LUDUS & PRAGMA

23. Lengkara Rasa



23. Lengkara Rasa

0"Kamu di sini hanya untuk menegaskan kalimat bahwa Kak Adam selingkuh?" Davira menyahut. Memberi sebuah penekanan di dalam kata yang diucap oleh bibir merah delima miliknya. Jujur saja, Davira datang kemari bukan untuk mendengar dongeng penuh drama melankolis seperti ini. Malam ini saja hatinya sudah kalut, mau ditambah dengan masalah baru lagi? Davira muak dengan orang-orang yang terus saja mengatakan bahwa bahwa kekasihnya sedang berusaha mengkhianati kepercayaan besar yang diletakkannya di dalam hubungan mereka saat ini.     
0

"Aku gak pernah bilang gitu. Waktu itu aku hanya bilang kalau—"     

"Cukup, kakak akan pergi saja. Kalau Kak Adam datang dan bertanya beri tahu bahwa Kak Davira ada urusan mendadak." Davira kini bangkit dari tempat duduknya. Berniat hati untuk pergi dan meninggalkan Raffa di tempatnya sekarang ini namun niatnya terhenti kala tangan remaja itu menghentikan niatnya. Menggenggam pergelangan tangan gadis yang ada di depannya.     

Raffa menurunkan sejenak pandangannya. Mengulum saliva untuk mengumpulkan niat sebelum memulai kembali berkata untuk mencegah kepergian Davira Faranisa.     

"Aku hanya bilang ... kalau ragu datang saja padaku," ucapnya dengan nada melirih. Davira memalingkan wajahnya sejenak. Menghela napas kasar kemudian kembali menatap Raffa. Tersenyum tipis dan perlahan melepas genggaman tangan remaja yang satu tahun lebih muda darinya itu.     

"Kakak gak akan pernah ragu dengan keputusan dan segala tindakan yang kakak ambil, jadi jangan terlalu berharap. Adam akan terkejut jikalau melihat adiknya seperti ini." Ia memungkaskan kalimatnya. Kembali berjalan untuk tegas menyambangi ambang pintu yang terbuka separuhnya. Davira akan mengurungkan niat untuk bertemu dan melepas sedih bersama sang kekasih malam ini. Ia akan menundanya!     

"Kak Davira!" panggil Raffa mulai bangkit. Kembali berjalan untuk menghandang langkah Davira. Remaja itu tak ingin gadis yang amat disukainya pergi dalam keadaan marah. Meskpipun tak sehebat sang kakak, Raffa ingin sekali saja mencoba menghiburnya dengan segenap rasa dan jiwa yang ia miliki.     

"Aku minta maaf jika itu membuat kakak marah," selanya memotong langkah Davira.     

"Kakak gak marah. Kakak hanya ingin pergi sekarang," ucap gadis itu sembari menatap dengan teduh. Menepuk pundak remaja setara tinggi dengannya. Tersenyum ringan untuk memungkaskan kalimatnya malam ini. Benar, ia tak benar marah dengan apa yang diucapkan oleh Raffa barusan itu, ia hanya ... hanya sedang kalut saja. Davira tak ingin jikalau terlalu kalut dan tak bisa membendungnya dengan kuat, maka kalut dan emosi itu akan ia luapkan pada remaja labil tak bersalah itu.     

"Belajarlah, jangan jadi anak yang bodoh." Davira mengimbuhkan. Mengusap puncak kepala remaja yang ada di depannya untuk sekadar memberi salah perpisahan padannya.     

"Jangan pergi! Bisakah kakak memenuhi permintaan aku untuk jangan pergi? Anggap saja, kakak sedang menunggu Kak Adam untuk datang." Sukses! Kalimat itu sukses kembali menarik perhatian gadis yang baru saja ingin melangkahkan kakinya keluar dari ambang pintu.     

"Kenapa aku gak boleh pergi?"     

"Karena kakak sangat cantik malam ini," timpalnya dengan nada melirih. Membuat Davira terdiam membisu tak mampu berkata apapun lagi. Ia tak ingin terbawa perasaan sekarang ini. Menjadikan Raffa alih-alih sang kekasih, Adam Liandra Kin sebagai tempatnya mengadu adalah hal yang paling bodoh. Ia tak ingin mengkhianati kepercayaan Adam.     

