LUDUS & PRAGMA

11. Suasana Sanubari



11. Suasana Sanubari

0"Datanglah ke taman belakang sekolah setelah bel istirahat kedua berbunyi. Aku membawakan makan siang yang enak untuk kamu dari mama." Pesan singkat itulah yang memicu langkah kaki jenjang milik Adam Liandra Kin untuk datang dan menyambangi tempat dengan suasana tak terlalu ramai sebab hanya ada beberapa teman sebaya yang datang berkunjung. Istirahat kedua adalah jam paling nikmat untuk mengisi perut selepas letih separuh hari menjalani aktivitas. Semua teman Adam datang ke kantin di sisi kantor guru untuk melepas lelah dan mengisi kembali tenaga juga energi yang hilang habis terkuras bersama tetesan keringat yang turun membahasi tubuh mereka. Adam ingin ikut sebelumnya, namun pesan singkat dari kekasih menghentikan segala niatnya. Remaja itu memilih mengikuti interuksi dari kekasih ketimbang ikut serta dan ambil bagian di dalam rombongan pemuda lapar yang ingin menyambangi kantin. Teman-teman tim basket Adam Liandra Kin.     
0

"Kapten Kin!" Suara gadis menyela fokusnya. Menarik perhatian Adam yang kini menoleh sembari menaikkan pandangannya, memasukkan ponsel yang ada pada genggamannya ke dalam saku celana basket yang dikenakannya untuk benar menyambut kedatangan gadis yang amat dicintainya.     

"Aku kira kamu gak akan datang ke sini. Aku lihat teman kamu ke kantin tadi," imbuhnya dengan nada sedang. Duduk di sisi Adam yang menggelengkan kepalanya samar. Tersenyum ringan kemudian meraih tubuh Davira dan memberi rangkulan manja pada gadis itu. Di tempat ini, tak terlalu ramai dan terbuka. Itulah yang menyebabkan Davira hanya diam dan menerima semua perlakuan dari kekasihnya.     

"Gimana bisa aku mengabaikan niat baik kamu dan pergi sama teman-teman aku?" protes remaja itu untuk menyanggah kalimat dari sang kekasih. Mengusap lembut puncak kepala gadis yang kini menyodorkan sekotak makanan yang dibawanya untuk Adam.     

"Dari mama, katanya sayur dengan potongan brokoli adalah makan terbaik untuk mengisi perut dan menjaga tenaga. Kamu terlalu banyak berlatih minggu ini, jadi mama memberi hadiah kecil." Davira menjelaskan dengan nada tegas. Menegaskan apa yang dibawanya merupakan representasi dari kasih sayang mamanya pada Adam.     

Tentang obrolan penutup yang mengharuskan Davira mengatakan hal yang mengganjal dalam hatinya atas pinta sang mama kemarin malam, gadis itu berdusta. Lagi-lagi berdusta pada mamanya untuk menutup kebohongan yang ada di dalam dirinya. Davira mengatakan dengan jelas bahwa yang membuat hatinya resah dan gundah adalah sebab Adam terlalu gila dalam berlatih. Mengasah bakat dan kemampuan juga menempa fisik sebelum benar turun ke medan perang mempertaruhkan harga mahal untuk mendapat hadiah yang tak murah pula. Ia mengimbuhkan juga, kalau Davira tak berdaya. Tak mampu memberi banyak untuk menjaga dan menyenangkan Adam kala fisik sedang lelah dan hati remaja itu sedang gelisah. Dusta itu dipercayai oleh sang mama! Diana menyiapkan semua makan siang istimewa dengan tambahan bumbu cinta dan kasih sayang untuk membantu agar perasaan khawatir yang ada di dalam diri sang putri sirna sekarang ini. Namun, dusta tak mampu mengubah apapun yang ada di dalam hati Davira sebab yang membuatnya khawatir bukan itu, akan tetapi kabar menduanya Adam Liandra Kin.     

"Aku beli minum dulu. Kamu tunggu di sini," tukasnya bangkit. Tersenyum ringan pada sang kekasih yang mengerang ringan sembari mengembangkan senyum manis di atas paras tampan miliknya.     

"Hm, hati-hati."     

