LUDUS & PRAGMA

13. Desahan Aksara



13. Desahan Aksara

0Mentari mulai turun dari posisinya, membawa senja indah yang akan datang sebagai pemungkas hari yang indah pula. Selepas senja pergi, malam akan tiba nantinya. Entah hujan atau tidak, yang jelas Davira ingin memungkaskan hari dengan hati yang lega tanpa terbebani apapun.     
0

Tatapan gadis itu jauh mengudara. Sejenak menatap bentangan cakrawala yang indah dengan semburat awan putih yang menggumpal, lalu memindah fokus untuk menatap dari jauh sang kekasih yang masih mengejar bola dan memastikan bahwa tak akan ada celah kekalahan yang bisa masuk dan menghampiri timnya. Davira tersenyum ringan. Kekasihnya benar-benar terlihat tampan dan sempurna secara fisik. Adam bukan remaja posesif yang suka mengatur kala status berpacaran sedang disandangnya. Dia juga bukan remaja yang suka mencurigai dan memulai pertengkaran sebab hal-hal sepele yang masuk dan menjadi alasan untuk kepercayaan sedikit menyisih pergi dari mereka. Adam terbilang cukup tenang dalam menyikapi sesuatu. Hubungannya dengan Davira tertolong dengan cara remaja itu menghargai apapun keputusan dari Davira, bahkan keputusan untuk memilih pergi dengan Arka Aditya ketimbang bersama sang kekasih nanti malam.     

Ada satu hal yang paling ditakuti oleh Davira kalau pergi bersama Adam Liandra Kin untuk datang menemui orang-orang yang ada di masa lalu gadis itu, Davira takut kalau Adam melihat seberapa konyol dan mengerikan dirinya kalau sedang benar-benar marah dan emosi. Ia akan malu nantinya, sebab Davira akan terlihat begitu lemah dan payah.     

"Memandangi Adam sudah jadi hobi lo sekarang?" Seseorang menyelanya. Menarik tatapan Davira untuk menoleh tak lagi menatap aktivitas sang kekasih di tengah lapangan.     

"Benar, pemandangan yang cantik 'kan?" kekeh gadis itu melucu. Membuat lawan bicaranya ikut menarik bibir dan tertawa kecil. Rena terlalu banyak mengenal Davira, melihat gadis itu tersenyum tulus hanya sebab menatap sang kekasih membuatnya paham bagaimana rasa yang diberikan Davira untuk kekasihnya, Adam Liandra Kin. Rasa itu ... pasti sangat besar!     

"Gue gak nyangka kalian bisa pacaran se-langgeng ini." Gadis itu kini memutar langkahnya. Melirik sejenak tas punggung yang digendong oleh Davira kemudian berdiri sejajar agar bisa menyamai posisi gadis berambut panjang di sisinya itu.     

"Kita juga sering berselisih paham seperti pasangan lainnya. Jadi, jangan memuji," tutur gadis itu dengan nada lembut. Tak mengurangi senyum yang terlukis di atas bibir merah muda sedikit merona miliknya.     

"Tetap saja kalian menyelesaikannya dengan baik." Rena menyahut. Melipat tangannya rapi di atas perut kemudian ikut mengarahkan fokus lensa pekatnya pada kumpulan remaja berseragam olahraga yang sedang memperebutkan satu bola untuk dikuasi.     

"Apa yang buat lo begitu suka sama Adam? Dia remaja yang brengsek." Rena mengimbuhkan. Bertanya dengan kata-kata tegas seakan tak pernah berpikir bahwa Davira mungkin saja akan tersakiti kala kata brengsek ada untuk menghina sang kekasih. Akan tetapi, Davira mulai paham. Rena adalah gadis polos yang suka 'ceplas ceplos' kalau berkata.     

"Karena dia adalah Adam." Davira mempersingkat. Mengakhiri kalimat dengan senyum manis tanda tulus ia mengatakan kalimat itu. Davira mencintai remaja itu sebab sikap baik dan lembut serta pengertian yang diberikan padanya. Terlepas segala macam bentuk alasan yang diberikan Davira untuk menjawab kalimat tanya mengapa ia begitu mencintai Adam Liandra Kin, gadis itu hanya akan menjawab dengan satu kalimat tegas. Ia mencintai Adam sebab itu adalah Adam.     

"Kalimat lo monoton." Rena tertawa ringan. Menyenggol bahu gadis yang menyeringai samar di sisinya.     

