LUDUS & PRAGMA

8. Gundah Gelap Gulana



8. Gundah Gelap Gulana

0"Makasih karena udah nganter gue sampai depan rumah. Sekarang lo bisa pergi. Mama mungkin udah tidur, jadi gak perlu menyapa." Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Davira Faranisa untuk mengiringi kepergian sang sahabat yang hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya ringan. Tak banyak membatah atau memaksa untuk mampir berkunjung seperti biasanya. Mengingat ini sudah larut. Jarum jam menunjuk ke angka sembilan lebihnya 30 menit. Benar kata Davira, mungkin saja mamanya sudah terlelap malam ini.     
0

Perpisahan Arka juga Davira Faranisa tak sebaik dugaan. Selepas Arka melayangkan kalimat yang sukses membuat sahabatnya bungkam tak mampu menyanggah atau banyak berkata-kata lagi, gadis itu mengubah topik pembicaraannya. Kembali berjalan ringan dan hanya berbas-basi sesekali terdiam untuk membuat celah. Tak ada yang istimewa dari pembicaraan mereka sebelum ini, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan atau dimasukkan ke dalam pikiran gadis itu saat ini.     

Bukan dusta, namun sebuah kebetulan yang tak disangka Davira. Mamanya ada di sisinya sekarang ini. Duduk di sisi balkon kamar gadis itu sembari menatap luasnya angkasa. Wanita itu tak banyak beralasan untuk bisa menemani putrinya malam ini, dengan penuh kelonggaran gadis itu menyediakan tempat duduk kosong untuk mamanya yang baru saja datang. Menyela dengan segelas susu panas di atas nampan dalam genggamannya. Niat hati hanya ingin menghampiri dan menghantar susunya. Tak ingin mengganggu sang putri yang mungkin saja lelah sebab beraktivitas seharian. Akan tetapi siapa sangka kalau Davira lah yang memberi penawaran bagus malam ini. Mamanya boleh menemani sampai larut datang dan lelah serta kantuk dirasa olehnya.     

"Davira udah gede mama. Gak perlu ngirim susu lagi. Mama bisa istirahat kalau malam datang. Kenapa merepotkan diri dengan—"     

"Bagi mama kamu adalah gadis kecil yang suka merengek dan merajuk!" Diana menyela. Tersenyum ringan sembari mengusap pipi sang putri. Memicu reaksi sama dari gadis yang kini mengembangkan senyum manis di atas paras cantiknya.     

Davira sudah pandai bersolek. Memadu-madankan make up untuk menunjang penampilannya sekarang. Jadi, bisa dikatakan bahwa gadis itu benar-benar suda dewasa sekarang ini.     

"Belakangan ini kamu terlihat resah. Ada masalah yang terjadi di sekolah?" Diana kembali membuka mulutnya. Benar juga, sesibuk apapun mamanya itu, wanita itu tetap saja seorang ibu. Kata orang, seorang ibu mempunyai insting yang bagus akan apa yang terjadi pada anaknya hari ini. Bukan dari gerak gerik saja, tebakan seorang ibu akan lebih manju dari para dukun imitasi hanya dari tatapan mata sang anak. Jadi, percuma saja Davira dusta dengan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.     

"Resah?" Davira sedikit berbasa-basi. Menarik-narik janggut lancipnya sembari sesekali mengudara dalam menatap semesta.     

"Mungkin karena sebentar lagi ujian akhir semester satu." Davira menolak untuk berbicara banyak kali ini. Mengatakan bahwa ia sedang dilanda perasaan ragu untuk sang kekasih pada mamanya, hanya akan membebani wanita yang sudah menghidupinya selama 19 tahun lamanya itu.     

"Hanya itu? Mama kira kamu gak pernah mempermasalahkan hal itu. Mau mama carikan guru les privat? Jika tak suka di tempat asing, mama akan carikan guru yang mau datang ke rumah."     

Sial! Alasan Davira tak tepat kali ini. Gadis itu membenci kelas tambahan di luar kelas utamanya sebagai seorang siswi Sekolah Menengah Atas Amerta Bintari.     

"Itu akan merepotkan mama. Membayar biaya kuliah Davira saja nanti, mungkin akan membuat mama berkerja lebih dari ini."     

Diana tertawa kecil. Mengusap punggung gadis yang berusaha menjadi wanita dewasa seusia dengannya. Davira banyak berubah. Bukan hanya pasal fisik, bagi Diana putrinya itu juga banyak berubah dari segi sikap dan pola berpikir. Bisa dikatakan gadis itu lebih dewasa sekarang.     

