LUDUS & PRAGMA

6. Kuasa Senja



6. Kuasa Senja

0°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     
0

Percaya atau tidak, semesta pasti akan mengambil semua orang yang amat kita cintai satu persatu suatu saat nanti. Lucunya, meskipun tau akan hal itu aku pasti akan menangis dan mengutuk semesta.     

°°°°°°°°°° LudusPragmaVol2 °°°°°°°°°°     

Ada satu yang aku pelajari selama hidup di dunia sebagai seorang gadis berlatar belakang labil dalam psikologi dan tak tentu dalam emosi, bahwa Dunia bukan kejam. Hanya kita saja yang lemah dan payah menghadapi setiap cobaan juga kejutan yang diberikan Semesta untuk 'menertawai' hambanya jikalau salah dan kalah dalam bertindak. Namun, jika kita menang, jangan menyombong dan mengutuk semesta sebab kita tahu kalau semesta itu sebenarnya adalah pendendam yang labil.     

Tatapan matanya mengudara. Menatap langit gelap berwarna biru tua dengan taburan bintang di atasnya. Bukan mendung akan turun hujan seperti kemarin, namun larut akan segera tiba sebentar lagi. Itu sebabnya Davira Faranisa memilih berpamitan pada Rena untuk menyudahi kunjungan singkatnya malam ini. Berbicara ini itu tak tentu arah topik pembicaraan juga alur obrolan mereka. Hanya berbasa-basi. Seakan tak ingin hening dan sepi datang membentang yang membuat canggung hadir menantang keberadaan tiga remaja yang tak bisa dibilang asing lagi.     

Aneh memang kalau dikata dan ditelisik dengan benar, setiap hari bahkan tanpa jeda dan celah Rena dan Davira bertemu. Berbincang akrab dengan sela tawa ringan untuk me-rileksasikan suasana yang ada, namun seakan bahan tak pernah habis dan selalu ada. Mereka tak pernah memberi sepi dan hening untuk datang dan memisah keakraban di antara mereka berdua. Memang, benar adanya! Kalau sudah akrab dan nyaman satu sama lain, mau seberapa banyak dan lamakah durasai pertemuan kedua gadis itu, tak akan pernah cukup untuk melupakan rasa bahagia dan rindu satu sama lain.     

Davira tak pulang sendirian malam ini. Di dalam bus kota yang mengangkut tubuhnya untuk kembali ke rumah ada Arka Aditya. Sahabatnya itu datang ke rumah Rena tak menggunakan moge kesayangannya sebelum ini. Jadi, kata Arka memberi alasan pada Rena ia akan ikut pulang bersama Davira hitung-hitung sekalian menemani dan menjaga sahabat kecilnya sebab larut hampir datang. Tak baik kalau gadis perawan pulang sendirian malam-malam begini.     

Rena tak membantah. Toh juga, untuk apa dia menahan Arka untuk tetap berada di rumahnya?     

"Habis ini lo beneran pulang?" tanya Arka menyela. Memecah keheningan yang ada di dalam bus kota sebab penumpang yang ada di dalam bisa dihitung dengan jari tangan. Tak usah heran! Sebab larut mau datang, maka tak banyak penumpang bus malam ini. Bisa dikatakan mau melakukan apapun di dalam bus sekarang, tak akan ada yang menegur sebab semua penumpang terlihat duduk bersama lelahnya masing-masing.     

"Memangnya gue mau ke mana?" Davira menyahut. Memindah fokus yang tadinya menatap langit gelap melalui jendela persegi berukuran kecil yang ada di sisinya kini menatap remaja tampan yang duduk berhimpit dengannya.     

"Ketemu Adam lagi misalnya." Remaja itu berkelit. Mengangkat satu sisi bahunya sembari tersenyum kecut.     

Davira menyeringai. Samar tertawa lirih dan singkat untuk mengekspresikan betapa lucunya pernyataan dari sang sahabat barusan itu.     

"Kenapa gue harus ketemu Adam malam-malam begini?"     

"Karena lo adalah pacarnya." Dengan tegas suara bariton menjawabnya. Sejenak terhenti kala dua pasang lensa indah milik Davira Faranisa dan Arka Aditya saling beradu dalam satu titik.     

