LUDUS & PRAGMA

21. Teruntuk Harapan



21. Teruntuk Harapan

0Davira menatap jalanan luas yang ada di depannya. Tak bergeming dalam sepersekian detik hanya membiarkan hening membentang di antara keduanya. Arka masih fokus dengan aktivitasnya menyetir dan mengarahkan mobil yang mereka tumpangi, tak bisa benar untuk menatap paras cantik sang sahabat.     

Selepas keluar dari rumah sakit dan memutuskan pergi tanpa berpamitan dengan benar, Davira tak berucap sepatah katapun. Hanya berjalan dan terus menatap lurus ke depan. Sesekali menyela langkahnya dengan helaan napas ringan namun terkesan begitu berat dan panjang.     

"Gue udah bilang untuk tidak lepas kendali. Lo akan terlihat menyedihkan nantinya." Pada akhirnya, remaja jangkung berponi naik itu mau membuka suaranya. Tak menoleh hanya sempat melirik posisi Davira saat ini.     

"Gue gak lepas kendali. Buktinya gue gak nangis," protesnya dengan nada dingin. Kuat menyandarkan kepalanya di sisi pintu mobil. Kembali menghela napas berat untuk mencoba mengeluarkan beban yang ada di dalam dirinya saat ini. Davira sebelumnya yakin benar, bahwa selepas mengatakan itu pada sang ayahanda ia akan terlihat kuat dan merasa lega. Tak ada beban yang menghiasi dalam diri atau rasa kalut serta khawatir yang menyelimutinya. Akan tetapi, gadis itu salah besar. Semua perasaan itu ada di dalam dirinya.     

"Karena gue ngajak lo pergi dari sana," sahutnya sukses membuat Davira bungkam tak bersuara. Benar, kalau saja Arka tak ada ia pasti sudah menangis tadi.     

"Lo beneran serius dengan apa yang lo katakan barusan tadi?" tanya Arka kembali menyela. Kali ini sejenak menatap wajah Davira. Lesu sedikit sayu. Meskipun polesan make up ada dan menghiasi paras cantiknya, namun semua itu tak bisa menutupi rona wajah yang ada di atas parasnya saat ini.     

"Lo pikir gue main-main sama perkataan gue?" Davira menyahut. Dengan nada ketus sedikit dingin. Kembali tak acuh pada sang sahabat yang kini mendesah kasar. Davira sangat keras kepala!     

"Lo tau apa resiko dari semua itu? Mengambil alih sebuah perusahaan besar bukan hal yang mudah Davira. Kalau lo melakukan itu semua cuma pengen melihat mereka hancur seperti mereka menghancurkan hati dan kebahagiaan lo dulu, gue selaku sahabat lo dengan tegas bilang kalau lo terlalu bocah!"     

Davira kembali menoleh menatap sang sahabat yang kini menghembuskan napasnya dengan berat. Memutar stir mobil dan menepikan mobil hitam miliknya. Mematikan mesin mobil dan melepas sabuk pengaman yang dipakai oleh remaja jangkung itu.     

Davira merespon. Mengubah ekspresi wajah cantik miliknya kala mobil yang membawa tubuhnya untuk menjauh dari kawasan rumah sakit itu benar-benar terhenti.     

"Kenapa lo berhenti?"     

"Minta maaf sama papa lo. Bilang kalau lo hanya terbawa emosi tadi." Arka kembali berucap, kali ini dengan sedikit memohon agar remaja di sisinya itu benar mau mengerti apa maksudnya sekarang ini. Davira akan dalam bencana besar jikalau ia mengacaukan semua hidupnya hanya sebab rasa dendam dan sakit hati yang dirasakannya selama ini.     

Arka paham benar, jikalau itu semua tak akan pernah bisa terbalaskan oleh apapun dan bagaimanapun caranya, meskipun begitu ia hanya ingin sahabatnya tetap melanjutkan hidup dengan setidaknya berpura-pura bahagia dengan apa yang dimilikinya saat ini.     

"Kenapa gue harus minta maaf?"     

"Karena lo salah." Arka menyahut. Menarik pergelangan tangan Davira kemudian menggoyangkannya kuat. Sedikit merengek untuk membuat gadis di depannya itu mau mengiyakan dan mengikuti permintaannya.     

"Gue melakukan yang harusnya gue lakukan," tutur gadis itu menyibakkan tangannya. Melepas kasar genggaman dari sang sahabat dan memalingkan wajahnya cepat.     