"Mama adalah wanita kaya. Jangan khawatirkan Sola uang," katanya dengan nada menyombong. Bukan sombong yang sebenarnya, Diana hanya ingin bergurau dengan sang putri sekarang ini. Kesibukan membuatnya sedikit lebih jauh dari masa remaja dan pubertas yang dialami oleh Davira selama satu tahun terakhir.     

"Karena gila kerja," timpal Davira menggerutu.     

"Mama jangan gila kerja. Kalau mama sakit, Davira akan repot." Gadis itu kembali mengimbuhkan. Sukses mencuri perhatian Diana yang kembali tertawa ringan mendengar kalimat dari putrinya. Satu sifat yang dibawa oleh Davira dari sang papa adalah jujur dan apa adanya. Hati gadis berambut panjang dengan ujung ikal bergelombang itu murni dan polos. Hanya saja, ada luka di dalam. Entah luka itu benar sudah sembuh atau Davira hanya menguburnya saat ini. Suatu saat nanti, jika orang jahat datang dalam hidupnya mungkin saja luka itu akan kembali digali dan dirasakan oleh Davira Faranisa. Terlepas dari semua luka yang disebabkan oleh kebodohannya juga sang mantan suami, Diana hanya ingin terus menjaga putrinya dan melihat gadis itu tumbuh menjadi seorang wanita yang hebat nantinya.     

"Arka gimana?" sela Diana mengubah topik pembicaraan. Membuat sang putri menoleh dan menatapnya sekarang ini.     

"Gimana apanya?"     

"Dua minggu mungkin lebih, mama gak pernah lihat dia lagi. Sesibuk itu 'kah?" Diana mengernyitkan dahinya samar.     

"Dia latihan basket untuk lomba terakhirnya. Setelah itu dia akan purna tugas. Katanya dia akan berusaha sebaik mungkin agar meninggalkan jejak terakhir yang memukau."     

Davira menghentikan sejenak kalimatnya. Menatap jauh ke depan dan mendesis ringan. "Tapi ... Davira yakin itu hanya bualan dan omong kosong. Arka sedang dekat dengan gadis sekarang ini."     

Diana terperanjat. Menatap sang putri dengan tatapan ketidak percayaan saat ini. "Arka punya pacar?!"     

"Masih belum. Tapi Davira yakin pasti mereka akan pacaran nanti. Waktu mendekatkan dan membuat mereka mengenal dengan baik satu sama lain. Seperti teman dalam hubungan yang lebih dalam lagi," kekehnya menatap sang mama.     

"Kamu bahagia kalau Arka benar meninggalkan kamu dan bersama gadis lain?"     

"Maksud mama?" Tawa ringan yang baru saja diciptakan oleh gadis itu kini terpaksa berhenti. Kalimat yang diucapkan Diana baru saja terdengar begitu rancu dan ambigu.     

"Ketika seorang laki-laki mendapatkan cintanya, cenderung dia akan melupakan hal yang tak begitu penting untuknya. Bahkan terkadang itu sahabat sekalipun. Sebab cinta bagi seseorang yang sedang merasakannya adalah hal terindah dan harus diutamakan." Diana menjelaskan. Menatap sang putri yang kini sejenak terdiam sembari terus memberi tatapan fokus padanya.     

"Kamu sepertinya belum siap kehilangan itu."     

"Davira juga mencintai Adam, tapi Davira gak meninggalkan Arka."     

"Kamu yakin kamu gak meninggalkan Arka sekarang ini?" Mamanya kembali menyahut. Dengan nada melirih mencoba untuk membuat Davira menyadari satu hal, bahwa bukan hanya janji yang dikhianati oleh gadis itu sekarang ini. Namun juga persahabatan mereka.     

"Kamu lebih sering bercerita tentang Adam ketimbang Arka sekarang. Kamu lebih sering bersama Adam dan menghabiskan hari bersamanya."     

"Davira ...." Diana meraih bahu anak perempuannya. Menatapnya dengan dalam sembari tersenyum ringan.     

"Semakin dewasa, akan banyak hal yang kamu korbankan nantinya. Termasuk ego dan beberapa rasa bahagia. Sebab merengkuh semua kebahagiaan adalah tindakan yang serakah. Terkadang kita perlu untuk menangis dan tak harus tertawa juga tersenyum selalu."     

"Kenapa mama ngomong itu?"     

"Karena tatapan mata kamu sekarang seakan mengatakan bahwa kamu ingin mengatakan sesuatu sama mama. Resah itu ... mama bisa merasakannya juga. Jadi katakan apa yang ingin kamu katakan. Memendam semuanya tak akan banyak memberi manfaat untuk kamu, sayang."     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.