"Kenapa kalian gak pacaran?" tanya Davira mengubah arah pembicaraan mereka saat ini. Sukses membuat Rena sejenak terdiam sembari menaikkan kedua sisi alisnya. Tak mengerti? Sedikit. Davira terlalu terburu-buru dalam menyampaikan maksud dan inti dari pembicaraan yang dipilihnya.     

"Lo sama Arka. Kenapa gak pacaran?" imbuhnya menerangkan.     

Baiklah, seharusnya Rena lebih awal mengerti bahwa Davira akan terus menanyakan hal konyol dengan jawaban yang selalu saja sama.     

"Karena gue gak cinta."     

"Cinta tumbuh dan membesar seiring berjalannya waktu. Kalian saling bersama sekarang. Kalian juga terlihat nyaman," tutur Davira tanpa memberi celah untuk Rena Rahmawati bisa menyela.     

Gadis berambut panjang lurus tanpa poni itu lagi-lagi tersenyum. "Bersama bukan berarti harus saling memiliki bukan? Lo bersama dengan Arka selama bertahun-tahun, tapi Lo gak memiliki Arka begitu juga sebaliknya. Apa alasannya?"     

Davira diam. Bungkam sembari menoleh pada Rena.     

"Karena lo gak cinta."     

Gadis berambut panjang itu tersenyum tipis. Menghela napasnya ringan kemudian kembali mengalihkan tatapannya untuk menatap sang kekasih yang jauh di sana. Rena benar, tak ada yang bisa memaksakan rasa cinta untuk seseorang. Semua itu datang tak bisa dikendalikan dengan mudah. Rena adalah contoh satu dari banyak gadis yang sedang berposisi sama sekarang ini.     

"Lo pernah suka sama seseorang?" tanya Davira melirih. Menyela dengan helaan napas berat.     

"Enggak. Gue terlalu sibuk untuk memaki takdir dan menyumpah separah pada Tuhan. Gue berhenti berdoa setelah semua hal buruk terjadi di luar kendali gue. Menganggap bahwa Tuhan jahat dan tak adil adalah salah satu alasan kenapa gue berhenti untuk berdoa dan berharap." Rena menjelaskan. Tak ingin banyak berbasa-basi untuk memperpanjang obrolan mereka sore ini.     

"Sekarang lo masih suka memaki semesta?"     

Rena terdiam. Menggeleng kemudian tersenyum kaku. "Tapi gue terlalu malu untuk mengakui bahwa Tuhan mulai baik sama gue sekarang. Tuhan mendatangkan kalian berdua sebagai pengganti Kak Lita yang sekarang udah jarang kasih kabar."     

Davira menoleh. Ditatapnya gadis berambut panjang lurus yang tergerai melalui batas telinganya itu dengan tatapan teduh. "Kak Lita sudah jarang memberi kabar?"     

"Katanya sibuk. Kuliah di sana lebih mengerikan dari yang ada di Indonesia. Dia akan pulang akhir tahun ini katanya, tapi aku yakin itu adalah kebohongan semesta."     

Gadis di sisinya tersenyum ringan. "Lo sepertinya rindu berat dengan Kak Lita."     

"Gue hanya merasa sepi kadang kali. Tinggal berdua sama pembantu dan jauh dari keluarga adalah hal menyedihkan." Gadis itu memungkaskan kalimatnya dengan menghela napasnya kasar. Menoleh pada gadis yang masih diam sembari terus menatap Adam di tengah lapangan. Dari sorot matanya, Davira benar-benar menaruh harapan tinggi pada Adam. Ia tak ingin hal buruk terjadi pada hubungan mereka sekarang ini.     

"Lo pikir ... sampai sejauh mana hubungan gue dan Adam akan bertahan nantinya?" Mata Davira berbinar. Seakan sedang membendung kesedihan sebab kalimat itu terpaksa terucap dari celah bibirnya saat ini.     

"Maksud lo?"     

"Bagaimana jika apa yang gue lakuin selama ini hanya akan berakhir dalam sebuah kesedihan?"     

Rena memutar langkahnya. Meraih bahu Davira Faranisa yang tegas kembali menoleh untuk menatap paras cantik dengan polesan make up tipis milik Rena Rahmawati.     

"Ada yang lo sembunyikan dari gue 'kan, Ra?" tanyanya. Sukses membuat Davira diam bungkam tak berkutik kali ini.     

Benar, Rena belum tahu kekhawatiran yang ada di dalam dirinya saat ini.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.