LUDUS & PRAGMA

16. Pertemuan Penuh Kepalsuan



16. Pertemuan Penuh Kepalsuan

0Mobil itu kini tegas membelah padatnya jalanan kota. Menyusuri setiap jalan, belokan, perempatan, dan tikungan yang ada. Sesekali terhenti untuk memenuhi panggilan lampu merah yang datang menghadang. Suasana tak terlalu sepi di dalam mobil selepas Davira menyalakan musik Ballad yang dimiliki oleh Arka. Obrolan di antara mereka pun terkesan basa-basi dan itu-itu saja. Hingga hening kembali membentang. Membiarkan alunan musik lah yang mendominasi ruang mobil saat ini. Davira terus menatap keluar jendela. Menatap apapun yang ada di sisinya untuk memecah bosan yang ada.     
0

"Gimana sama Adam?" Arka memecah keheningan. Menarik pandangan gadis yang baru saja mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah remaja yang baru saja berucap tanpa menoleh ke arahnya.     

"Apanya yang gimana?" tanya Davira menyahut. Melipat samar keningnya sebab ia tak mengerti dengan apa yang menjadi maksud Arka mempertanyakan hal itu padanya.     

"Kalian baik-baik saja 'kan?"     

Gadis itu menganggukkan kepalanya ringan. "Dia ngomong sesuatu ke lo?"     

Arka menggelengkan kepalanya. Sejenak menoleh pada Davira kemudian kembali memusatkan tatapannya mengarah ke depan. Menerawang seluruh kondisi jalanan yang ada di depannya saat ini. Berharap tak akan ada permasalahan dan halangan untuk menghantar Davira sampai ke rumah sakit.     

"Gue hanya ingin tanya aja."     

"Pertanyaan yang aneh," sahut Davira kembali tak acuh. Menyandarkan kepalanya di sisi pintu mobil dan kembali menatap ke luar jendela. Membiarkan hening kembali membentang di antara mereka berdua.     

"Ngomong-ngomong ...." Gadis itu menyela dengan sendirinya. Tak menoleh hanya membuka bibir untuk mengeluarkan suara lirih yang sedikit samar masuk ke lubang telinga milik Arka Aditya.     

"Lo mau kuliah jurusan apa?" tanya Davira berbasa-basi. Sukses membuat Arka mengerutkan dahinya sembari alis tebalnya samar bertaut. Banyak hal yang sering dibicarakan Davira dengannya kala mereka bersama, namun gadis itu tak pernah menyinggung pasal mimpi dan tujuan hidup Arka Aditya sebelum ini. Bukan tak peduli, gadis itu hanya tak ingin banyak ikut campur masuk ke dalam hidup sang sahabat.     

"Gue?" Arka mengulang. Sejenak diam untuk menimang kalimat tanya dari Davira Faranisa barusan itu.     

"Mungkin teknik sipil. Kenapa?"     

"Mungkin?" Gadis itu kini menyahut. Menoleh menatap remaja yang menganggukkan kepalanya setuju.     

"Gue belum ada tujuan yang jelas. Banyak hal yang gue sukai belakangan ini." Arka mempersingkat. Memutar stir mobil untuk mengambil belokan yang ada di depannya. Jika tak salah hitung, mungkin mereka akan sampai ke rumah sakit sepuluh menit lagi.     

"Contohnya?"     

"Lo," sahut Arka dengan tegas. Sukses membuat sang sahabat sigap mengulurkan tangan dan menjitak kasar kepalanya.     

"Hei serius!" gerutumya kesal. Baiklah, Davira harus bisa bersabar sebab emosi tak harus diluapkan di sini sekarang. Nanti, pasti akan ada waktu yang tepat untuk meluapkan segala amarah, kekesalan, dan jengkel yang ada di dalam hatinya.     

"Anggap aja gue jawab Teknik sipil."     

"Lo sendiri?" kata Arka mengimbuhkan.     

