LUDUS & PRAGMA

18. Malam Yang Berat



18. Malam Yang Berat

0Dersik membisik. Menemani hening yang terjadi kala Davira memutuskan untuk keluar dari dalam ruang rawat pasien yang baru saja dikunjungi olehnya. Bukan tanpa alasan Davira keluar dari sana, sebab satu dasar alasan yang kuat menggebu dalam batinnya saat ini. Harga make up yang dipoleskan di atas parasnya malam ini sangat mahal! Ia ingin datang dengan wajah cantik, maka ia pulang harus dengan wajah cantik pula. Tak akan ada air mata malam ini. Tak akan ada keributan dan emosi yang meluap-luap. Davira sudah dewasa. Melepas masa labil meskipun tak sepenuhnya pergi dari dalam diri.     
0

Gadis itu memungkaskan obrolannya dengan Almira sesaat setelah permintaan terakhir terucap di dalam celah bibir wanita tua itu. Seakan menegaskan pada Davira Faranisa untuk tak terus berada di tempat ini jikalau ia tak ingin lepas kendali.     

Davira pergi! Mendorong pintu yang ada di depannya dan keluar tanpa mengucap sepatah kata pun untuk mengubris tiga permohonan darinya.     

Pertama, Almira ingin mendengar Davira memanggilnya dengan sebutan ibu. Mengatakan kalimat singkat itu dari celah bibirnya dengan menggunakan suara lirih khas yang dimiliki oleh gadis bersurai panjang ikal itu. Bukan Davira kalau langsung menerima dan mengiyakan. Melakukan semuanya dengan senang hati adalah hal yang tak akan pernah terjadi.     

Kedua, wanita itu ingin Davira merawat kedua putrinya dan menganggapnya sebagai adik. Segala kesalahan yang terjadi di masa lalu adalah murni kesalahan dari Almira. Kedua putrinya tak pantas menerima hukuman apapun nantinya.     

--dan ketiga adalah ....     

"Kak Davira ...." Seseorang memanggilnya lirih. Mendekat pada gadis yang baru saja ingin menyandarkan kepalanya di dinding. Tak ada Arka juga sang papa kala ia keluar dari ruangan. Alia dan Anna pun tak terlihat batang hidungnya. Namun, gadis itu tiba-tiba saja datang dengan langkah ringan menuju ke arahnya.     

"Arka ke mana?" tanya Davira tak ingin berbasa-basi. Munafik jikalau Davira tak membenci anak gadis di depannya itu. Dari segala bentuk mata, alis, dan hidung ... mengapa gadis itu harus mewarisi semuanya dari sang ibu?!     

"Kak Arka? Ah, teman kakak tadi. Dia pergi sama papa. Katanya ada yang perlu dibicarakan. Dia berpesan sama Alia kalau kakak mencari nanti—"     

"Aku pergi dulu." Davira menyela. Bangkit dari tempat duduknya kemudian mengemasi tas selempang yang ada di sisinya. Berjalan melalui gadis yang tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya. Tak berucap banyak untuk sesaat. Hanya diam sembari menatap Davira dengan penuh pengharapan.     

Tidak! Tidak semuanya mirip dengan sang ibu. Ada satu yang tak mirip, yaitu caranya menatap dan memandang.     

"Mau apa kamu?" tanya Davira menatap dengan malas. Berkata dengan nada sedikit ketus adalah caranya melindungi diri agar tak menangis malam ini. Sungguh, mengapa ada gadis kedua yang berposisi seperti dirinya dulu. Bukankah semesta itu suka melucu dengan candaan yang keterlaluan?     

"Aku lapar." Ia menyahut. Dengan nada lirih kemudian menundukkan wajahnya. Melepas perlahan genggaman tangannya untuk tak lagi menahan kepergian Davira Faranisa.     

Sial! Hatinya bergejolak hanya sebab caranya menatap dan caranya berbicara.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Ia meletakkan satu cup mie panas yang baru saja dibelinya. Bersama dengan sebotol teh manis yang menemani. Davira ikut duduk. Menarik kursi kosong di depan gadis yang mulai menyantap mie di depannya.     

"Makasih kak," ucapnya tersenyum. Menyela aktivitas makan yang dilakukannya saat ini.     

Davira diam. Bungkam tak mau bersuara hanya terus memberi tatapan pada gadis yang ada di depannya. Baiklah! Mengapa ia terlihat sangat menyedihkan sekarang ini?     

