LUDUS & PRAGMA

38. Kenangan Terbaik



38. Kenangan Terbaik

0Noted! Terselip beberapa adegan yang mengandung unsur dewasa untuk bab 37 dan bab 38. Jikalau tidak berkenan untuk membaca bab ini, harap lewati dan lompati pada bab selanjutnya.     
0

Warning Mature Content 18+ (Harap bijak dalam menyikapi bacaan!)     

Happy Reading     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Suasana kafe tak sedang ramai saat ini. Posisi duduk dan meja yang dipilih oleh keduanya bisa dibilang jauh dari jangkuan pengujung lain. Lampu remang menjadi penerang utama mereka untuk melewati senja dan menyambut malam datang, seakan mendukung suasana dan menyempurnakan adegan mereka kali ini.     

Adam melepas perlahan kecupannya. Mata Davira perlahan terbuka seiring kedua tangannya yang melepas genggamannya pada Adam. Kini dua pasang lensa identik itu saling bertemu. Adam tersenyum begitu juga Davira. Meraih tangan gadisnya itu lalu mengusapnya perlahan. Lirih bibirnya berucap pada Davira. Sebuah kalimat yang mengatakan bahwa ia meminta maaf juga berterimakasih untuk segala kesabaran yang dimiliki Davira.     

"Aku mau itu tadi," pungkas Adam menutup kalimatnya. Davira tersenyum lalu tertawa lepas kemudian. Muka Adam memerah tanpa remaja jangkung itu sadari.     

"Kenapa muka kamu merah?" Davira mencubit kasar pipi Adam. Remaja itu merengek lirih. Menusap pipinya saat Davira mulai tertawa puas.     

"Davira," ucap Adam kembali pada suasana romantisnya.     

"Jangan pergi ya," lanjutnya sembari mengusap kedua pipi tirus Davira.     

"Kalau gak ada alasan buat aku pergi, maka aku gak akan pergi, Kin," tutur Davira pada Adam dengan nada menenangkan.     

"Apapun alasanya jangan pergi." Adam mengulangi kalimatnya dengan penuh penekanan.     

"Apapun?" Davira menyeringai. "Apapun," katanya lagi.     

Adam meraih tubuh gadisnya itu. Memeluknya erat sembari membelai rambutnya lembut. "Apapun."     

"Love you, Davira."     

"Too, Kapten Kin."     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Senja sudah bergegas pergi dari tugasnya. Malam datang menjemput lelah untuk segera mengobatinya. Dalam sebuah kalimat tua yang dipercayai Adam, malam adalah waktu yang tepat untuk saling melepas lelah, rindu, juga melepas segala napsu. Setelah keluar dari coffee house, Davira tak meminta untuk segera dipulangkan. Katanya, gadis itu masih ingin menghabiskan waktu bersama Adam—Kekasihnya—, dalam imbuhnya juga malam belum benar datang sebab jangkrik masih takut untuk bersuara.     

"Beli apa kek gitu," Davira menyela di sela alunan musik ballad yang sengaja diputar Adam untuk memecah keheningannya di antara keduanya.     

"Es krim?" Adam menimpali. Fokusnya masih tertuju pada jalanan di depannya.     

"Milk tea? Di warung depan sana ada." Davira menunjuk jauh ke depan yang letaknya entah di mana. Namun seakan mengetahui maksud dari gadisnya, Adam hanya diam dan mengangguk.     

"Parkir sini aja, kalau maju ke depan gak muat buat parkir mobil," kata Davira memerintah.     

Mobil silver itu terhenti di bawah pohon besar di sisi gang yang minim penerangan. Bahkan hampir tak ada penerangan jika Adam mematikan mesin mobilnya. Bukannya apa-apa, kata Davira kalau mobilnya keluar dari gang dan masuk ke gang di sisinya, nanti keluarnya repot. Pun juga Davira lebih suka berjalan kaki untuk ke warung Milk tea langganannya itu.     

"Aku aja yang beli. Tunggu sini." Davira baru saja mau mau mendorong pintu mobil setelah berhasil melepas sabuk pengamannya. Namun Adam menarik tangannya. Memaksa gadis bertubuh semampai itu mau tak mau harus menghentikan aktivitasnya.     

"Aku gak mau milk tea," pungkas Adam lirih. Davira terdiam. Menautkan kedua alis cokelatnya tanda tak mengerti perkataan Adam.     

