LUDUS & PRAGMA

33. Malam Penuh Ketidakpastian



33. Malam Penuh Ketidakpastian

0"Kalau kakak ragu, datang saja padaku."     
0

"Kakak tau, jangan mempercayai siapapun bahkan orang tercinta sekali pun."     

"Aku suka sama kakak sebelum kak Adam."     

"Kakak, jika kak Adam menyakitimu ... katakan saja padaku. Nanti biar aku yang membalasnya."     

"Caranya?"     

"Dengan menjadi dewasa."     

"Kalau aku ragu sama Adam, kamu mau apa?"     

"Aku akan mengatakan bahwa aku menyukai kakak dari sekarang sampai dewasa nanti."     

Davira menghentikan langkahnya. Menyandarkan tubuh semampainya di bawah pohon hijau belakang sekolah. Jika saja ia tak mulai meragukan Adam, maka ia tak akan terjebak dalam situasi begini. Arka memang ada benarnya, yang dilakukan oleh Davira sekarang adalah sebuah kesalahan besar. Seperti sebuah bom waktu yang bisa saja meledak dan membunuh dirinya sendiri.     

Ia tak tahu, mengapa ia bisa berada dalam situasi begini. Jika diingat kembali, semua berawal saat remaja yang satu tahun lebih muda darinya itu mengiriminya surat berisi kalimat puitis yang menyentuh bagi siapa saja yang membacanya. Dengan hiasan hati merah jambu dan sebatang cokelat berpita dengan warna senada, perasaan yang diungkapkan saat pertama kali remaja itu datang sebagai anak baru sudah membuat hati Davira was-was. Ia tak ingin terjebak hubungan bersama anak yang lebih muda darinya, meskipun itu hanya satu tahun bedanya. Apalagi, kalau ia sudah bersama dan berstatus sebagai kekasih dari kakak remaja yang mengirimi dirinya pernyataan itu.     

Semesta suka bergurau dengan memberikan kejutan bahwa kakak kandung dari remaja itu juga mulai memberi perasaan yang sama untuk Davira. Bedanya, Adam berani melangkah dan berjuang untuk perasaannya. Membuat Davira luluh tanpa tahu bahwa adik kandungnya juga menyimpan rasa yang sama. Davira tau, untuk menjadi kekasih orang Adam Liandra Kin bukanlah hal yang mudah. Ia pernah jatuh bahkan hancur lebur sebelum akhirnya mampu dibentuk kembali.     

-Flashback On, Dua Minggu yang lalu.-     

-Pasar malam pusat kota-     

-Jakarta, 20:03 WIB-     

Davira menyeruput perlahan secangkir teh hangat hangat yang sengaja diseduh untuknya. Sorot matanya perlahan menitik pada remaja berusia satu tahun di bawahnya yang masih asik memainkan ponsel miliknya. Davira tersenyum simpul. Mengetuk sisi meja kaca untuk mengambil fokus remaja di depannya.     

"Raffa?" panggilnya lirih.     

Remaja yang dipanggil menyahut cepat. Kala menyadari Davira sudah menunggunya, ia meletakkan ponselnya. Mencoba fokus pada gadis berparas ayu yang sebaya dengan kakak kandungnya itu.     

"Kenapa telepon kakak malem-malem?" Davira melanjutkan pembicaraan. Benar saja, bukan tanpa alasan ia datang ke sini tanpa sepengetahuan Adam. Ponselnya berdering. Menghantarkan suara seorang remaja yang memohon ingin bertemu dengan dirinya di pasar malam pusat kota.     

--dan di sinilah Davira berada sekarang. Tanpa sang kekasih tahu, bahwa ia sedang bertemu dengan adik kandungnya. Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Gak papa, ada pasar malem. Kali aja Kak Davira pengen malam mingguan," jawabnya sembari tersenyum kuda.     

"Astaga, wajahnya persis dengan Adam, Tuhan." Batin gadis itu bergejolak sekarang. Ia suka melihat Adam tersenyum. Sangat manis dan mempesona! Namun jika Raffa tersenyum, Davira sedikit membencinya. Apalagi kalau keadaannya seperti ini.     

"Kak Adam tau kamu ngajak kakak keluar malem begini?" Davira bertanya dengan nada melirih. Takut-takut kalau remaja puber di depannya itu tersinggung dan meninggalkan pergi begitu saja.     

"Enggak," jawabnya singkat.     

