LUDUS & PRAGMA

19. Duka Dalam Luka



19. Duka Dalam Luka

0"Apa maksud kamu dengan jahat?" Davira mulai tertarik. Mendekatkan wajahnya sembari mencoba menelisik perubahan ekspresi gadis muda yang ada di depannya itu. Memastikan bahwa tak ada kebohongan yang hadir menyertai kalimat panjang miliknya tadi.     
0

"Mereka membenci papa karena masa lalunya. Tentunya mereka juga tak menyukai kehadiran aku dan Anna. Mereka pasti akan mengirim kita ke panti asuhan kalau papa pergi ke luar negeri. Jika tidak, mereka akan membiarkan kita di rumah sendiri kalau papa keluar negeri." Alia menjelaskan. Memasamkan wajah untuk mengiringi pungkasan kalimat yang diucapkan olehnya.     

Baiklah, Davira kini mulai mengerti situasi dan keadaan yang ada. Alasan Alia ada di sini alih-alih berdiam diri di rumah dan belajar untuk ujian akhir, sebab gadis itu terpaksa. Tak ada yang menjaga mamanya kalau sang papa pergi bekerja, juga tak ada yang merawat adik kalau ia ditinggal sendirian.     

"Kakak mau 'kan merawat Anna?" tanyanya memastikan. Sedikit memiringkan kepalanya untuk menatap perubahan raut wajah gadis di depannya.     

"Kalau iya, kamu gimana?"     

"Aku bisa hidup sendiri. Alia bisa bekerja dan—"     

"Aku pergi. Mie-nya udah mau habis." Davira memotong. Mengubah arah kalimat untuk tak lagi meneruskan obrolan mereka. Davira sadar, semakin ia ingin tahu maka semakin tersayat hatinya nanti.     

"Kakak mau pulang?"     

"Bukan urusan kamu," ketusnya berpaling. Niat hati ingin berjalan pergi menjauh dan meninggalkan Alia di sana namun ia mengurungkan niatnya. Menghentikan langkah dan memutar tubuhnya. Merogoh masuk ke dalam tas selempang yang dibawanya kemudian mengeluarkan dua kotak susu kecil yang baru saja dibelinya tadi. Niat hati, Davira ingin meminumnya nanti bersama Arka kalau pulang dan bercengkrama ringan. Akan tetapi, ia rasa soda akan lebih baik.     

"Ambil ini." Davira meletakkan susu di atas meja. Melirik Alia yang terdiam sembari menatap dua kotak susu yang disodorkan Davira padanya.     

"Jangan salah paham, aku tadi salah beli. Sayang kalau dibuang." Davira mengimbuhkan. Segera memalingkan wajahnya dan memutar tubuhnya. Kali ini ia benar melangkah pergi. Ingin segera menjauh dari Alia dan menyingkirkan segala rasa aneh yang ada di dalam dirinya selepas mendengar penjelasan dari gadis kecil itu.     

"Kak Davira!" Gadis itu memangil. Menarik langkah Davira untuk kembali terhenti. Menoleh dan sejenak menatap senyum yang melengkung di atas paras cantik milik Alia.     

"Terimakasih susunya."     

"Datanglah lagi, Kak. Anna pasti merindukan kakak." Ia mengimbuhkan. Semakin tegas mengembangkan senyum di atas paras cantiknya.     

"Ck, sialan. Gadis kurang ajar itu."     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Hening sejenak membentang. Sama-sama terdiam menatap bentangan cakrawala di atas sana. Kaca besar menjadi pembatas antara lingkungan dalam rumah sakit dengan halaman belakang penuh rumput yang terlihat begitu damai dan tenang. Di tempat seperti itulah Arka Aditya berada. Bersama seorang laki-laki tua berambut abu yang begitu rapi dengan setelan jas mahal membalut tubuh kerempeng miliknya. Arka tak memandang wajah pria yang menjadi lawan bicaranya, hanya terus mengudara menatap bentangan awan hitam bersama gelapnya langit malam di atas sana. Papa Davira sangat berbeda baik secara fisik maupun tata berbicara. Suaranya selalu terdengar berat dan penuh beban. Seakan hidup bersama keluarga barunya tak pernah benar dikaruniai kebahagian yang menyelimuti.     

"Aku tak menyangka kau masih setia berada di sisi Davira sampai sekarang." Ia menyela. Suaranya berat dengan penuh penekanan yang diberikan.     