"Terus? Ya udah buat aku aja. Nanti kita mampir di tempat lain buat jajan lagi." Davira menjelaskan. Namun, genggaman Adam tak kunjung melunak. Tatapan mata elangnya seakan sedang memastikan sesuatu pada diri Davira.     

"Kamu kenapa?" Davira bertanya lirih.     

Adam diam. Lalu tubuhnya sigap mendekat pada Davira. Menarik sedikit tubuh gadis itu untuk membuat jarak mereka menjadi lebih intim lagi. Lagi-lagi Davira merasakannya. Bibir merah muda itu mengecup bibirnya untuk kedua kalinya.     

Lagi, jantung gadis itu mulai meronta seakan ingin meloncat keluar dari tubuhnya. Bedanya kalinya ini Adam melakukan hal yang lebih. Lumatannya ia pertegas. Tangannya yang tadinya menggenggam Davira kini mulai berpindah ke leher gadisnya itu. Menekan lehernya perlahan untuk memperdalam kecupannya. Perlahan Adam melepas kecupannya. Mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Davira. "Kamu ragu sama aku?" lirih remaja itu berucap. Davira diam sebelum akhirnya berucap lirih sembari menggeleng ringan.     

Kembali bibir mereka bertemu. Kecupan yang dilakukan Adam semakin menggila. Lumatan yang dirasakan Davira kian mengganas. Gadis itu goyah. Tubuhnya perlahan mendekat pada Adam. Melingkarkan tangannya tepat di leher remaja jangkung itu. Bibir yang awalnya diam kini mulai bergerak mengikuti ritme yang Adam ciptakan.     

Davira tak tahu seperti apa akhirnya nanti yang jelas pendiriannya semakin goyah malam ini. Tangannya yang lunak melingkar di leher Adam kini perlahan mulai meremas lengan berotot pepak milik remaja yang semakin menggila dengan aksinya. Adam yang awalnya hanya bermain dengan bibir ranum milik Davina kini mulai meraih satu persatu kancing kemeja yang dikenakan gadisnya itu.     

Davina hanya diam mengikuti. Seakan sejenak ia menjadi bodoh. Lupa apapun yang ada padanya. Tentang segala harga diri bahkan kepercayaan yang tak ingin ia berikan pada pada siapapun sebelum yakin dan benar memantapkan dirinya sendiri. Namun, malam bisu menjadi saksi betapa mudahnya ia goyah karena napsu dalam dirinya.     

Adam menghentikan sejenak aktivitas brutalnya. Melirik Davira yang hanya diam menutup rapat kedua matanya. Adam hanya memastikan bahwa Davira tak menolaknya malam ini, dan ia baru saja memastikan itu.     

Perlahan tangan berototnya meraih kunci mobil dan memutarnya. Mematikan mesin mobil miliknya dan gelap adalah suasana yang tercipta kemudian. Selanjutnya? Yang Davira rasakan hanya satu persatu kancing bajunya mulai lepas bersama dengan lumatan brutal yang membuatnya sedikit kewalahan untuk mengimbangi. Rasa yang kemudian ia rasakan hanyalah hawa dingin yang mulai menyentuh permukaan kulit lehernya. Begitu juga sentuhan lembut yang mulai mengganas 'memakan tubuhnya' habis.     

Dan setelahnya, aku tak tahu mengapa itu terasa begitu meyenangkan. Aku puas bahkan menikmati setiap detiknya. Seakan semua adegan sudah direncakan begitu apik olehnya. Yang kurasakan hanyalah sebuah napsu yang saling beradu. Bekerja ingin menang sendiri tak mau mengalah. Bahkan aku, seorang gadis tak tahu apapun menjadi sangat tahu dan begitu paham. Suasana mendukung segala aksi untuk 'melahap habis tubuhku' lalu aku --si gadis munafik-- ikut mendorong suasana yang tercipta. Entah siapa yang sedang dirugikan atau kita sama-sama beruntung malam ini. Kalian tahu? Yang terjadi padaku malam ini adalah sebuah kejadian yang sangat indah untukku juga kami.     

Semesta seakan tahu betapa munafiknya aku ini. Mengatakan bahwa aku tak akan memberikan kepercayaanku dengan mudah dan murah sebab kepercayaan itu sangat mahal harganya. Semesta seakan paham betapa gilanya aku ini. Mengatakan bahwa aku adalah gadis dengan menjunjung tinggi harga diriku.     

Lalu dari tahu dan paham itu, semesta mengujiku.     

Namun sialnya, aku gagal dalam ujian itu.     

Sebab aku ... goyah bahkan runtuh.     

-Davira Faranisa.-     

...to be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.