LUDUS & PRAGMA

10. Suara Hati



10. Suara Hati

0Menyakitkan, tentunya melihat gadis lain menyukai sang kekasih dan menyatakan cintanya di depan umum akan terasa begitu menyakitkan untuk Davira Faranisa. Selama satu tahun terakhir, ia selalu memendam perasaan aneh itu. Tak ingin Adam mengetahui dan membuat permasalahan timbul di antara mereka berdua. Davira begitu mencintai Adam Liandra Kin, dan ia sangat berharap bahwa remaja jangkung yang kini berjalan tegas mengiringi irama langkahnya itu juga merasakan hal yang sama. Meskipun setiap pengakuan cinta dari pada gadis yang menyukai Adam tak pernah diindahkan oleh remaja itu, namun tetap saja. Melihat dan mengetahui fakta bahwa sang kekasih disukai oleh banyak gadis sebaya usia bahwa lebih tua juga muda terkadang kali membuat hati Davira Faranisa benar-benar tersayat.     
0

"Gimana sama kunjungannya kemarin malam? Aku menunggu telepon dari kamu, sampai ketiduran." Adam menyela. Menatap sang kekasih yang kini mendongakkan pandangannya sembari tersenyum aneh. Ah, benar! Panggilan itu. Davira lupa untuk melakukannya. Percakapan ringan dengan sang mama untuk menyambut datangnya tengah malam benar-benar mengasyikkan dan membuatnya terbuai. Sejenak melupakan bahwa yang diajaknya berbincang kemarin malam adalah sang mama, bukan perempuan berusia sama dengan dirinya.     

Mamanya adalah wanita pandai yang selalu saja membuat Davira nyaman dengan kalimat-kalimat miliknya. Meskipun kadang terdengar kuno dan monoton, namun kalimat itu memiliki arti dan makna yang begitu mendalam juga indah. Tepat dirasakan dan dicerna sebagai 'wejangan' baik kala masalah sedang datang menimpa.     

"Maaf. Setelah pulang dari rumah Rena, aku mengobrol dengan mama. Sampai lupa kalau kita ada janji untuk saling memberi kabar," timpalnya tersenyum kuda.     

Adam mengangguk. Semakin tegas mengembangkan senyum yang ada di atas bibir merah mudanya sembari mengusap puncak kepala gadis yang ada di sisinya. Mengabaikan beberapa pasang mata yang sesekali melirik ke arah keduanya. Bukan pemandangan yang asing memang, namun tetap akan terasa sedikit lain mengingat mereka hampir tak pernah mengubar kemesraan seperti ini.     

"Ngobrol sama mama? Ngobrol apa?" tanya Adam dengan nada ringan.     

"Banyak, tapi semuanya hanya basa-basi." Gadis itu berdusta. Mengakhiri kalimat dengan senyum tipis. Ia sebenarnya benar-benar tak ada niat untuk banyak berdusta pada sang kekasih, namun apa boleh buat? Davira tak ingin memperbanyak masalah yang membebani hatinya nanti. Cukup hanya dirinya dan sang mama lah yang tahu juga Tuhan yang mampu menyaksikan percakapan macam apa yang dilakukan oleh Davira juga Diana kemarin malam.     

"Ngomong-ngomong, kamu pulang dengan apa kemarin? Bus atau taksi?" Adam kembali memulai kalimat. Tak ingin hening membentang untuk mengiringi langkah keduanya sekarang ini.     

"Bus dengan Arka. Dia ada di rumah Rena kemarin, jadi kita pulang bareng," jawabnya dengan tegas. Terus menatap jalanan lorong yang kini mulai menampilkan pintu kelas tempatnya akan singgah dan berpisah dengan sang kekasih hati.     

"Arka?" Adam mengulang. Sedikit terkejut kala nama itu disebut untuk menambah daftar panjang kalimat penjelasan dari Davira barusan itu.     

"Sudah kukatakan untuk tidak terlalu dekat dengan Arka. Ada Rena sekarang, kalau dia salah paham kalian bisa bertengkar nanti."     

"Rena bilang dia gak menyukai Arka. Mereka hanya berteman sekarang ini. Toh juga, kita hanya pulang bersama sebab kita satu arah." Davira menjelaskan. Mendongakkan kepalanya untuk menatap Adam yang baru saja menghela napasnya kasar. Berat, bagi Adam ini sangat berat! Dua tahun bersama Davira tak membuatnya benar-benar yakin bahwa gadis itu adalah miliknya seutuhnya. Ada Arka yang tersimpan baik di dalam hati Davira Faranisa. Bukan hanya nama Adam Liandra Kin sang kekasih saja.     

