LUDUS & PRAGMA

37. Malam Untuk Gadis Munafik



37. Malam Untuk Gadis Munafik

0Noted! Terselip beberapa adegan yang mengandung unsur dewasa untuk bab 37 dan bab 38. Jikalau tidak berkenan untuk membaca bab ini, harap lewati dan lompati pada bab selanjutnya.     
0

Warning Mature Content 18+ (Harap bijak dalam menyikapi bacaan!)     

Happy Reading     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Kau boleh goyah, asal jangan remuk dan hancur.     

-Pragma, si gadis munafik-     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Davira menyisir perlahan rambut pekatnya. Sembari melirik jam bulat yang menggantung di pojok ruang kamarnya, ia bersenandung ringan. Hari ini adalah hari bahagia untuknya dan Adam. Tertanda di kalender kecil miliknya, sepasang angka di pertengahan bulan sudah dilingkari dengan tinta warna merah muda. Di sisinya ada satu kalimat kecil yang di akhiri dengan gambar hati berwarna senada.     

Sepersekian detik kemudian ponselnya berbunyi. Kembali sepasang mata berlensa pekat itu melirik benda pipih yang diletakkan di sisi meja rias Davira.     

Dari Adam. Semakin berbunga hati gadis berparas ayu itu. Senyum bulan sabit kini terlukis setelah pesan berisi interuksi untuknya segera turun dan menemui Adam di lantai dasar.     

Davira terkekeh kecil. Sekali lagi memastikan bahwa polesan make up-nya tidak terlalu mencolok namun tetap memberi kesan ayu pada parasnya yang memang sudah ayu.     

Dengan kemaja polos dan rok pendek selutut yang apik dipadukan dengan sepasang flat shoes bewarna senada, Davira melangkah dengan penuh ketegasan. Menyusuri satu persatu anak tangga untuk sampai di lantai dasar. Membukakan pintu untuk Adam dan menyambutnya dengan segenap rasa bahagia.     

"Hai," sapa Adam kala pintu kayu sudah terbuka lebar. Sesosok gadis berambut pekat sebahu tersenyum manis padanya sembari melambaikan tangan ragu.     

"Maaf gak jadi ke luar kota," sambungnya singkat. Davira menggeleng. Meraih pergelangan tangan Adam sembari menatapnya hangat.     

"Senja sampai petang sudah cukup," jawabnya lirih.     

Adam lagi-lagi tak menepati janjinya. Kemarin malam setelah berpisah dengan Davira, remaja jangkung itu memberi kabar bahwa ia akan menjemput Davira selepas senja mampir untuk menghantar malam penutup hari. Bukan Davira kalau tak hanya menurut dan mengiyakan. Bagi Davira, basket adalah nyawa untuk seorang Adam Liandra Kin, sedangkan Davira hanyalah sebuah motivasi untuk Adam terus melangkah maju—kalau motivasi itu hilang hanya perlu cari motivasi baru, begitu kiranya.—     

Adam menganggukkan kepalanya mengerti. Tersenyum ringan sembari mengulurkan tangannya untuk meraih pergelangan tangan gadis yang ada di depannya sekarang ini.     

"Udah pamit sama mama?" tanyanya lembut. Mulai melangkah beriringan dengan gadis yang ada di sisinya sekarang ini.     

Davira menganggukkan kepalanya ringan. Dikembangkannya senyum indah yang menunjang penampilan sempurnanya sore menjelang petang ini. "Aku mengirimi mama pesan singkat."     

"Kenapa gak ditelepon aja?'     

"Jam segini mama sedang sibuk sibuknya kalau menjelang minggu, jadi mengirimi pesan sudah cukup," jawabnya dengan penuh pengertian. Adam menoleh. Sejanak mengusap pipi merona Davira yang terlihat benar-benar menggemaskan sekarang ini.     

"Mau ke mana? Jalan-jalan di mal atau--"     

"Kita pikirkan itu nanti. Yang penting jalan-jalan dulu," sahutnya memotong kalimat dari sang kekasih. Adam terlihat begitu tampan dan mempeson saat ini. Kemeja pendek berwarna pastel dengan paduan celana panjang hitam legam dan sepasang sepatu ala-ala pemain drama korea membuat penampilannya benar-benar enak dipandang saat ini.     

