LUDUS & PRAGMA

12. Kasih Penuh Pengharapan



12. Kasih Penuh Pengharapan

0"Kenapa terlalu keras padanya? Dia cuma gak tau aja kalau aku udah punya pacar." Adam menyela. Ditatapnya sang kekasih yang hanya tersenyum miring selepas menatap kepergiaan gadis berwajah polos yang sudah meluapkan emosi dalam dirinya. Davira bukan gadis yang suka mentoleransi kesalahan untuk ketiga kalinya, sebab kedua saja terkadang sudah dianggap oleh gadis itu melampaui batasan.     
0

"Itulah sebabnya kita harus mencari informasi sebelum bertindak agar tidak merugikan siapapun." Davira menyahut. Membuka tutup kotak makan yang ada di dalam genggamannya. Tak acuh pada tatapan Adam yang masih mengarah padanya sekarang ini.     

Adam kini mulai paham, dinginnya Davira dalam menyikapi dunia luar adalah cara gadis itu untuk melindungi diri dan 'apapun' yang menjadi miliknya saat ini. Prinsip bahwa apapun yang dimiliki oleh Davira tak akan pernah mau ia bagi apalagi berikan pada orang lain adalah alasan mengapa gadis itu terkesan begitu sensitif sekarang ini. Davira hanya tak ingin kehilangan Adam. Membuat celah di antara mereka saat ini adalah ketakutan terbesar yang ada di dalam diri gadis itu. Davira ingin hubungannya tetap baik-baik saja. Tak perlu ada kencan mewah, setidaknya hanya perlu kebersamaan dan kepercayaan yang sama besarnya antara satu sama lain. Baginya hal-hal sederhana seperti itu sudah cukup untuk menjaga dan menikmati hubungan yang sedang terjadi saat ini.     

"Segitunya kamu pengen jaga aku?" Adam menggeliat manja. Mencubit pipi sang kekasih yang masih dengan wajah kaku berisi semburat kekesalan dan amarah yang menggebu.     

"Makan ini," selanya mengabaikan kalimat tanya dari Adam. Menyodorkan perkedel kentang yang ada di dalam genggamannya. Memasukkan makanan ringan itu ke dalam mulut sang kekasih yang baru saja membuka lebar untuk menerima apa yang didirikan oleh Davira padanya.     

"Ngomong-ngomong ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Menelan makanan yang memenuhi mulutnya kemudian kembali menatap sang kekasih yang menunggu kalimat lanjutan darinya.     

"Kenapa mama kamu tumben bawain bekal seperti ini. Ada yang salah?" tangannya mengerutkan samar dahi dan menyipitkan matanya. Mencoba menelisik perubahan ekspresi wajah sang kekasih yang masih terbilang dalam kategori normal saat ini.     

Sedikit aneh, bagi Adam bekal ini seperti sebuah kejutan. Mama Davira atau wanita karir yang menjadi single parent itu tergolong wanita sibuk yang bahkan, tak sempat menyiapkan bekal untuk putrinya bawa ke sekolah. Ia hanya sempat menyiapkan sarapan kecil nan sederhana untuk Davira Faranisa, membawakan putrinya bekal adalah keajaiban langka sebab yang ditahu oleh Adam, Diana akan lebih memilih untuk melebihkan uang jajan Davira.     

"Aku kemarin cerita sama mama kalau kamu terlalu banyak latihan, badan kamu jadi lebih kurus dari biasanya. Rona wajah kamu juga terlihat pucat sebab kelelahan selepas latihan sore hari, jadi pikir memberikan ini adalah salah satu dukungan dan pengganti karena aku gak pernah bisa nemenin latihan. Aku juga jarang nonton kamu ber—"     

"Segitunya kamu memperhatikan aku?" Adam menyela. Sedikit menundukkan pandangannya untuk bisa menatap Davira yang berbicara dengan terus menatap sayur yang ada di dalam kotak makan di atas pangkuannya. Sesekali mengaduk, menyendok lalu mengembalikannya lagi.     

"Ini terdengar sedikit berlebihan mungkin ... tapi aku adalah pacar kamu." Davira menimpali. Kini benar menyendok makanan yang ada di dalam kotak makan dan menyodorkannya pada Adam.     