"Kenapa kamu jadi terlihat seperti bocah kurang makan. Papa kamu kaya dan—"     

"Papa sibuk mencari uang untuk biaya rumah sakit mama. Meskipun perusahaannya sudah cukup berkembang lebih baik, namun karena biaya rumah sakit yang mahal, papa harus bekerja lebih giat lagi." Ia menerangkan. Kembali menyeruput gumpalan mie yang ada di garpu dalam genggamannya. Sejenak menatap Davira yang tak berekspresi saat ini.     

Kalimat cerita itu, tak dibuat untuk membuatnya merasa iba bukan? Ya! Davira tak perlu melakukannya. Hidupnya dulu hancur dan susah juga berimbas pada masa depannya sekarang sebab wanita yang melahirkan Alia. Wanita sialan itu sudah mendapat karmanya sekarang. Jadi untuk apa Davira yang dulu menyumpah sekarang harus merendahkan diri untuk mengulurkan tangannya? Orang jahat harus merasakan karma bukan?     

"Kakak gak makan?" tanya Alia menyela. Membuyarkan fokus Davira yang kini kembali terpusat padanya.     

"Makan aja gak usah banyak ngomong."     

"Kakak cantik dengan dandanan seperti itu." Alia mengabaikan kalimat ketus dari Davira. Tersenyum kuda selepas semua mie yang ada di dalam mulutnya turun masuk ke dalam perutnya. Membuka botol yang ada di sisinya dengan sekuat tenaga.     

"Kamu buka tutup botol aja gak bisa?" Davira memotong. Merampas botol yang ada di dalam genggaman Alia kemudian tersenyum aneh. Membukanya dan kembali menyerahkannya pada Alia.     

"Jangan rawat adik kamu kalau kamu lemah seperti ini." Davira mengimbuhkan. Sukses membuat aktivitas minum Alia terhenti. Menatap gadis tiga tahun lebih tua darinya itu.     

"Aku berbicara soal tutup botol. Hal sepele aja kamu gak bisa. Gimana mau merawat adik kamu nanti kalau wanita si— maksud aku kalau mama kamu meninggal?" imbuhnya memberi penjelasan.     

Alia menundukkan pandangannya. Meletakkan perlahan botol yang ada di dalam genggamannya kemudian tegas memberi tatapan pada Davira Faranisa.     

"Lalu aku harus gimana? Aku yakin kakak gak akan pernah mau menerima aku jadi saudara kakak 'kan?"     

Gadis di depannya bungkam. Diam membisu tak mampu banyak berkata apapun sekarang ini. Kalimat itu memang benar adanya, namun satu pertanyaan besar kini muncul dari dalam diri Davira. Dari mana Alia tahu akan hal itu? Sikap tak acuhnya menjelaskan semuanya sekarang ini?     

"Mama aku adalah selingkuhan papa kakak. Menjadi anak seorang perusak rumah tangga orang, adalah hal yang—"     

"Mama kamu cerita tentang itu?" Davira menyela. Memberi tatapan tajam pada gadis yang kini tersenyum kecut.     

"Semua temen Alia tau itu, ada orang jahat yang mengatakannya."     

"Siapa orang— lupakan. Makan mie-nya, habis ini aku mau pergi." Davira mengubah arah pembicaraannya. Ia tak ingin terlihat peduli sekarang ini. Takdir buruk yang menimpa keluarga ini, pastilah hasil doanya pada semesta.     

"Kakak," panggil Alia melirih. Menarik tangan Davira yang kini dipaksa kembali menoleh padanya.     

"Kalau kakak gak mau merawat aku, tolong rawat Anna. Dia masih kecil, dosa mama biar aku yang tanggung." Alia memohon. Menatap Davira yang kini memalingkan wajahnya. Bagaimana bisa ... bagaimana bisa seorang gadis kecil memikirkan hal konyol yang sukses membuat matanya berbinar saat ini?     

"Jangan sok dewasa. Kamu cuma anak kecil." Davira menyela. Cepat menyanggah dan melepas genggaman tangan Alia.     

"Aku mohon, kak. Alia akan baik-baik saja jika bersama dengan keluarga kakak. Nenek dan kakek atau saudara mama semuanya, gak akan benar-benar merawat Alia. Mereka orang jahat!"     

Davira menoleh. Jahat?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.