"Rahasia. Lo akan segera mengetahuinya habis ini." Davira tersenyum seringai mengakhiri kalimatnya. Kembali memalingkan wajahnya tak acuh pada posisi remaja jangkung yang ada di sisinya saat ini. Selain suka menggila dengan ide-ide konyolnya, Davira adalah gadis aneh yang suka memberi kejutan.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Mobil mereka berhenti di parkiran rumah sakit. Menepi di sisi kosong tempat parkir kemudian Arka mematikan mesin mobilnya. Melepas sabuk pengaman dan melirik sejenak Davira yang diam. Tak beraktivitas dalam beberapa detik. Hanya menatap apapun yang ada di depannya saat ini. Arka mengikuti arah tatapan gadis itu. Tak ada siapapun di depannya saat ini. Membuatnya kini bertanya dalam hati, apa kiranya yang ada di dalam pikiran gadis cantik di sisinya itu. Membuat tatapan kosong tanpa arah dan tujuan yang benar ada pada dirinya saat ini.     

"Kalau lo ragu, kita bisa pulang sekarang. Gue yang akan bilang sama mama." Arka menyahut. Mengulurkan tangannya untuk meraih pergelangan tangan gadis di sisinya itu.     

Davira menoleh. Membuyarkan fokusnya untuk menatap paras tampan milik Arka Aditya saat ini. Ekspresi wajah sang sahabat jelas melukiskan kekhawatiran yang menggebu. Seakan tak rela kalau Davira turun dan berjalan masuk ke dalam rumah sakit malam ini.     

"Kita turun," tuturnya tegas. Melepas sabuk pengaman dan mendorong pintu yang ada di sisinya. Turun dari mobil dan berjalan ringan. Meninggalkan Arka yang baru saja keluar dari dalam mobilnya.     

Remaja itu kini berlari kecil. Mengejar sang sahabat yang baru saja memelankan langkahnya. Menoleh ke arah samping untuk menatap siapa yang baru saja datang dengan mobil mewah miliknya.     

"Bingo! Waktu yang tepat." Gadis itu kini tersenyum ringan. Memutar tubuh dan sejenak menghentikan langkahnya.     

Arka menarik tangan Davira. Tak ingin gadis itu melakukan hal bodoh saat ini. Ia paham benar siapa yang baru saja menarik perhatian gadis itu untuk memutar langkah dan menghentikan irama kakinya. Seakan menunggu tuan yang akan datang menyambangi posisinya kali ini.     

"Ini rumah sakit." Arka menghadang. Berdiri di depan Davira yang kini menaikkan pandangan untuk menatap dengan benar.     

"Arka ... boleh gue minta tolong sesuatu?" tanyanya sembari sesekali melirik mobil yang terparkir jauh di depannya. Remaja jangkung itu diam sejenak. Mencoba menelisik perubahan ekspresi wajah sang sahabat kali ini. Akan tetapi, ia gagal!     

"Apapun yang gue lakukan dan gue katakan malam ini, tolong dukung gue. Lo adalah satu-satunya 'orang gue' sekarang ini." Gadis itu memohon dengan tatapan teduh sedikit sendu. Melepas perlahan genggaman tangan Arka yang masih kuat mencengkram pergelangan tangannya.     

"Lo janji gak akan lepas kendali 'kan?" Arka menimpali.     

"Gue bukan Davira yang datang ke sini dua tahun lalu. Jadi jangan khawatir akan hal itu." Gadis itu kini tersenyum ringan. Menepuk pundak sang sahabat dan kembali memutar tubuhnya. Berjalan ringan dengan langkah selambat mungkin. Davira menunggu seseorang memanggilnya jikalau pria itu masih mengenal sang putri meskipun hampir sepuluh tahun lamanya tak pernah bertemu.     

""D--da--Davira!"     

Bingo! Pria itu memanggilnya. Davira menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya kemudian menatap pria berjas mahal yang baru saja berlari ke arahnya.     

"Kamu Davira Faranisa 'kan?"     

"Benar! Kamu anak papa!" Pria itu meraih tubuh putrinya. Merengkuh dan memeluknya hangat. Tak peduli apakah Davira benar menyukainya atau tidak malam ini, namun gadis muda yang begitu terlihat cantik untuknya hanya diam tak meronta atau memberi perlawanan.     

"Kamu akhirnya datang, Nak!" ucapnya di sela-sela pelukan. Gadis itu itu tersenyum miring. Menatap Arka yang masih diam mematung sebab ia tak mengerti arti senyuman dan balas pelukan yang dilakukan oleh sahabatnya itu ... untuk apa?     

Bukankah Davira membenci papanya dan semua keluarga baru pria tua itu?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.