Remaja itu kini menghentikan langkahnya. Menarik pintu mobil yang terparkir di depannya untuk mempersilakan Davira masuk dengan penuh kehati-hatian tak ingin sang kekasih terluka di hari baik mereka.     

"Be happy, my princess!" katanya sembari menutup pintu mobil. Sukses membuat Davira tersenyum malu selepasnya.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Setengah jam sudah mobil silver berplat nomor B itu melaju sedang menyusuri padatnya Kota Jakarta, kini terhenti di bahu jalan yang memang sengaja dilonggarkan untuk para pengujung coffee house bergaya klasik dengan lampu remang yang menambah kesan cantik saat beradu dengan gemerlapnya cahaya lampu taman yang sengaja dipasang di sepanjang jalan masuk Coffee house.     

Adam memberi perintah pada Davira untuk memilih tempat sembari menunggunya memesan makanan serta minuman kesukaan Davira. Gadis berdagu lancip itu hanya mengangguk mengerti. Berjalan santai dan terhenti di bagian halaman kafe yang dibuat dengan tema outdoor—Cocok untuk berdiskusi ringan tanpa jeda, rencana indah yang disusun Davira untuk menghabiskan senja bersama Adam hari ini.—     

"Di sini?" Sesaat kemudian suara bariton menyela. Davira menoleh lalu mengangguk sembari tersenyum.     

Keduanya berjalan bersama. Terhenti di depan meja paling pojok dengan penerangan minim yang jauh dari keramaian. Davira suka ini, sebab tak ada yang akan menyelanya selagi berbincang ringan dengan Adam.     

"Maaf ya, Ra." Adam kembali membuka percakapan. Davira lagi-lagi hanya tersenyum. Sembari meletakkan tas slempang kecil miliknya, ia mengangguk jelas. Tak apa, toh lagian juga Adam sudah berusaha menyempatkan waktunya untuk Davira sore ini.     

"Aku boleh duduk di samping kamu?" Adam bertanya lirih. Davira terdiam sesaat. Benar juga, setiap mereka pergi berdua Davira selalu meminta Adam untuk duduk di depannya. Dalam alasannya, Davira lebih nyaman jika berbicara dengan Adam dalam posisi saling berhadapan. Toh juga, Davira bisa lebih jelas memandangi paras tampan kekasih hatinya itu.     

"Hm," erang Davira lirih. Adam tersenyum. Sigap tangan dengan lengan berotot pepak itu menarik kursi dan menjajarkannya dengan Davira. Memang sih, Adam duduk di samping Davira, namun posisi duduknya tetap saja seperti sedang berada di depan gadis berpipi tirus itu.     

"Ra," panggil Adam lirih.     

"Aku mau—"     

"Ini kak pesannnya. Selamat menikmati." Kalimat remaja berponi tipis itu terhenti kala seorang pelayan berseragam cokelat tua menyelanya. Baik Adam maupun Davira hanya mengiyakan sembari tersenyum seramah mungkin untuknya.     

"Mau apa?" Davira menoleh. Sesaat kemudian ia merasakan sesuatu yang asing pada permukaan bibirnya. Terdiam sejenak sembari membulatkan matanya. Jantungnya sejenak berhenti berdetak sebelum akhirnya kembali berdetak dengan irama yang tak karuan ritmenya.     

Ia merasakannya. Bibir merah muda Adam mengecupnya begitu lama. Sedikit melumatnya harap-harap supaya bibir lawan mainnya itu juga ikut bergerak. Namun, Davira terlalu kaku juga takut untuk melakukannya. Gadis berparas ayu itu hanya diam sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Seluruh aktivitasnya terhenti seakan semua waktu juga ikut terhenti saat itu.     

This is my first time ....     

And at this moment ....     

I feel so happy ....     

because of you.     

Adam melepas perlahan kecupannya. Mata Davira perlahan terbuka seiring kedua tangannya yang melepas genggamannya pada Adam. Kini dua pasang lensa identik itu saling bertemu. Adam tersenyum begitu juga Davira. Meraih tangan gadisnya itu lalu mengusapnya perlahan. Lirih bibirnya berucap pada Davira. Sebuah kalimat yang mengatakan bahwa ia meminta maaf juga berterimakasih untuk segala kesabaran yang dimiliki Davira.     

"Aku mau itu tadi," pungkas Adam menutup kalimatnya. Davira tersenyum lalu tertawa lepas kemudian. Muka Adam memerah tanpa remaja jangkung itu sadari.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.