"Kenapa kalian saling tatap gitu? Ini waktunya untuk lomba menatap?" Seseorang menyela. Menarik fokus Davira juga Raffa yang tegas menoleh ke arah ambang pintu. Adam berdiri di sana. Dengan raut wajah bingung dan tak mengerti, mengapa sang adik seperti baru saja terlibat percakapan serius dengan sang kekasih hati.     

"Kamu udah pulang?" Davira menyela dengan senyum hangat yang menghias di atas paras cantiknya. Mencoba tetap tenang meskipun hampir saja ia tertangkap basah oleh sang kekasih. Meskipun tak akan banyak berimbas pada Davira Faranisa, namun gadis itu paham benar bahwa hubungan baik antara Raffa dan sang kakak akan berubah kala Adam mengetahui rasa bodoh macam apa yang dimiliki oleh sang adik untuknya.     

"Kita hanya sedikit berdebat kalau kamu tak akan datang secepat ini, karena terlalu malam jadi aku memutuskan untuk pulang. Tapi Raffa mencegah, katanya tunggu sebentar lagi dan kamu pasti datang." Dusta! Dalam dusta gadis itu mampu tersenyum baik. Seakan pandai adalah kata yang disandangnya kala sedang menyembunyikan suatu hal dari hadapan publik.     

"Raffa sepertinya mengenal baik kakaknya. Kalian pasti semakin hari semakin dekat," imbuhnya berjalan mendekat pada Adam. Merangkul tangan sang kekasih sembari terus tersenyum pada dua remaja berwajah identik itu. Tidak, Davira tidak berniat untuk memanaskan hati remaja jangkung di depannya itu. Davira hanya ingin menegaskan padanya bahwa apapun yang terjadi Davira Faranisa adalah milik Adam Liandra Kin, bukan Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Tentu. Kita adalah saudara yang kompak!" Adam berujar dengan nada antusias. Mengusap puncak kepala remaja yang masih berdiri mematung tak mampu berucap apapun saat ini.     

"Ngomong-ngomong kenapa kamu datang ke sini?" Adam mengalihkan pembicaraan. Menoleh pada gadis yang baru saja tersenyum ringan pada sang adik.     

"Katanya kamu mau jenguk mama tiri kamu, kenapa malah berpakaian begitu? Gak jadi jenguknya?" cecar remaja itu pada sang kekasih. Penampilan Davira malam ini benar-benar aneh dengan suasana yang tak mendukung.     

"Aku akan jelaskan nanti. Bisa kita ngobrol berdua di taman belakang?" pintanya memohon. Menggoyangkan tangan remaja jangkung yang tersenyu ringan padanya. Menganggukkan kepalanya setuju untuk mengiyakan permintaan dari sang kekasih.     

"Kamu ke sana dulu, aku mau melepas jaket dan berganti baju," pungkasnya menutup kalimat dengan tegas. Mengusap helai demi helai rambut Davira kemudian mulai berjalan meninggalkan gadis di sana. Naik ke lantai atas untuk sejenak menyambangi kamar pribadi dengan menaikki satu demi satu anak tangga yang menjadi pijakknya sekarang ini.     

Davira menatap kepergian sang kekasih. Perlahan senyumnya memudar seiring dengan punggung Adam yang menghilang selepas pintu kamar samar terdengar tertutup. Ia menoleh, menatap Raffa yang masih memaku di tempatnya.     

"Kakak pandai berbohong dengan ekspresi wajah itu." Raffa menyela. Berjalan mendekat pada Davira yang tegas mengubah raut wajah bahagianya.     

"Aku menyelamatkan kamu, itu cara kamu berterimakasih?" ucapnya berkelit. Sejenak menyeringai kemudian mengalihkan tatapannya menatap lantai atas tempat kamar pribadi Adam berada. Memastikan bahwa ia masih punya waktu untuk mengatakan ini.     

"Mungkin lain kali, aku tak bisa menyelematkan dan berbohong untuk kamu. Jika Adam tau tentang perasaan kamu, kamu sendirilah yang akan rugi nantinya."     

Davira sejenak menghentikan suaranya. Mendekatkan wajahnya pada telinga remaja di depannya. "Jadi bersikaplah hati-hati dan jangan ceroboh juga bodoh," bisiknya kembali menarik wajah untuk menjauh dari Raffa. Tersenyum tipis kemudian menepuk ringan pundak Raffa dan melangkah meninggalkannya pergi.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.