LUDUS & PRAGMA

25. Dua Remaja Tampan Yang Bodoh



25. Dua Remaja Tampan Yang Bodoh

0Bel nyaring berbunyi. Seakan mengiringi langkah gadis yang baru saja keluar dari dalam kelasnya. Pergi berjalan beriringan dengan si teman sekelas yang tak asing lagi wajahnya untuk Davira Faranisa. Gadis bersurai panjang lurus berwarna pekat yang apik menyelimuti hingga jatuh tepat di atas punggungnya itu adalah orang yang menjadi peneman kalau Davira sedang tak bersama Adam, Rena, ataupun Arka Aditya. Dia adalah Davina Fradella Putri. Gadis baik dengan senyum ramah yang merekah hebat kalau ia sedang berbicara dengan lawan mainnya. Jikalau Davira dikenal dengan sikap dingin dan tak acuh serta tak pernah mau memperdulikan apa kata orang-orang di sekitarnya, maka Davina adalah kebalikan dari semua itu. Gadis itu memang tak seratus persen adalah si baik hati yang memiliki hati suci nan bersih. Namun, ia berusaha melakukan yang terbaik kalau sedang berada di depan publik. Tersenyum ramah, berbicara dengan nada sopan, dan terbuka pada orang-orang yang ingin datang berteman dengannya.     
0

"Lo mau ke kantin?" Davina bertanya dengan nada lirih. Menoleh pada Davira yang hanya mengerang ringan. Tak asing untuk Davina jikalau kalimatnya hanya mendapat respon tak sesuai harapan seperti itu, sebab ia sudah lama berteman dengan Davira Faranisa.     

"Lo bisa duluan, gue mau mampir ke ruang basket dulu." Ia mengimbuhkan. Membuat Davira menoleh sembari terus memberi tatapan pada gadis yang menjadi lawan bicaranya itu.     

"Kenapa? Jangan bilang lo mau ikut lagi?" ucapnya menebak asal. Tersenyum miring kemudian kembali memalingkan wajahnya.     

Davira menggeleng. "Sekolah bukan tempat yang tepat untuk berpacaran 'kan?" tuturnya tertawa singkat.     

"Segitunya lo berubah sekarang. Dulu lo hampir gak pernah datang ke ruang basket tanpa tujuan yang jelas, sekarang lo ngajak ke sama melulu." Davina memprotes. Menyenggol bahu si teman yang hanya ikut tertawa kecil untuk mengimbangi.     

Benar, jikalau dibandingkan rasanya pada Adam Liandra Kin sudah berbalik 180 derajat sekarang ini. Jika dulu Davira menyingkir dan membenci, sekarang ia begitu merindu sebab mencintai. Waktu benar-benar mengubah segalanya.     

"Davira!" Seseorang menyela. Memanggil ke arah gadis yang dipaksa untuk menoleh selepas menyelesaikan obrolannya dengan Davina.     

"Arka?" Lirih Davina berucap. Selepas menoleh dan menatap kedatangan remaja yang berlari ke arah mereka, ia memindah fokusnya. Menatap Davira yang kembali berjalan seakan tak acuh dan tak mau tau mengenai kedatangan remaja jangkung berponi naik itu.     

"Kalian berantem lagi?" tanya Davina menyela langkah.     

"Kalau dipikir, Arka gak ada di kelas tadi pagi. Jadi lo duduk sendirian, lo berantem sama dia karena—"     

"Jangan ikut campur," sela Davira melirih. Tak mau mengubah arah pandang atau menghentikan langkahnya sekarang ini.     

Davina berdecak. Kembali menoleh ke belakang untuk menyambut kedatangan Arka baru saja.     

"G--gue pergi dulu," ucap gadis berponi tipis itu kemudian. Seakan paham dengan kode isyarat yang diberikan oleh Arka beberapa waktu selepas ia memelankan langkahnya untuk mengiringi sepasang kaki jenjang milik Davira dari belakang.     

"Lo mau kemana? Ruang basket masih belok di depan." Davira menarik tangan gadis yang ada di depannya. Tak ingin Davina berlaku curang dengan memihak Arka sekarang ini.     

"Gue mau ke toilet," tuturnya lembut. Melepas tarikan Davira dengan gerakan ringan kemudian tersenyum manis.     

"Nanti gue nyusul," pungkasnya penutup kalimat. Kali ini benar pergi dan memutar langkahnya untuk meninggalkan Davira juga Arka di sana.     

Gadis itu kembali berjalan lurus ke depan. Tak acuh dengan remaja yang kini mulai mengikuti alunan langkah yang diciptakan oleh sepasang kaki jenjangnya.     

