LUDUS & PRAGMA

15. Dersik Membisik



15. Dersik Membisik

0Syahdu suasana dirasa kala Davira menyisir perlahan rambut panjang miliknya. Menatap bayangan indah dirinya sendiri yang dipantulkan oleh cermin persegi di depannya. Gadis itu tersenyum tipis. Polesan make up tebal sedikit mencolok memberi kesan betapa cantiknya ia malam ini. Penampilan Davira tak seperti biasanya, yang hanya memberi sentuhan tipis di atas wajahnya dengan gaya berpakaian yang sederhana namun terlihat mewah. Ia memoles dan mendandani dirinya dengan penuh ketegasan malam ini.     
0

Gaun pendek selutut berwarna merah cerah dengan ikat pinggang kain bermotif pita menghias di atas tubuh tingginya. Sepasang kaki jenjang miliknya ia balut dengan sepatu indah berwarna putih bersih. Dipadukan apik tas selempang kecil berwarna senada. Wajahnya cantik, ia pertegas di bagian mata dan bibir hingga memberi kesan tajam dan mencolok. Tatanan rambut panjang ia buat tergerai polos tanpa ada hiasan yang menempel. Davira bukan ingin menghadiri acara sakral penuh pilu, menjenguk orang sakit yang berada di ujung takdirnya. Gadis itu lebih mirip disebut akan pergi ke sebuah pesta kembang api akhir tahun.     

"Davira ... ada Arka di ba—" Suara Diana terhenti kala tak sengaja menatap bayangan sang putri yang ada di dalam cermin. Sejenak terdiam mematung di depan ambang pintu yang terbuka sembari menelisik segala hal yang ada di dalam diri putrinya saat ini.     

"Kamu gak jadi jenguk Mamanya Alia?" tanya Diana dengan nada ragu. Melirihkan suaranya sembari terus menelisik kondisi sang putri saat ini.     

Gadis muda di depannya mengangguk samar. "Tentu, Davira akan ke sana sama Arka habis ini. Dia udah datang?" jawabnya tersenyum ringan. Kembali menoleh ke arah cermin untuk benar melihat penampilannya untuk terakhir kalinya. Sempurna! Yang diinginkan gadis itu sudah sempurna saat ini.     

"Kamu mau jenguk ke rumah sakit, kenapa berdandan semeriah itu?"     

Davira menarik tas selempang kecil yang ada di sisi meja. Menggantungkan di atas pundak kemudian tersenyum manis. Mengusap pundak sang mama yang mematung di depannya. Menunggu jawaban dari Davira Faranisa untuk menjelaskan apa maksud dan tujuannya berpenampilan seperti itu. Dendam gadis itu masih ada?     

Diana mengira, datangnya Adam dan membuat hari-hari putrinya berwarna adalah alasan yang pas untuk menghilangkan segala rasa sakit yang ada di dalam diri gadis itu perihal masa lalunya bersama sang papa. Namun kiranya, Diana terlalu percaya diri untuk hal itu. Davira masih menyimpan dendam itu.     

"Aku ingin menghibur. Berpenampilan ceria mungkin akan menghidupkan suasana."     

"Davira, kamu tak akan sopan kalau datang dengan penampilan seperti itu. Cukup bawakan buah tangan dan salam—"     

"Mama mau Davira membatalkan kunjungannya?" Davira menyela. Mengubah ekspresi wajahnya sekarang ini. Sukses membuat Diana bungkam sembari sejenak menelisik perubahan raut wajah anak gadisnya itu. Baiklah, Davira adalah gadis baik yang keras kepala.     

"Mama bawakan buah di keranjang kecil tengah meja, jangan lupa bawa itu." Diana berucap. Tersenyum ringan sembari mengusap helai demi helai rambut panjang berujung ikal milik putrinya. Benar juga, berdebat dengan sang putri tak akan banyak memberi hal positif sekarang ini. Diana sudah sangat bersyukur kala berhasil membujuk putrinya satu minggu lalu. Meminta Davira untuk melonggarkan waktu dan menyisihkan sedikit sibuknya agar sang putri mau berbaik hati memenuhi panggilan dari sang papa. Menjenguk ibu tiri yang sedang sekarat berjuang di atas ranjang rumah sakit. Menahan sakit dan sesak yang menggerogoti di dalam dirinya selama lebih dari dua tahun terakhir.     