"Soal Adam—"     

"Kakak beneran suka sama Kak Adam?" Belum sempat Davira melanjutkan perkataannya, Raffa memotongnya dengan pertanyaan yang sukses membuat kedua bola mata Davira membulat sempurna.     

"Kakak mau nikah sama Kak Adam nanti kalau lulus?" Raffa melanjutkan pertanyaannya. Davira yang tadinya hanya diam tanpa mengubris, kini mulai tertawa kecil sembari meraih secangkir teh yang kini mulai dingin.     

"Satu-satu tanyanya," kekeh Davira mencoba mencairkan suasana.     

"Jawabannya beda?" Raffa menyahut. Merubah ekspresi wajahnya seketika.     

"Untuk pertanyaan pertama jawabannya iya. Untuk yang kedua akan aku jawab kalau kita udah lulus." Davira meletakkan cangkir yang kini tinggal seperempat isinya. Tangannya mulai terlipat rapi di atas perut datarnya. Memfokuskan sorot matanya pada remaja puber yang jelas berambisi untuk memiliki dirinya saat ini.     

"Raffa dengerin Kak Davira, oke?" Davira mencondongkan posisi duduknya. Mendekatkan wajahnya ke arah Raffa yang hanya diam dengan penuh tanda tanya di kepalanya saat ini. Wajah Davira sedikit tak bersahabat. Serius adalah kesan awal yang diterimanya kala lensa itu menyorot jelas ke arah paras cantik milik Davira Faranisa     

"Kamu itu masih muda. Masih banyak gadis cantik, baik, dan seusia dengan kamu. Kalaupun kamu sukanya yang lebih tua ja—"     

"Jangan menyukai kakak? Karena kakak pacarnya Kak Adam?" Raffa menyahut. Tersenyum aneh menutup kalimatnya. Dialog yang monoton! Bahkan Raffa mampu menghapal itu dengan baik sebab Davira sering mengulangnya.     

Davira diam sesaat. Perlahan tangannya terulur untuk meraih tangan Raffa. "Karena kakak mungkin bukan kakak yang baik."     

Davira mempererat genggamannya. Sembari mengusap punggung tangan remaja di depannya, gadis berparas ayu itu tersenyum pahit. Ia tak tahu kalau remaja di depannya itu benar-benar menyukainya begitu dalam. Yang ia kira selama ini, itu hanya sebatas perasaan puber remaja beranjak genap 17 tahun. Seperti hukum alam untuk saling tertarik dengan lawan jenis secara fisik.     

"Aku dan Kak Adam—"     

"Gimana kalau kak Adam mengkhianati kakak?" Raffa melepas kasar genggaman Davira. Menyembunyikan tangannya di saku hoodie tebal yang ia kenakan.     

"Gimana kalau Kak Adam jahatin kakak tanpa kakak sadari? Kakak pernah berpikir begitu?"     

Davira hanya diam. Kali ini benar-benar diam.     

"Kakak percaya sama  Kak Adam untuk saat ini 'kan? Besok? Lusa? Sebulan lagi? Kakak masih bisa percaya?" Remaja itu terus mencecar Davira dengan kalimat kalimat konyol nan menyebalkan miliknya.     

Hanya diam, begitulah yang Davira lakukan. Bukan diam sebab tak tahu apa yang harus ia katakan, tapi diam untuk mengerti pola pikir macam apa yang dimiliki remaja puber di depannya ini.     

"Kalau aku bilang Kak Adam selingkuh, kakak mau percaya?" Raffa mulai meninggikan nada bicaranya.     

"JAWAB KAK DAVIRA!"     

"RAFFARDHAN!" Davira ikut menyentak. Emosinya memuncak saat kata selingkuh terdengar setelah nama Adam diucapkan. Perlahan gadis bermata bulat itu mencoba mengatur nafasnya. Mengontrol emosinya agar tidak ia luapkan pada remaja di depannya ini.     

"Kamu gak boleh nuduh hanya karena kamu benci sama kakak kamu."     

"Tapi Kak—"     

"Kakak percaya sama Kak Adam sekarang sampai batas waktu yang tidak ditentukan." Davira mulai merubah posisinya. Membenarkan jaketnya dan mengambil tasnya.     

"Kalau kakak ragu?"     

Davira menghentikan aktivitasnya sejenak. "Kakak akan mencari keraguan itu dan meyankinkannya kembali," ucapnya kemudian beranjak meninggalkan Raffa di posisinya.     

"Kalau kakak ragu, datang saja padaku," sahut Raffa sembari tersenyum simpul.     

.... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.