LUDUS & PRAGMA

17. Teka teki Aksara



17. Teka teki Aksara

0Ia menghentikan langkahnya. Menatap pintu yang ada di depannya. Sekat kecil berbentuk kotak terbuat dari kaca samar menunjukkan segala pemandangan dan kondisi yang ada di dalam kamar. Tak ada keramaian. Hanya ada seorang gadis muda berseragam yang duduk si sudut ruangan. Menunggu satu gadis kecil yang sedang asik bermain di atas sofa besar di sisinya. Davira melirik. Sejenak menatap pria tua berjas yang sudah banyak berubah rupa dan fisiknya.     
0

Sang papa tak lagi gemuk. Badannya sangat kurus. Kulitnya mulai menua seiring dengan beberapa helai rambut putih yang menghias di atas kepalanya. Penampilannya sangat mewah, namun kondisinya terlihat sedikit payah. Raut wajahnya sedih. Tak mampu benar tersenyum dalam hati kala menatap gadis perempuan setara tinggi dengannya.     

Davira tumbuh dengan baik. Menjadi seorang gadis cantik yang terlihat begitu berwibawa. Pria itu memang tak turut andil dalam merawat, namun ia cukup bangga melihat putrinya tumbuh seperti ini.     

"Kamu gak masuk ke dalam, Nak?" tanya sang papa menyela kala sang putri kembali menoleh dan menatap masuk ke dalam ruangan melalui sekat kecil terbuat dari kaca di tengah pintu.     

"Maafkan aku, tapi Davira berpenampilan seperti ini. Mungkin ini terlihat tidak sopan sebab suasana sedang kalut sekarang ini. Mungkin Davira—"     

"Masuklah. Mama sedang menunggu kamu di dalam." Pria itu menyahut. Tersenyum ringan pada gadis yang ada di sisinya.     

"Maafkan Davira karena datang dengan penampilan seperti ini. Davira tadi baru kembali dari pesta di rumah teman, ini adalah hari baik untuk Davira." Gadis itu beralasan. Ikut tersenyum ringan mengimbangi aktivitas sang papa. Melirik Arka yang kini mulai paham akan satu hal.     

Maksud dan tujuan Davira datang dengan dengan penampilan seperti itu adalah untuk menunjukkan pada sang papa bahwa ia adalah gadis yang bahagia. Kehidupannya mewah, keadaanya baik, dan ia tumbuh dengan sempurna. Tak ada yang perlu disesali untuknya sekarang ini. Davira Faranisa hanya ingin menunjukkan bahwa melepaskan sang ayahanda waktu itu, bukan sebuah hal bodoh yang membuatnya menyesal di masa depan. Melepaskan pria tua menyebalkan di depannya itu adalah hal paling benar yang dilakukan oleh mamanya juga dirinya.     

"Hm. Papa mengerti, masuklah dan temui mamamu."     

Mama? Persetanan gila pria tua di depannya itu. Jikalau Davira tak punya rencana malam ini, ia pasti sudah memaki habis pria di sisinya itu. Mengatai dengan sumpah serapah yang dipendamnya selama ini. Davira tak pernah menganggap ia sebagai ayahnya. Pria itu hanya ada dan memberi nafkah juga kebahagian padanya hingga usia Davira delapan tahun, setelah itu ... Ia melupakan Davira. Mementingkan hidup barunya bersama dua putri yang terlihat begitu menyebalkan untuk Davira.     

"Davira akan masuk bersama Arka." Gadis itu menarik tangan sang sahabat. Membawanya mendekat dan berniat masuk ke dalam bersama.     

"Mama hanya ingin bertemu kamu saja. Jadi Arka akan menyusul nanti setelah menemani papa di sini."     

Davira menyeringai tipis. Menatap sejenak Arka yang diam sedari tadi. Mencoba memahami dan memaknai segala hal baru yang terjadi padanya sekarang ini. Davira tak hanya aneh, ia juga penuh dengan teka-teki yang membuat Arka hampir gila sekarang ini.     

"Dia sahabat Davira. Dia adalah laki-laki yang paling Davira sayangi di dunia ini. Setelah mama, Davira hanya menyayangi Arka. Jadi kalau Arka tak diperbolehkan masuk, Davira juga tak akan masuk ke dalam." Tegas suaranya berucap. Sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras tua sang papa. Ia paham! Benar-benar paham apa yang dimaksudkan anak gadisnya itu. Davira ingin menunjukkan bahwa papanya tak penting di dalam kehidupan Davira Faranisa. Hanya ada mamanya juga si sahabat baik, Arka Aditya.     