Gadis itu mengangguk. Memberi salam pada sang mama kemudian berjalan keluar dari kamar pribadinya. Melangkah menapaki satu persatu anak tangga untuk turun ke lantai dasar dan menghampiri posisi Arka di tengah ruangan. Remaja jangkung ber-hoodie hitam pekat tanpa corak dan motif itu menoleh. Menatap langkah demi langkah sepasang kaki yang berjalan ringan ke arahnya. Mendongak dan menaikkan pandangannya untuk menatap Davira yang baru saja sampai ke lantai bawah. Menghampiri posisi tempatnya duduk dan tersenyum ringan.     

"Ayo," katanya mengajak. Meraih sekeranjang buah yang dibelikan oleh sang mama sore ini. Melirik sejenak Arka yang masih diam sembari tak percaya dengan apa yang dilihatnya malam ini.     

"Lo mau berpesta?" tanyanya ringan. Menarik ujung gaun pendek milik Davira membuat gadis itu sedikit mendekat padanya.     

"Lo mandi parfum?" tanyanya lagi. Sukses membuat gadis yang ada di depannya tertawa kecil.     

"Lo lebih bawel dari pada mama." Gadis itu menyahut. Menyibakkan kasar jari jemari Arka yang kuat menggenggam ujung gaun pendeknya. Kemudian berjalan keluar dari rumah dan mengabaikan remaja jangkung yang masih mematung di tempatnya. Tak percaya! Davira sungguh gila malam ini!     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

"Davira!" panggil Arka mengejar gadis yang sudah berdiri di sisi pintu mobil miliknya. Menatap dengan tatapan teduh gadis yang kini menyilangkan kaki dan melipat rapi kedua tangannya di atas perut. Bersandar pada mobil hitam yang dibawanya sesuai dengan permintaan Davira kemarin malam.     

"Lo beneran akan bertindak sejauh ini?" Arka mengimbuhkan. Di sela helaan napasnya ia mencoba untuk benar kembali menatap gadis yang hanya mengangguk sembari mengerang ringan.     

"Itu sebabnya lo minta gue bawa mobil alih-alih bawa moge? Karena lo mau berpenampilan aneh kayak gitu?"     

Davira lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. "Gue cantik 'kan?" tanyanya berbasa-basi.     

"Hm, lo cantik."     

"Kita pergi sekarang, nanti telat. Jam segini papanya Alia baru pulang kerja. Akan lebih baik kalau kita ketemu di parkiran." Davira memerintah. Menarik gagang pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Remaja jangkung yang baru saja mengembangkan senyumnya itu mengekori. Ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.     

"Kenapa lo gak bilang mau melakukan hal segila itu?" tanya Arka mengintrogasi. Menyalakan mesin mobil dan menoleh pada Davira yang kembali menata rambutnya.     

"Lo pasti gak akan setuju," jawabnya tegas.     

"Kata siapa? Kalau gue tau lo berdandan kayak gini, gue akan pakai jas tadi." Ia tertawa ringan. Mengacak puncak kepala gadis yang kini menoleh sembari ikut tersenyum geli.     

"Itu baru sahabat gue!" pekiknya kuat memukul pundak remaja yang ada di sisinya. Arka terdiam sejenak. Lagi-lagi menghela napasnya kemudian menatap sang sahabat.     

"Ini juga alasan lo kenapa gak mau ngajak Adam ke sana?"     

Gadis di sisinya mengangguk. "Adam gak harus ikut campur masalah ini. Dia hanya cukup tahu bahwa malam ini gue akan datang ke masa lalu. Hanya itu," ucapnya melirih.     

"Dia gak perlu tahu bahwa gue sedang mencoba memberontak dan membalaskan apapun yang menjadi luka di dalam hati gue sekarang." Davira mengimbuhkan. Menatap remaja yang mengangguk sembari mengembangkan senyumnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.