Lahap remaja itu memakannya. Sesekali tersenyum manis sebab ia menyukai keadaan seperti ini. Dua tahun bersama dengan Davira, gadis itu selalu saja disibukkan dengan kegiatannya. Bukan 'nongkrong' bersama teman-teman sebayanya di klub malam atau kafe-kafe malam tegah kota, kesibukan kekasihnya hanyalah belajar dan mengikuti les privat. Akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk mereka berdua bersua dalam indahnya cinta dan kasih sayang, hari-hari lain ... kalau tak mencuri waktu seperti ini, maka tak akan pernah bisa.     

Davira paham benar, sebagai seseorang yang seharunya selalu ada untuk Adam ia tak pernah bisa benar memenuhinya. Seperti yang dikatakan oleh gadis itu sebelum ini bahwa hal kecil seperti menunggu dan melihat Adam berlatih di tengah lapangan saja sangat jarang ia lakukan. Davira hanya melihat dari jauh, kemudian berlalu selepas memastikan bahwa Adam baik-baik saja. Kembali melanjutkan aktivitasnya tak terkesan tak acuh dengan apa yang dilakukan oleh sang kekasih.     

Di dalam semuanya, Davira adalah pemerhati yang baik. Dalam diam ia memperhatikan semua yang terjadi pada kekasihnya, sebenarnya. Namun sekali lagi, itu semua dalam diam. Ia akan tahu perubahan dan hal-hal kecil yang terjadi pada Adam. Seperti berat badan kekasihnya yang sedikit lebih kurus sekarang.     

"Apa yang berlebihan? Aku malah menyukai kamu bisa begitu." Adam tertawa ringan. Mengusap puncak kepala gadis yang ada di depannya. Mengembangkan senyum ringan untuk mengimbangi aktivitas manjanya sekarang ini.     

"Malam nanti aku akan menjenguk mamanya Alia." Davira menyela. Melirik Adam yang baru saja menghentikan aktivitas mengunyah miliknya. Sedikit mengeringkan badannya dan memiringkan kepalanya untuk bisa benar menatap perubahan ekspresi sang kekasih.     

"Istrinya papa kamu?" tanyanya dengan nada hati-hati.     

Davira mengeram ringan. Menganggukkan kepalanya sembari tersenyum kaku. Menaikkan pandangannya untuk bertatap dengan sang kekasih yang kembali bungkam sebab tak percaya bahwa gadisnya akan melakukan hal seaneh ini.     

"Dua tahun keadaannya tak membaik, namun memburuk. Terakhir kali dia sadar, dia ingin bertemu denganku." Davira mempersingkat. Mengulum salivanya berat untuk mengakhiri kalimat yang diucapkan olehnya.     

"Firasat ku sedikit tak baik mendengarnya." Ia mengimbuhkan. Melirih di bagian akhir kalimat hingga terdengar begitu pelan dan samar masuk ke dalam lubang telinga miliknya.     

"Mau aku temani?" tanyannya penuh pengertian. Menunggu jawaban dari sang kekasih yang masih diam sembari terus menatap apapun yang ada di bawahnya.     

"Aku akan pergi dengan Arka," ucapnya menjawab.     

"Kenapa dengan Arka? Aku bisa menemani—"     

"Karena dia sahabatku. Aku tak ingin merepotkan kamu nantinya." Davira menyela. Memotong kalimat dari sang kekasih yang baru saja memalingkan wajahnya.     

"Tapi aku pacar kamu," tuturnya melirih. Mengubah tatapan menjadi teduh penuh pengharapan. Ia ingin sekali saja, Davira membawanya pergi ke masa lalu. Bukan untuk hal buruk, Adam hanya ingin melihat seperti apa luka yang ada di dalam hati sang kekasih. Bukan dari cerita yang keluar dari bibirnya, namun benar-benar kejadian yang sesungguhnya.     

Adam ingin benar masuk dan menjadi daftar orang pertama yang akan dibutuhkan Davira kala masa lalu yang buruk kembali datang menghampirinya lagi. Akan tetapi, apalah dayanya. Arka adalah remaja yang selalu menang dan satu langkah di depannya ketika Davira 'pergi' untuk menemui dan menghadapi apapun yang ada di masa lalunya. Fakta itu lah yang membuatnya sedikit takut bahwa suatu saat nanti mungkin saja ia masih bisa tersingkir dari dalam hati Davira Faranisa.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.