Davira melangkah menjauh. Meninggalkan sang kekasih yang masih kokoh duduk di tempatnya. Adam menatap jauh kepergian sang kekasih yang tegas berjalan menyusuri jalanan beralasan rumput hijau di bawahnya. Adam meletakkan kotak makan yang ada di atas pangkuannya, memindahkannya di sisi tempat kosong yang diduduki oleh remaja itu kemudian kembali mengambil ponselnya. Menggeser layar untuk menekan nomor kontak yang menjadi tujuannya untuk mengirim pesan.     

"Kak Adam di sini rupanya!" Tegas suara menyela dirinya. Menarik pehatian Adam yang baru saja ingin mengerakkan jari jemari miliknya untuk menekan beberapa huruf penyusun kalimat pesan yang ingin ia kirimkan pada seseorang.     

"K—kamu ...." Ucapan remaja itu terhenti. Mencoba mengingat paras tak cantik seorang gadis yang kini berdiri tegap di depannya. Di genggaman tangan kirinya ada kotak sekotak cokelat dengan warna merah hati yang terasa begitu familiar untuk Adam Liandra Kin.     

"Kamu gadis yang tadi 'kan?" tuturnya sembari menunjuk meletakkan ujung jari telunjuk miliknya tepat mengarah ke depan wajah gadis yang ada di depannya.     

"Aku cari Kak Adam, ternyata kakak ada di sini," ia menggerutu kesal. Menghela napasnya kasar sebab lelah dirasa selepas mengelilingi sudut sekolah untuk menemukan laki-laki idamannya.     

"Kenapa kamu cari aku. Kita ada masalah atau urusan terten—" Kalimat remaja itu terhenti kala gadis di depannya tiba-tiba saja menyodorkan sekotak cokelat yang ada di dalam genggamannya. Sukses membuat sepasang mata milik Adam membulat sempurna.     

"Tolong terima ini. Aku membelinya dengan harga mahal uang dari hasil tabungan aku, Kak. Tolong hargai itu." Gadis itu kini memohon. Menatap remaja jangkung di depannya dengan tatappan penuh pengharapan.     

"Kamu mengumpulkan uang dan menabung hanya untuk terlihat seperti gadis tak punya harga diri?" Davira menyela, ditatapnya sang kekasih kemudian menoleh menatap gadis super duper berani yang kini lebih pantas jikalau dikatakan sebagai seorang penguntit.     

"Kakak ini siapanya Kak—"     

"Davira Faranisa. Kamu bisa memanggilku sebagai Nyonya Adam!" tukasnya tersenyum aneh. Memberi penekanan di bagian akhir kalimat untuk membuat gadis di depannya itu mengerti.     

"Kak Adam udah punya pacar?"     

"Itu sebabnya kamu jadi gadis gak tau malu sekarang ini," sahut Davira dengan nada ketus. Menyahut kotak cokelat yang ada di dalam genggaman gadis di depannya itu.     

"Aku akan menerimanya karena aku menghargai segala bentuk usaha, meskipun itu usaha yang sangat kotor dan berbau seperti sampah."     

"Davira ...." Adam kini menyela. Tatapan gadis yang ada di sisinya kini mulai lain. Menajam sedikit melukiskan semburat kekesalan sekarang ini. Adam menarik tangan gadisnya itu, mencoba untuk membuat Davira mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk memberi sumpah serapah. Anggap saja gadis itu adalah gadis polos yang tak tahu apapun, hanya datang bermodalkan rasa cinta dan keberanian.     

"Aku membiarkanmu tadi pagi, bukan berarti aku juga akan membiarkanmu siang ini." Davira kasar melepas genggaman tangan Adam yang melunak seiring dengan pengakuan secara tidak langsung dari kekasihnya bahwa ia melihat semua adegan itu.     

"Aku bukan tipe gadis yang suka mengancam dan memberi banyak peringatan, jadi selagi aku masih baik ... pergi dari sini," ucapnya dengan nada lirih. Mengusap ujung rambut gadis yang hanya terdiam mematung sembari terus memberi tatapan pada ekspresi mengertikan milik Davira.     

"Mulut itu bersalah, tangan itu juga bersalah, kaki itu juga—"     

"Davira cukup, kamu menakutinya." Adam kembali menyela. Ia kini mulai paham bagaimana seorang Davira kalau benar-benar marah dan jengkel.     

"Kamu udah tahu jawabannya 'kan, jadi kamu boleh pergi. Aku udah punya pacar."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.