LUDUS & PRAGMA

35. Janji Palsu



35. Janji Palsu

0Gadis itu menatap jauh ke depan. Terpusat pada dua remaja yang berlari saling seirama satu lain. Tak ada yang memandang, hanya terus lurus ke depan sembari samar bibir mereka bergerak seiring dengan langkah kaki yang semakin dipercepat. Gadis itu bisa menebak dengan benar, bahwa apapun yang dilakukan oleh Arka Aditya juga sang kekasih, Adam Liandra Kin dan segala resiko yang akan timbul tak akan benar bisa membuat mereka mau mengalah dan menyadari kesalahan satu sama lain. Ego mereka sama-sama tinggi. Seakan ingin mengalahkan dan mengabaikan fakta bahwa Davira adalah kekasih dari Adam Liandra Kin adalah alasan Arka terus saja memprovokasi Adam untuk membuat amarah kembali meluap di dalam diri remaja itu sekarang ini. Sama halnya dengan Arka, Adam pun begitu. Remaja itu terlalu serakah dengan apa yang ingin dimilikinya sekarang. Davira Faranisa. Adam ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Menyingkirkan siapapun yang menghandang jalannya dan memperlambat segala langkah kakinya.     
0

Davira tak ingin membenci siapapun dan berpihak pada salah satu sisi. Gadis berparas cantik dengan mata bulat yang indah memancarkan pesonanya itu hanya itu mendamaikan Arka juga Adam. Melihat remaja itu saling tersenyum dan bersua dengan akrab adalah harapannya selama ini.     

"Kenapa gak nyamperin?" Seseorang menyela lamunannya. Berbicara dengan nada lembut sedikit lirih. Davira menoleh, menatap dengan teduh gadis setara tinggi dengannya itu. Kemudian tersenyum ringan dan mengerang lirih.     

"Gue gak tau harus ngomong apa sama mereka kalau datang ke sana." Ia menimpali. Sejenak tersenyum kecut untuk menutup kalimatnya kali ini.     

"Bujuk Adam dan Arka untuk berdamai mungkin?" Gadis di sisinya mengusulkan. Menatap dengan tatapan jernih penuh pengertian pada lawan bicaranya saat ini. Dari cara Davira menatap dan menjawab untuk merespon, ia paham betul kalau hatinya pasti sedang tak baik. Davira adalah penyebab utama timbulnya pertikaian antara Adam dan Arka. Menciptakan luka bagi siapa saja yang kalah dan menimbulkan kegegeran yang bersifat sementara. Menatap Arka dan Adam yang sedang berlari mengintari sisi lapangan luas di tengah sengatan sinar sang menatari kalau siang datang adalah hal yang menyempurnakan rasa bersalah dalam dirinya saat ini.     

"Gue udah sering melakukan itu. Tapi hasilnya nihil," ucapnya tertawa palsu.     

"Ngomong-ngomong, makasih karena udah lerai mereka tadi," lanjutnya mengimbuhkan. Memutar tubuhnya serong untuk bisa dengan benar menatap paras cantik milik lawan bicaranya, Davina Fradella Putri.     

"Bukan apa-apa." Ia tersenyum ringan. Menepuk perlahan pundak Davira yang baru saja melempari dirinya dengan senyum manis yang terkesan begitu ramah.     

"Lo ada tadi di sana. Gue lihat lo datang dan berdiri di ujung lorong, kenapa gak datang menghampiri dan ikut melerai?" Davina kini mulai mencecar Davira dengan pertanyaan yang sukses membuat gadis di depannya itu kini terdiam. Sejenak memberi tatapan pada gadis yang menjadi lawan bicaranya itu. Jujur saja, Davira tak tahu kalau Davina melihatnya tadi. Selepas melihat Arka yang berbicara dari kejauhan kemudian membisikkan sesuatu pada Davina, gadis itu memilih untuk tak masuk dan ikut campur. Menjadi bagian dari pertikaian Adam dan Arka hanya akan memperkeruh suasana nantinya.     

"Kalau gue datang, gue harus memilih salah-satu untuk dibawa pergi dari sana. Gue gak bisa melakukan itu," bebernya mempersingkat. Memalingkan wajahnya untuk sejenak menatap dua remaja yang masih fokus dalam hukumannya meskipun panas sekarang ini benar-benar sedang datang dengan ganas-ganasnya.     

