LUDUS & PRAGMA

20. Kejutan Dari Pragma



20. Kejutan Dari Pragma

0"Ada yang ingin kamu katakan pada papa?" Pria tua itu mengulang. Menatap paras cantik putri kandung dengan penuh pengharapan. Berharap bahwa apa yang didengarnya barusan itu tak salah dan tak keliru.     
0

"Hm, sesuatu yang penting." Davira menimpali. Sejenak melirik sang sahabat yang baru saja ikut menatap dirinya dan memberi kerutan di atas dahinya sebab ia tak mengerti, apa yang sebenarnya direncakan oleh sahabatnya saat ini.     

"Kalau gitu, biarkan Arka pergi dari sini dan menjaga Anna juga Alia di sana, nanti setelah kita berbicaraa—"     

"Arka akan tetapi di sini. Menemani Davira seperti biasanya. Jika Arka pergi, itu artinya Davira juga akan pergi dari sini." Gadis itu menyela. Ditatapnya sang sahabat yang kini tersenyum aneh. Kalimat itu bukan terdengar seperti sebuah syarat, namun seperti sebuah hinaan untuk menegaskan bahwa Arka Aditya bukan hanya sekadar sahabat yang akan pergi dan menyisih ketika sahabatnya sedang berbicara pribadi masalah keluarganya, posisi Arka lebih penting dari itu semua. Katakan saja jikalau Davira disuruh memilih Arka atau papanya, maka dengan tegas gadis itu akan mengatakan bahwa ia memilih Arka Aditya.     

"Bukankah kamu bilang tadi ini penting?" tanya pria itu sedikit melirih. Ragu suara beratnya terdengar sebab ia tak ingin mengecewakan putri yang tak pernah ditemuinya berpuluh tahun lamanya. Bukan sebab tak bisa, namun sebab Davira tak mau.     

Tanpa pernah menaruh rasa curiga pada putrinya yang tiba-tiba saja mau datang dengan perasaan bahagia tanpa menimbulkan kegaduhan apapun itu, pria yang selalu rapi dengan setelan jas mahal guna menjadi penyempurna pempilannya sebagai pemilik perusahaan rintisan itu terlihat begitu bahagia dan lega menyambut kedatangan Davira, jadi ia tak ingin merusak apapun malam ini.     

"Arka adalah orang penting kedua setelah mama dihidup Davira, jadi ia berhak mendengar yang akan Davira katakan setelah ini. Tapi jika keberatan, Davira tidak akan memaksa dan—"     

"Tentunya papa gak akan keberatan. Arka adalah keluarga untuk kita juga 'kan?" kekehnya tertawa ringan. Menarik tubuh remaja yang ada di sisinya kemudian merangkulnya.     

Davira menurunkan pandangannya, sejenak menatap ujung sepatu milik sang papa kemudian tegas menarik satu sisi bibirnya untuk menyeringai. Kembali menaikkan pandangannya dan mentap Arka. Menarik pergelangan tangan remaja itu mendekat dan bersejajar posisi dengannya. Arka adalah 'orang Davira' jadi ia harus berdiri di sisi gadis itu bukan berdiri dan memihak musuhnya sekarang ini.     

"Dia adalah keluarga Davira," ucap gadis itu menegaskan. Sukses membuat tawa ringan sang papa berhenti. Menatap sejenak Arka yang menoleh pada sahabatnya. Bukan hanya diam bungkam tak mengelak atau memberi respon atas apa yang dikatakan oleh sahabatnya, remaja itu pun terkejut. Arka paham benar, Davira sedang bermaksud untuk menghina ayahandanya dengan terus menyanggah dan memberi elakan atas semua yang dikatakan oleh pria itu.     

"Davira ... kita adalah keluarga, Nak." Papanya mulai memberi pengakuan. Sedikit memajukan langkahnya untuk mendekat pada sang putri. Merentangan tangannya untuk memberi celah pada Davira jika saja ia tersentuh dengan kalimat dan ekspresi milik sang papa, ingin memberi pelukan hangat yang meleburkan segala amarah dalam dirinya saat ini.     

"Benar 'kan ... kita adalah keluarga?" Davira mengulang. Berjalan mendekat dan merengkuh tubuh sang papa. Memberi pelukan hangat sembari sesekali mengusap punggung pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu.     

