lega sebab hubungan percintaannya akan segera kandas, namun Arka merasa tersayat. Hatinya lebih hancur melihat sahabatnya begini. Ia tak mampu berbuat banyak sekarang. Hanya bisa mengawasi dari jauh, dan jikalau perlu ia akan memberi saran seperti sekarang ini.     

"Baik sama orang dan memberi peluang adalah hal yang berbeda." Gadis itu menjawab dengan tegas. Menoleh sejenak kemudian tersenyum kecut.     

"Ra, Raffa itu adiknya Adam. Lo paham betul 'kan? Dia juga masih di bawah umur," lanjutnya sembari menatap Davira dalam-dalam.     

"Kalau Adam tau dia—"     

"Dia gak akan tau kalau lo diem." Davira menyahut. Kali ini kedua tatapannya berubah. Sekilas melirik posisi Adam yang masih fokus dengan pantulan bola basket dan teman-teman setimnya di tengah lapangan kemudian kembali memfokuskan sorot mata bulatnya ke arah remaja yang mulai memegang erat bahunya—mencoba membangun pengertian terhadap gadis di depannya—     

"Lo beneran suka sama Adam?" tanya Arka tak ingin banyak berbasa-basi dan membuang waktu sekarang.     

Davira diam enggan menjawab sepatah katapun.     

"Kalau gak suka tinggalin dia dan sama g—"     

"Sama lo aja?" Kembali Davira memotong perkataan remaja di depannya. Senyum seringai menghiasi paras ayunya kali ini. Tawa kecil muncul begitu saja dari celah bibir merah mudanya.     

"Lo bakalan ngadu ke Adam kalau gue jalan sama adik kandungnya beberapa hari yang lalu? Lo mau manfaatin itu dan jatuhin gue?" Davira melirih. Mengambil satu langkah maju untuk mendekatkan posisi tubuhnya dengan lawan bicaranya itu.     

"Sebegitu bencinya lo sama gue karena gue nolak lo? HARUSNYA LO ITU—"     

"KARENA GUE SAYANG SAMA LO VIRA!" Remaja di depannya menyentak. Sedikit meninggikan nada biacaranya supaya gadis di depannya itu mau mendengarkan nasihatnya kali ini.     

"Cara gue mencintai bukan menghancurkan untuk memiliki," lanjutnya dengan nada sedikit melunak.     

"Please Davira, dengerin gue. Jauhi Raffa." Arka kembali mengimbuhkan. Tegas tatapannya sungguh ingin memblokir segala arah fokus gadis di depannya itu.     

"Lo gak tau apa-apa." Davira menyahut. Kali ini tubuhnya bereaksi melepas cengrakaman kuat yang membebani bahunya.     

"Dia masih kecil Dav—"     

"LO GAK TAU APA-APA, ARKA!" Nada bicara gadis wajah tirus itu kembali meninggi. Kali ini tubuhnya melangkah menjauh dari remaja yang baru saja ia sebut namanya dengan nada meninggi.     

"Arka please, biarin gue sendiri." Davira memohon. Tubuhnya dengan cepat memutar dan beranjak meninggalkan remaja yang masih kokoh mematung di tempatnya itu.     

Arka mengejar. Tak ingin kehilangan Davira dengan amarah yang kembali menggebu di dalam diri sahabatnya itu. Baru kemarin malam, amarahnya surut. Mereka berbaikan dan berhubungan layaknya sebagai sahabat yang saling mengerti satu sama lain.     

Selepas semuanya pulang, Arka mengirimi gadis cantik itu dengan kalimat untuk memastikan bahwa amarah sahabat kecilnya itu benar-benar sudah surut dan reda. Membuatnya lega mampu tersenyum ringan untuk mengiringi rasa kantuk yang ada di dalam dirinya kemarin. Akan tetapi siang ini, ia kembali bodoh.     

"Ra! Gue minta maaf. Bukan itu maksud gue." Arka menarik pergelangan tangan gadis yang ada di depannya. Sedikit meninggikan nada bicaranya agar Davira bisa mendengar     

"Pelankan suara lo. Jangan malu-maluin!" Kesal gadis itu menggerutu. Kembali melepas kasar pergelangan tangan Arka yang kuat mencekam pergelangan tangannya.     

"Dengerin gue dulu ...." Arka merengek. Mengembuskan napasnya kasar sebab ia tak tahu harus bagaimana sekarang ini.     

"Gue bilang tinggalin gue sendiri!" Davira ikut merengek. Sedikit memohon agar Arka mau melepas kepergiannya.     

"Setelah lo dengerin gue, gue akan membiarkan lo pergi."     

"Udah gue bilang untuk tidak mengganggu gadis yang sudah punya pacar," sela suara bariton menginterupsi. Beberapa saat kemudian bola basket kasar mengenai punggung remaja jangkung berseragam identik dengan orang yang baru saja datang.     

"Sori, tangan gue licin." Adam mengimbuhkan. Tersenyum seringai pada Arka yang baru saja ingin merampalkan kalimat sumpah serapah.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.