"Lo masih marah sama gue?" Arka mulai menyela. Mengumpulkan segala keberanian untuk bersua dengan amarah Davira saat ini. Selepas berpisahnya mereka kemarin, keduanya tak lagi saling mengontak. Hanya diam dan mendiamkan seakan bukan hanya Davira saja yang marah, namun juga Arka Aditya.     

"Davira ...." Arka merengek. Menyenggol bahu sang sahabat yang masih kokoh tak bergeming sedikitpun.     

"Maafin gue oke? Gue gak bermaksud bilang lo adalah gadis yang jahat. Gue cuma spontan aja. Lo tau 'kan kadang mulut gue gak bisa dikontrol kurang ajarnya," tuturnya menjelaskan dengan kalimat panjang miliknya. Masih kokoh untuk mencoba membuat gadis yang ada di sisinya itu sejenak kau menoleh atau kalau-kalau beruntung menjawab kalimatnya dengan kata singkat.     

"Gue janji akan lebih berhati-hati dan mendukung semua yang lo katakan."     

Davira masih diam. Terus menatap ke depan dengan langkah kaki yang semakin tegas dipercepat. Bagaimanapun caranya ia hanya ingin pergi juga menjauh dari Arka Aditya saat ini. Bukannya benar membenci, Davira hanya tak mau kalau adegan marahnya akan gagal semudah itu hanya sebab rayuan dan bujukan dari sang sahabat.     

"Gue janji gak akan bandel dan rewel lagi!" tukasnya sedikit meninggikan nada bicaranya. Menggoyangkan tangan gadis yang ada di sisinya.     

"Gue janji gue gak akan pernah ikut campur ke dalam urusan lo. Gue akan selalu mendukung semua yang lo putuskan." Arka kembali merengek. Kali ini ia rasa Davira benar-benar marah besar dengan apa yang dikatakan olehnya kemarin. Bodoh benar dirinya itu. Bagaimana bisa ia masih tak mengerti Davira meskipun bertahun-tahun ada di sisi gadis itu untuk menemani kehidupan Davira Faranisa sebagai seorang sahabat baik.     

"Gue janji gue—"     

"Dia sepertinya sangat marah sama lo. Kenapa lo mengusik orang yang sedang marah?" Seseorang menyela dengan tegas. Berjalan dari sisi belokan lorong untuk mendekat pada dua remaja sebaya yang baru saja menghentikan langkahnya.     

"Ah, sialan. Lo lagi," paparnya dengan nada lirih. Membuang wajahnya untuk tak menatap Adam Liandra Kin. Bagi Davira juga kaum hawa, mungkin paras Adam tergolong sempurna dengan tampan dan mempesona adalah diskripsi wajah itu. Namun bagi Arka melihat Adam sangatlah menjengkelkan.     

Ia bersyukur kalau sebentar lagi masa bersama Adam sebagai anggota tim basket akan usai. Tak ada lagi saling menghormati dan toleransi antar anggota di antara keduanya. Juga, Arka tak perlu bertemu dan berbicara dengan Adam lagi.     

"Pacar gue keganggu." Adam mengimbuhkan. Berhenti tepat di depan Davira yang baru saja mendongakkan kepalanya. Menatap paras tampan dengan senyum indah yang merekah menghiasi.     

"Ini urusan gue sama Davira. Meskipun lo adalah pacarnya, tapi lo gak berhak untuk ikut campur urusan pribadi dia." Arka menyela. Ikut berjalan dan melangkah berdiri di sela-sela Adam juga Davira Faranisa.     

Posisi seperti ini, Davira membencinya! Sebab pertengkaran dan adu mulut akan terjadi setelah ini.     

"Lo emang sahabat yang gak tau diri. Bisa-bisanya lo bilang kalimat jahat seperti itu."     

"Bukan urusan lo," sahut Arka menimpali.     

"Jadi biarkan gue selesaikan masalah gue sendiri tanpa campur tangan orang asing."     

Adam tersenyum ringan. "Orang asing?"     

"Oh! Rena! Gue di sini!" Davira menyela keduanya. Antusias suara terdengar dengan lambai tangan ringan dan senyum mantap menghiasi paras cantiknya. Mengabaikan dua remaja yang menoleh padanya dan berjalan menjauh meninggalkan Arka juga Adam. Menghampiri gadis yang ikut melambai dari kejauhan.     

"Davira mengabaikan gue?" lirih Adam berbicara.     

"Semuanya gara-gara lo." Arka menyahut. Berdecak ringan kemudian pergi meninggalkan Adam di tempatnya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.