Arka masih mematung. Sejauh ini Davira benar-benar pandai bermain drama. Membuat alurnya sendiri dan menentukan mau bagaimana akhir cerita yang dibuatnya saat ini. Arka tak mengerti, sebenarnya apa yang dimaksudkan gadis itu dengan segala tingkahnya kali ini. Berbaik dan berdamai dengan papa juga keluarganya? Tidak! Davira bukan gadis 'semudah' itu. Menyimpan segala rasa sakit sendirian tanpa ada obat yang bisa menyembuhkannya selama bertahun-tahun, membuat Arka yakin bahwa gadis itu sedang merencanakan sesuatu sekarang ini.     

"Berikan perusahaannya," ucap gadis itu berbisik. Membalikkan keadaan haru menjadi sebuah adegan penuh klimaks dalam hitungan detik.     

Pria itu melepas pelukannya. Mengubah ekspresi wajahnya tak percaya selepas kalimat itu bisa lolos dengan mudahnya dari bibi sang putri. Tatapan Davira polos, rona yang ada di atas parasnya terlihat begitu bersih dan suci, namun bagaimana bisa ia mengatakan hal mengerikan seperti ini.     

"A—apa maksud kamu, Nak? Kamu sedang bergurau sekarang?"     

Davira tersenyum hangat. Menatap sejenak Arka yang mulai terpancing dengan obrolan mereka selepas sang sahabat melepas pelukannya.     

"Tahun ini Davira akan lulus dan aku akan belajar ilmu managemen dan perusahaan. Aku ingin menjalankan perusahaan atas namaku sendiri. Jadi, berikan perusahaannya," jelasnya menerangkan singkat. Membuat Arka kini benar-benar beraksi. Menarik pergelangan tangan sahabatnya dan berusaha untuk menyadarkan Davira kali ini. Gadis itu benar-benar sudah gila!     

"Bukan hanya sebagian, Davira ingin semuanya." Ia mengimbuhkan. Menatap sang papa yang hanya terdiam dengan ekspresi wajah tegangnya sekarang ini.     

"Lalu bagaimana dengan papa?"     

"Davira akan memberi usaha kecil, seperti membuka rumah makan atau semacamnya. Semua yang ada di dalam perusahaan papa sekarang ... Davira menginginkannya," tukas Davira dengan senyum manis.     

"Bagaimana dengan biaya rumah sakitnya?"     

Gadis itu kini sejenak tertawa kecil dan lirih. Singkat sejenak menyela obrolan serius di antara keduanya saat ini.     

"Aku tak memintanya sekarang juga, tapi tulisan itu nanti di surat ahli waris. Bukankah Davira adalah anak kandung papa?" Gadis itu kembali menegaskan.     

"Anna dan Alia juga begitu. Papa berencana untuk membesarkan perusahaan dan mendirikan anak cabang untuk kalian bertiga. Jadi jangan serakah dulu," tuturnya memberi pengertian pada sang putri.     

"Aku? Serakah?" Davira sejenak menghentikan kalimatnya. Mengambil satu langkah ke depan untuk sedikit mendekatkan posisinya dengan sang papa.     

"Davira, lo gak harus bertindak sejauh ini ...." Arka menyela. Berbisik pada sang sahabat yang masih kokoh dalam pendiriannya untuk sejenak mengabaikan posisi Arka malam ini.     

"Bukankah papa sendiri yang bilang sama mama waktu itu." Gadis itu mendekatkan wajahnya ke telinga kiri sang papa. Sejenak menyeringai untuk memulai kalimat penjelas darinya malam ini.     

"Aku akan menebus segala dosa pada Davira dan memberi kebahagian padanya dengan cara apapun," ucapnya lirih. Sukses membuat sang papa terkejut dan memundurkan langkahnya.     

Malam itu, kala ia datang ke rumah Diana untuk menyambangi sang mantan istri ... Davira tak benar tidur, ia mendengar semuanya.     

"Kalau tak bisa melakukan itu mengapa harus mengatakan dan memberi harapan?"     

"Segitu mudahnya 'kah memberi harapan pada seseorang bagi papa?"     

"Mengapa papa tak pernah benar berubah?! Semua karma yang papa terima saat ini ... Davira yang melakukannya." Gadis itu menutup kalimat selepas mencecar sang papa dengan kalimat tak terduga miliknya.     

"Semua hal buruk ini adalah doa milik Davira ... papa tak mengerti juga?"     

"Davira berhenti, kita pergi dari sini sekarang." Arka menyela. Menarik tubuh Davira dan membawanya pergi dari sana.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.