LUDUS & PRAGMA

22. Jangan Katakan Apapun!



22. Jangan Katakan Apapun!

0"Kenapa harus Adam?" Gadis itu mengulang kalimat. Tersenyum miring pada remaja setara usia dengannya itu.     
0

"Karena dia pasti akan mendukung gue sekarang." Davira melepas genggamannya. Melepas kasar sabuk pengaman yang masih membelit tubuh ramping nan tinggi miliknya itu. Menekan gagang pintu mobil dan mendorong pintu yang ada sisinya itu dengan kasar. Turun dari mobil kemudian berjalan tegas menjauh. Mengabaikan sang sahabat yang terus memanggil namanya dengan nada tegas semakin meninggi seiring dengan banyaknya jarak yang diciptakan oleh Davira saat ini.     

Arka menghela napasnya. Baiklah, mengejar dan menghentikan Davira tak akan berimbas baik saat ini. Jadi yang harus ia lakukan hanyalah mengawasi dan melihat dari jauh, kemana arah langkah sepasang kaki ramping itu pergi membawa emosi kalut dari seorang Davira Faranisa.     

Tentu, ke rumah Adam Liandra Kin!     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Arka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Berhenti seiring dengan taksi berwarna biru muda yang baru saja menepi dan parkir di sisi jalanan komplek. Benar dugaan Arka Aditya, bahwa sahabatnya akan pergi dan menyambangi rumah sang kekasih.     

Gadis itu turun. Berjalan ringan selepas membayar ongkos taksi yang membawanya datang kemari selepas pertengkaran kecilnya dengan Arka Aditya. Sejenak terhenti di depan gerbang besar kemudian menekan bel pintu rumah. Sejenak menunggu untuk seseorang memberikannya respon kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam selepas benar-benar tak ada yang datang untuk mempersilakan dirinya masuk.     

Seakan sudah hapal benar dengan apa-apa saja yang ada di dalam rumah Adam, gadis itu berjalan masuk tanpa ragu. Sepi dirasa, sebab malam sudah tiba. Hampir larut kalau ditelisik waktu yang sedang berjalan. Akan tetapi, Davira ingin bertemu dengan Adam malam ini. Selepas perpisahannya dengan sang kekasih tadi sore terkesan sedikit mengecewakan sebab Davira menolak niat baik Adam untuk menghantarnya datang membesuk, gadis itu tak sempat untuk memberi kabar. Jadi, datang kemari adalah keputusan yang baik.     

Remaja jangkung itu menghela napasnya. Sesaat setelah melihat Davira masuk ke dalam kawasan rumah Adam, ia tak bisa lagi menangkap perawakan tubuh milik Davira. Membuatnya mau tak mau harus kembali menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi dari sini. Urusannya dengan Davira tadi, akan ia selesaikan besok.     

"Permisi," ucap Davira lirih. Mengetuk pintu kayu besar yang ada di depannya. Sesekali menengok ke samping untuk mencari dan memastikan bahwa memang hanya ada dirinya di luar sini.     

"Permisi, ini Da—" Ucapan gadis itu terhenti kala suara gagang pintu ditekan. Sepersekian detik kemudian, pintu samar terbuka dengan decitan yang sedikit memekak di telinga.     

Davira tersenyum. Namun, bukan untuk Adam. Bukan juga untuk mama remaja itu juga pasti bukan untuk papa pemilik rumah. Ia tersenyum untuk Raffardhan Mahariputra Kin. Remaja jangkung dengan kaos abu bergaris vertikal yang sedikit kurang cocok dipadukan dengan celana kotak-kotak panjang terbuat dari kain. Akan tetapi, apalah penting gaya dan style kalau sedang berada di dalam rumah? Yang terpenting adalah nyaman dan tak gerah juga tak sumpek sesak kalau dipakai.     

"Kakak kamu ada?" Davira bertanya ramah. Sedikit tersenyum untuk memaksa dirinya menyesuaikan dengan keadaan barunya saat ini. Meskipun hatinya kalut, ia tak ingin membagikan kalutnya itu pada orang lain.     

"Kak Adam gak ada di rumah. Aku kira dia pergi sama kakak." Raffa menyahut. Menelisik setiap bagian tubuh Davira dengan penampilan yang bisa dibilang 'wow'     

"Aku habis jenguk seseorang dari rumah sakit sama Arka. Pulangnya aku sempatin mampir ke sini," Ia mempersingkat. Tak beralasan, namun menyampaikan alasannya datang kemari. Menyambangi sang kekasih sebenarnya tak perlu alasan jelas yang mendasarinya. Hanya perlu mengatakan rindu dan perlu bertemu saja sudah cukup.     