"Segitunya kamu gak suka sama Arka?" protes Davira dengan nada melirih. Mendesah di bagian akhir kalimat untuk mengekspresikan betapa berat hati ia sekarang ini. Mendamaikan Adam dengan sang sahabat, tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Fakta dari semuanya, gadis itu sudah berusaha dua tahun lamanya, namun hasil tetap saja nihil tak membuahkan apapun. Adam tetap dengan pendiriannya, begitu juga sang sahabat, Arka Aditya.     

"Hm. Arka juga pasti akan menjawab gitu 'kan?"     

Davira kini terkekeh kecil. "Kalian mirip dua anak laki-laki yang berebut mainan mobil mahal," ucap gadis itu memberi perumpamaan. Remaja di sisinya ikut tersenyum manis. Mengusap kasar puncak kepala Davira yang kini menengus kesal. Menghentikan langkahnya kala tersadar bahwa ia sudah berada di depan pintu kelasnya. Menoleh menatap Adam yang terpaksa harus berpisah dengan kekasih pagi ini. Sejenak menyudahi obrolan ringan di antara mereka berdua.     

"Kalian mirip pasangan suami istri sekarang." Seseorang menyela. Menarik perhatian keduanya yang kini menoleh bersamaan. Ditatapnya paras cantik seorang gadis berponi miring yang berjalan dan terhenti tepat di sisi Davira.     

"Lo baru datang jam segini?" Davira menyahut. Melirik jam kecil cantik yang dibelikan oleh Adam beberapa minggu lalu. Lalu kembali menaikkan pandangan agar bisa menatap dengan benar paras cantik Davina Fradella Putri.     

"Gue datang dari tadi pagi. Gue mampir ke ruang basket dulu, ada yang harus yang diurusin." Gadis itu menjelaskan dengan singkat. Menutup kalimat dengan senyum ramah yang menghias di atas paras cantiknya.     

"Kalau gitu, aku pergi ke ruang basket dulu." Adam menyela. Mengusap rambut panjang milik Davira kemudian sejenak tersenyum pada Davina yang membalas dengan lengkungan bibir yang sama. Keduanya kini membiarkan Adam Liandra Kin pergi. Menjauh dari hadapan mereka untuk menyambangi tempat yang disebutnya sebagai markas utama selepas lelah menjemput panas dan letih.     

Davira menatap kepergian sang kekasih, tersenyum ringan kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam kelas. Diikuti dengan langkah kaki jenjang milik Davina yang mengekori dari belakang, ikut terhenti di sisi meja tempat Davira bisa meletakkan tas punggung bawaannya dan duduk di atas kursi dengan tempat kosong yang ada di sisinya sebab Arka selalu tak datang kalau latihan masih dilaksanakan di tengah lapangan basket. Tak ada yang berubah. Arka tetap menjadi sahabat baik yang tersimpan di dalam hati juga berposisi menjadi teman sebangku Davira Faranisa.     

"Gue duduk di sini, boleh 'kan?" Davina menyela. Menarik perhatian gadis yang baru saja tersadar kalau Davina mengikuti langkahnya sebelum ini.     

"Gak duduk di tempat lo?"     

Keduanya kini salin diam sejenak. Menatap satu sama lain sebelum akhirnya Davira memberikan persetujuan atas apa yang diminta oleh teman dekatnya satu ini.     

"Ngomong-ngomong, lo lihat tadi?"     

Davira terdiam. Membungkam mulutnya sebab tak mengerti apa yang dikatakan oleh Davina.     

"Ada cewek yang nembak—"     

"Hmm, gue lihat. Kenapa emangnya?"     

"Lo gak marah?" tanya Davina dengan nada melirih.     

"Tentu gue marah, karena Adam adalah milik gue. Tapi buat apa memancing keributan dan membuat masalah di antara kita? Gue gak mau hubungan gue berantakan karena hama seperti itu."     

"Segitunya lo suka sama Adam?"     

Davira terdiam sejenak. Menatap gadis yang ada di sisinya. "Hm, sangat suka. Apapun yang menjadi milik gue ... gak akan pernah gue bagi ke orang lain."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.