Arka menghela napasnya. Mengangguk-anggukkan kepalanya tegas. Tak mestinya ia berada di tempat ini sekarang, datangnya kemari hanya untuk mengiringi langkah sang sahabat bukan kembali masuk dan mencampuri urusan Davira.     

"Katakan saja apa yang pengen om katakan sekarang. Davira akan marah kalau tau aku datang ke sini."     

Pria di sisinya tertawa ringan. "Kalian pacaran?" tanyanya acak. Meraih pundak remaja yang ada di sisinya kemudian merangkulnya ringan.     

"Menjadi sahabatnya adalah hal yang paling istimewa melebihi apapun." Arka menyahut. Sejenak menoleh pada pria tua yang ada di sisinya kemudian kembali menatap jauh apapun yang ada di depannya.     

"Om hanya ingin tahu kehidupan Davira selama ini. Bagaimana ia tumbuh, berteman, dan mendapatkan lingkungan yang baru. Om hanya itu tau semua itu."     

"Om tidak melihat Davira malam ini? Dia terlihat bahagia dan baik-baik saja bukan? Dia bahkan baru pulang dari pesta," sahut remaja berponi naik itu dengan nada tegas. Tak ingin menoleh sebab ia tak ingin menatap paras pria di sisinya. Meskipun bukan dirinya lah yang menjadi korban, setidaknya Arka paham bagaimana rasanya berposisi menjadi Davira Faranisa.     

"Dia pasti dikelilingi orang baik sekarang. Seperti kamu misalnya," katanya kembali tertawa ringan.     

Arka kali ini menoleh. Benar menatap pria yang masih dengan tawa ringan di sisinya itu. Ia tak gila 'kan?     

"Kenapa om terus tertawa? Om pikir ada yang lucu sekarang? Om mabuk?" cecar Arka dengan tatapan menelisik.     

Tawa yang ada di dalam diri pria di sisinya itu memudar. Hilang seiring dengan helaan napas ringan yang diciptakan olehnya. "Bukankah tertawa adalah cara terbaik untuk menutup apa yang kita rasakan sekarang ini?"     

Arka bungkam. Tak mampu berucap apapun.     

"Tentunya aku merasa bersalah dengan semua yang terjadi pada putriku. Hanya Diana yang membesarkannya. Aku terlalu sibuk dengan urusanku bersama Almira dan anak-anaknya. Melihat Davira datang dan terlihat bahagia, membuatku sedikit lega. Meskipun aku tahu, dia tak benar bahagia dengan senyumnya itu."     

Arka kini paham cara dan pola berpikir Davira mirip dengan sang ayahanda.     

"Kenapa om gak nemuin Davira sekarang. Meminta maaf dan mengatakan bahwa om menyesal akan semua yang sudah terjadi?"     

"Untuk apa?" Laki-laki tua itu menyela. Tersenyum tipis mengakhiri kalimatnya.     

"Bukankah kamu yang paling mengenal Davira?"     

Remaja itu menganggukkan kepalanya ringan. "Benar juga, Davira bukan gadis yang mudah."     

"Aku hanya perlu baik padanya sekarang. Meskipun tak bisa mengganti segala dosa, setidaknya aku bisa menutupi dosa yang telah lalu." Ia menjelaskan dengan singkat. Menutup kalimat bersama helaan napas ringan sedikit berat terasa.     

Arka tahu, apapun yang akan dilakukan laki-laki tua di sisinya itu tak akan pernah berimbas baik padanya. Hati Davira sudah terlanjur beku pasal ayahandanya. Menutup diri untuk tak lagi masuk dan terjun ke dalam dunia masa lalu. Davira ingin terus berjalan maju, bukan menghilangkan luka, gadis itu hanya ingin mengabaikan luka.     

"Arka harus pergi, Davira mungkin akan marah kalau—"     

"Lo tau gue akan marah, dan lo masih datang ke sini?" Suara gadis menyelanya. Membuat Arka menoleh ke arah sumber suara.     

Davira datang!     

"Papa yang ngajak dia ke sini, Nak. Jadi jangan marah padanya." Pria berjas itu menyela. Menatap sang putri sejenak. Kemudian mengalihkan tatapan untuk Arka Aditya.     

"Kebetulan, Davira pengen ngomong sesuatu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.