"Dengan pakaian seperti itu? Aku kira kakak habis dari pesta," ujarnya menyanggah. Menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala gadis yang baru saja mengatupkan bibirnya.     

"Ceritanya panjang. Boleh aku masuk, kakak kamu gak akan lama 'kan?" tanya Davira menyela. Mengubah arah pembicaraan agar tak berlarut membahas apa yang dilakukan olehnya sebelum datang ke sini.     

"Tentu. Silakan masuk. Aku akan telepon Kak Adam dan memberi tahu kalau kakak datang." Raffa menganggukkan kepalanya tegas. Tersenyum simpul pada gadis yang kini mulai melangkah kalinya masuk.     

Remaja jangkung itu kini berjalan tegas ke arah meja makan yang ada di sudut ruangan. Mengambil ponsel miliknya kemudian menekan beberapa nomor untuk menjangkau kontak sang kakak. Membuat panggilan singkat untuk mengabarkan pada Adam bahwa ada seorang gadis cantik yang sedang menunggunya di rumah.     

"Mama kamu gak ada?" tanya Davira menyela selepas menatap remaja yang baru saja menjauhkan ponselnya dari atas telinga. Menutup panggilan dengan singkat dan suara yang lirih.     

Sebenarnya sih, Davira bisa saja melakukan panggilan itu sendiri. Tak perlu merepotkan remaja yang kini melangkah mendekat padanya. Akan tetapi, Raffa terlanjur menawarkan niat baik. Jadi tak sopan jikalau Davira menolaknya.     

"Kak Adam akan datang lima belas menit lagi." Raffa menyela. Mengabaikan sejenak kalimat tanya dari Davira yang hanya menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Mama ada di kamarnya. Kakak mau bertemu dan mengobrol?" tanya Raffa menawarkan. Duduk di atas sofa yang berhadapan dengan kursi memilik Davira.     

Keduanya saling tatap sejenak. Tak berucap satu sama lain hanya tersenyum canggung. Davira masih belum benar bisa menerima fakta bahwa Raffa juga menyukainya. Bukan sebagai kakak ipar yang amat dicintai oleh kakak kandungannya, Adam Liandra Kin. Akan tetapi sebagai seorang remaja laki-laki pada gadis idamannya.     

"Kamu gak belajar?" tanya Davira berasa-basi.     

"Kita jarang ketemu, jadi Raffa mau nemenin kakak sebentar." Ia menyahut. Dengan nada tegas tanpa keraguan dan kecanggungan sedikitpun. Caranya berbicara pada gadis yang dicintainya, mirip dengan sang kakak.     

"Kenapa kakak gak menghubungi Raffa setelah itu?" Remaja itu menyela. Menatap sejenak Davira yang baru saja mengubah ekspresi wajahnya.     

Tak mengerti? Tidak. Davira sangat paham dengan kalimat tanya yang dilontarkan olehnya barusan.     

"Kakak gak punya alasan untuk menghubungi kamu setelah itu." Davira menyahut dengan senyum manis yang mengiringi. Seakan tak ingin menyakiti dan mengecewakan hati remaja jangkung di depannya itu, ia berucap dengan nada lembut meskipun hatinya sedang mengumpat saat ini.     

Davira sedang kalut, namun bisa saja Raffa mencuri waktu dan membahas hal menyebalkan seperti itu.     

"Kakak butuh alasan untuk menghubungi aku?" Ia menyahut. Sejenak menelisik raut wajah gadis yang ada di depannya.     

"Kalau kakak kamu dengar ini, dia pasti akan salah paham. Jadi jangan mengatakan hal bodoh seperti itu. Mengerti?" tutur Davira mencoba memberi pengertian.     

"Kenapa kakak harus—"     

"Karena aku adalah pacar kakak kamu." Davira menyela. Memotong kalimat remaja jangkung yang ada di depannya itu.     

Raffa tersenyum singkat. "Bagaimana dengan Kak Adam? Dia juga menganggap kakak sebagai pacarnya?"     

Sialan! Remaja jangkung itu selalu saja membuat hatinya panas seperti ini!     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.