"Lo sedang menghancurkan hidup lo sendiri. Tak bisakah lo hidup dengan apa yang ada di depan lo?" Arka kembali menimpali. Memiringkan kepalanya untuk mengikuti arah pandangan dan memblokir seluruh tatapan Davira Faranisa.     

"Lo nyuruh gue lari kayak pengecut?"     

"Davira ... bukan gitu! Membalas apapun yang mereka lakukan dulu itu bisa menghancurkan hidup lo sekarang. Lo berpikir dengan mengambil perusahaan papa lo, lo akan menang nantinya?"     

Gadis bersurai panjang tergerai itu kini menyeringai samar. Terkekeh kecil sembari menundukkan kepalanya. Menatap ujung sepatu miliknya sejenak mengabaikan perubahan raut wajah milik sahabatnya. Arka tak mengerti, semakin dewasa Davira semakin gila dengan ambisinya.     

"Lo pikir gue akan mengolah perusahaan itu sendirian?" ucapnya di sela tawa yang kian memudar.     

Arka mengernyitkan dahinya. Menggeleng samar sembari terus menatap Davira penuh tanya. "Gak a--akan?" tanyanya melirih.     

"Gue akan jual perusahaan itu. Mereka tak pantas jadi konglomerat." Davira kembali memalingkan wajahnya. Tak ingin menatap remaja jangkung berponi naik dengan paras tampan yang tegas menautkan sepasang alis garis berwarna legam miliknya. Sungguh, pernyataan yang mengerikan keluar dari celah bibir mungil nan indah mempesona milik Davira.     

"Lo gadis yang jahat." Kalimat lirih itu spontan keluar dari celah bibir Arka Aditya. Menarik perhatian Davira yang kini kembali menoleh menatapnya.     

"Benar, gue gadis yang jahat. Mereka ... adalah orang baik yang pantas bahagia."     

"Davira ...." Arka memanggil dengan lirih. Mencoba menarik kembali perhatian gadis yang tak acuh dan enggan menatapnya. Davira kini menyentralkan seluruh fokusnya menatap rerumputan liar yang ada di luar mobil. Sembari menopang dagunya untuk mengekspresikan betapa beratnya kepala Davira malam ini. Semua berada di luar kendalinya. Perasaan bersalah? Tentu Davira punya itu. Akan tetapi rasa dendam menguasai dalam dirinya saat ini.     

"Jujur sama gue sekarang," ucapnya melirih. Kali ini benar menarik tangan gadis di depannya dan menggenggam jari jemarinya kuat. Tak ingin Davira melepas itu untuk kedua kalinya. Ia ingin berbicara intim dengan sahabatnya sekarang juga.     

"Apa yang lo harapan dari semua balas dendam itu?" Remaja itu mengimbuhkan. Semakin tegas menatap masuk ke dalam lensa pekat milik gadis di depannya.     

"Harapan untuk bahagia? Atau harapan untuk membuat hati lo lega?" Arka kembali berucap kala Davira enggan menggubrisnya. Tetap diam bungkam mengunci rapat bibir indahnya adalah aktivitas yang dipilih oleh Davira sekarang ini.     

"Lo gak akan pernah ngerti rasanya jadi gue." Davira akhirnya menyela. Memalingkan wajahnya sembari sesekali mengedipkan matanya. Mencoba untuk membendung air agar tak turun membasahi pipinya sekarang ini.     

"Benar. Gue gak akan mengerti perasaan lo, luka lo, bahkan cara berpikir lo sekarang ini. Gue yakin apapun yang lo lakukan dan lo katakan, menurut diri lo sendiri itu benar. Jadi gue gak akan menyalahkan itu."     

Arka kini menarik dagu Davira. Membuatnya mau tak mau harus menatap sepasang lensa milik Arka Aditya. "Yang gue tanyakan, apa harapan lo dari semua balas dendam ini?" ulangnya.     

"Lo berpikir lo akan bahagia setelah mengambil perusahaan besar itu? Menjualnya pada orang lain dan melihat papa lo juga keluarganya hancur. Lo akan bahagia melihat itu? Jika iya, gue akan membantu. Karena prinsip gue adalah membuat lo bahagia."     

Davira diam sejenak. Menghela napasnya berat. "Antar gue ke Adam sekarang."     

"Kenapa harus Adam!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.