"Mungkin aja lo kangen sama dia." Arka mengimbuhkan. Memalingkan wajahnya agar tak lagi bertatap dengan sang sahabat.     

"Jujur aja, lo gak pernah berdamai dengan Adam 'kan?" Gadis berambut panjang itu menelisik. Menarik dagu sahabatnya yang baru saja membulatkan mata sejenak. Sigap melepas jari jemari sang sahabat yang kuat menempel di atas dagu lancip miliknya.     

"Sebenarnya apa yang buat kalian bertengkar? Karena gue? Bukankah gue udah tegaskan dua tahun lalu ... kalian adalah orang penting dalam hidup gue dengan kursi yang berbeda. Jangan mencoba mengambil kursi atau tempat duduk orang lain, itu akan mengacaukan segalanya. Kalian gak paham dengan perumpamaan itu?" Davira kini menggerutu. Jujur saja kalau gadis itu sedikit jengkel dan muak jikalau hampir setiap hari harus mendengar kabar pertengkaran antara Adam Liandra Kin dengan Arka Aditya. Meskipun bukan pertengkaran dalam arti yang sesungguhnya, namun tetap saja Davira terkadang lepas dari batas kesabaran tak bisa mentoleransi apa yang dilakukan oleh dua remaja jangkung itu.     

Davira hanya ingin Arka menyudahi dendamnya dengan Adam, begitu juga sebaliknya. Ia hanya ingin semua berjalan dengan baik-baik saja sekarang ini. Tak ada yang berselisih paham atau saling menyimpan dendam dan benci.     

"Lo sendiri, lo bisa berdamai sama Kayla?" Remaja jangkung dengan jaket hitam tebal yang membalut tubuhnya kini menimpali.     

Boomerang! Davira tak pernah belajar benar akan kata 'boomerang' di sini. Segala pertanyaan dan pernyataan yang lolos dari celah bibirnya selalu saja mendapat balasan yang membuatnya bungkam tak mampu banyak berkata apapun sekarang ini. Ibaratkan saja seperti, Davira Faranisa sedang melempar boomerang untuk menghabisi musuhnya alih-alih menembakkan peluru yang ada di dalam pistol.     

"Urusan kita beda."     

"Beda? Apanya?" sela Arka memotong. Menatap gadis yang kini kembali menatap ke arah luar jendela.     

"Apa yang membuat lo berselisih dua tahun lamanya sama Kayla? Bahkan, kalian gak pernah berbicara dalam dua tahun terakhir. Gara-gara Adam 'kan?!"     

"Davira! Hubungan gue sama Adam lebih baik dari pada hubungan lo sama Kayla Jovanka." Arka memungkaskan kalimatnya. Menggerutu kesal pada sahabat yang masih diam bungkam sembari sesekali menghela napasnya kasar.     

"Gue bukannya gak mau bicara, tapi gue terlalu malas untuk melakukannya." Lirih suaranya kini menyahut. Sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras tampan milik Arka.     

"Apa bedanya sama gue sekarang? Jadi berhenti nyuruh gue baikan sama Adam." Arka menutup kalimat. Kembali memutar serong tubuhnya untuk bisa benar menghadap ke depan. Menatap jalanan yang kini mulai senggang selepas pusat kota mereka lalui. Tinggal beberapa meter lagi, mereka akan turun ke halte tempat biasa Davira menunggu bus kalau ingin pergi sendiri.     

"Lo pikir gue bisa baikan sama Kayla?" Gadis itu kembali menyela. Menoleh pada Arka yang tiba-tiba saja menatap dirinya selepas kalimat ambigu terdengar sumbang masuk ke dalam lubang telinganya.     

"Apa maksud lo? Kenapa tatapan lo jadi begitu?" tanya Arka menunjuk paras gadis dengan tatapan sayu sedikit sendu.     

"Gue hanya ... hanya terkadang bosan hidup seperti ini. Selalu ada rasa khawatirnya untuk apa yang akan terjadi besok pagi. Gue pengen, gue hanya memikirkan apa yang terjadi hari ini dan kalau malam datang seperti ini, hanya ada rasa bahagia dan nyaman untuk menutup hari."     

Arka terdiam sejenak. Suara Davira terdengar begitu sayu. "Kalau sekarang, lo sedang tidak bahagia?"     

Gadis di sisinya menoleh. "Hm. Gue khawatir sekarang."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.