"Baiklah kalau gitu, jangan membuat keributan di dalam. Ada Alia dan Anna."     

Davira terdiam sejenak. Menganggukkan kepalanya selepas mendengar nama dua gadis disebut oleh pria di depannya itu. Ah, jadi namanya Anna?     

Langkahnya tegas. Selepas mendorong pintu yang ada di depannya ia masuk ke dalam. Berjalan dengan langkah tegas berirama ringan yang diekori oleh sang sahabat. Davira menoleh. Menatap seorang gadis muda yang kini menatapnya. Memancarkan sinar di balik netra pekat seakan begitu bahagia melihat kehadiran Davira di sini. Dia adalah Alia.     

"Kak Davira? Kakak datang?" tanyanya antusias. Bangkit dari tempat duduk dan berjalan mendekat pada Davira.     

Davira tersenyum ringan. Sedikit menunduk untuk menatap paras gadis yang begitu terlihat identik dengan paras wanita yang terbaring lemah di atas ranjang sudut ruangan.     

"Kamu sangat cantik, tapi sayang ... kamu bukan anak baik," ucapnya lirih. Memudarkan senyum manis di atas parasnya. Arka menyela. Mendengar kalimat jahat itu keluar dari mulut sang sahabat membuatnya menarik tangan milik gadis di sisinya itu.     

"Dia hanya anak kecil, Davira." Remaja itu berbisik. Mencoba untuk membuat pengertian ada di dalam diri Davira sekarang ini.     

"Lo tau itu rupanya. Jadi bisa bawa dua anak kecil ini keluar dari ruangan? Gue mau ngobrol sama wanita yang ada di sana." Tunjuknya pada tubuh lemah yang masih memejamkan rapat kedua matanya. Seakan benar tertidur, namun Davira yakin bahwa ia mendengar dan mengetahui kedatangan Davira sekarang ini.     

"Jangan melakukan hal bodoh," timpal Arka menatap Davira dengan tatapan tajam. Kemudian mengalihkan tatapannya menatap gadis kecil di depannya.     

"Bisa kamu bawa adik kamu keluar dari ruangan dulu, Kak Davira pengen berdua saja sama mamanya." Ia berucap dengan nada lembut. Membuat Davira tertawa kecil sekarang ini.     

"Tak perlu melakukan itu. Katakan saja dengan tegas," pungkasnya menutup kalimatnya. Berjalan tegas menuju ke arah ranjang dan meninggalkan Arka di tempatnya.     

Gadis itu kini menarik kursi di sisi ranjang. Duduk rapi sembari menyilangkan kakinya. Menopang dagu lancipnya kemudian menatap tubuh lemah yang terlihat begitu menyedihkan.     

"Davira datang, Tante." Ia menyapa dengan lirih. Tak mau banyak berulah hanya tersenyum untuk mengakhiri kalimatnya.     

"A--akhirnya kamu datang." Suara lirih menyahut. Benar dugaan Davira sebelum ini, bahwa wanita itu hanya pura-pura tertidur untuk mengusir kedua anaknya dari sini. Benar-benar wanita ular!     

"Aku tak tahu bahwa kamu benar mau datang ke sini. Setelah dua tahun lamanya—"     

"Aku hidup bahagia. Jadi jangan menatapku dengan tatapan seperti itu. Yang perlu dikasihani di sini adalah tante, bukan Davira." Gadis itu menyela. Sedikit menambah volumenya berbicara sekarang ini.     

"Aku ingin meminta ... meminta tolong padamu," ucapnya mengabaikan kalimat ketus dari Davira. Dalam napas yang terengah-engah ia meraih tangan gadis yang ada di sisinya. Samar mengembangkan senyum tipis di atas paras pucatnya itu.     

"Ada tiga permintaan, Davira ...," lanjutnya mengimbuhkan.     

"Ahh! Tante banyak meminta!" Davira kasar melepaskan genggaman tangan itu. Memalingkan wajahnya sebab jujur saja ia tak kuas melihat paras sayu dengan tatapan seperti itu.     

"Tante mohon."     

Gadis itu diam.     

"Please, Davira."     

Gadis itu masih kokoh dalam diamnya.     

"Tante mungkin gak akan—"     

"Apa! Apa yang ingin tante minta?! Huh!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.