"Intinya lo gak tau harus membela siapa?" Davina mempertegas apa yang dimaksudkan oleh teman sekelasnya itu. Tak ingin banyak berbasa-basi sekarang ini.     

Gadis di depannya mengangguk ragu. Tersenyum kecut pada lawan bicaranya sembari menghela napasnya kasar. "Gue terlihat payah bukan?"     

Davina menggelengkan kepalanya samar. "Gue juga akan memilih untuk melakukan hal itu jika ada di posisi lo sekarang. Terjebak di antara dua remaja yang berposisi penting dalam hidup kita adalah masa-masa yang sulit dan membingungkan."     

"Davira ... boleh gue tanya sesuatu ke lo?" Ia mengimbuhkan. Membuat Davira yang baru saja ingin memutar tubuhnya kembali menatap dua remaja jauh di sisi lapangan terhenti. Mengurungkan niatnya dan tetap berposisi saling hadap dengan Davina Fradella.     

"Jika keadaan menyuruh lo untuk memilih antara kekasih yang membuat lo nyaman dan bahagia sekarang atau sahabat sejati yang tak tidak pernah meninggalkan lo sejak kecil, mana yang akan lo pilih?"     

Deg! Jujur saja Davira membenci kalimat yang menyuruhnya untuk mengambil pilihan seperti itu. Dikatakan dan ditegaskan dengan jelas bahwa Adam dan Arka mendominasi di dalam hatinya saat ini. Tak ada yang bisa Davira pilih dan tak ada yang bisa Davira sisihkan. Singkatnya, Davira Faranisa mencintai dua remaja yang ada di hidupnya sekarang ini. Namun dengan rasa cinta yang berbeda kategorinya.     

"Kenapa lo jadi penasaran banget soal itu?" tanya Davira coba mengalihkan. Ia tak ingin percakapan dengan tema seperti itu terlalu dalam mengorek isi hatinya sekarang ini.     

"Gue hanya penasaran, mana yang lebih lo cintai sekarang ini? Adam Liandra Kin atau Arka Aditya?"     

"Arka pernah menyatakan cintanya ke gue dua tahun lalu, bahkan sampai sekarang dia masih melakukannya terkadang. Tapi gue selalu menolak itu, karena dia adalah sahabat gue." Davira berkelit. Sukses membuat gadis di depannya mengerutkan keningnya samar selepas mendengar jawaban dari Davira.     

"Jadi?"     

"Cinta untuk Adam dan Arka itu berbeda. Jangan buat gue milih karena keadaan seperti itu gak akan pernah datang." Gadis berambut panjang dengan ujung ikal itu menutup kalimat. Tersenyum singkat pada Davina yang hanya diam sembari menundukkan sejenak pandangannya.     

"Gue berharap Arka segera mendapatkan gadis baik yang mampu menemani dan menggantikan posisi gue di dalam hatinya. Gue akan sangat bahagia karena itu," ungkpnya kini benar memutar tubuh untuk menatap dua remaja yang mulai terhenti di sisi lapangan. Meneduh dan duduk dengan meluruskan kakinya sembari samar terlihat mengibas-ibaskan kerah kaos yang mereka kenakan saat ini.     

"Kalau Arka mendapat itu dan dia pergi dari sisi lo, apa yan akan lo lakukan?"     

Davira kini kembali menoleh. Ditatapnya gadis identik nama panggilan dengannya itu. "Arka gak akan pernah melakukan itu. Gue mengenal baik dirinya."     

Gadis yang baru saja mendengar kalimat singkat itu kini tersenyum tipis. Menunduk kemudian kembali mendongakkan pandangannya dan menghela napasnya berat.     

"Davira gak akan pernah pergi dari gue, apapun alasannya. Karena gue mengenal baik bagaimana Davira itu." Kalimat yang baru saja terucap dari celah bibir Davina sukses menarik perhatian gadis yang ada di sisinya. Menoleh sembari samar mengerutkan keningnya sekarang.     

"Arka juga pernah mengatakan itu dulu, tapi nyatanya ... lo pergi meninggalkan dia sendirian."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.