LUDUS & PRAGMA

135. Maafkan Hatiku! (Bagian 1)



135. Maafkan Hatiku! (Bagian 1)

0Bel nyaring berbunyi. Menandakan bahwa jam istirahat datang menyapa. Menyentak seluruh siswa dan siswi untuk sejenak meluruskan kaki, menghela napas, dan menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot yang sudah kaku dan mengeras. Davira fokus mengemasi barang-barang yang berserak di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas punggung yang ia letakkan di atas kursi. Sejenak melirik Arka yang terus saja menaruh segala fokus untuk menatap apapun yang dilakukan oleh si sahabat kecilnya itu. Selepas Arka memulai kalimat dramatis nan melankolis yang ditujukan pada Davira, gadis itu membuang tatapannya. Menghela napasnya kasar sebab ia tak suka keadaan canggung ada dan membentang di antara dirinya juga Arka Aditya.     
0

Menyudahi obrolan mereka kala bel istirahat tegas datang dengan nyaring bunyinya yang panjang. Arka mengajak gadis itu sejenak keluar dan membeli minuman dingin di koperasi sekolah sisi lapangan basket. Kembali lagi ke sini selepas apa yang diinginkan Arka terpenuhi adanya.     

"Kalian mau ke kantin?" sela seseorang menghentikan aktivitas Arka juga Davira. Membuat keduanya menoleh menatap gadis yang baru saja datang dan menyela.     

"Hm. Lo mau ikut sekalian?" sahut Davira memberi penawaran.     

Gadis berambut panjang dengan poni tipis yang jatuh tepat di kedua pasangan alis melengkung bulan sabit miliknya mengangguk ringan. Tersenyum simpul sembari berdeham tanda setuju dengan ajakan dari mantan teman sebangkunya itu.     

"Kalian duluan aja. Nanti gue nyusul. Gue mau mampir ke perpustakaan sebentar dan ke kamar mandi setelah itu," tuturnya memberi penjelasan singkat.     

"Gue temenin." Ia menyahut. Menyenggol sisi bahu Davira yang sejenak menatapnya kemudian menggeleng ringan.     

"Lo pergi sama Arka duluan."     

Davina --gadis yang kini memudarkan senyum simpul di atas paras cantiknya-- kini terdiam sejenak. Saling tatap dengan Arka Aditya yang hanya menyeringai samar tanpa memberi bantahan sedikit pun perihal apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh Davira Faranisa. Toh juga, ia akan lebih senang mendapat waktu berdua dengan Davina sebab ada beberapa hal yang ingin ditanyakan oleh pada si gadis ular itu.     

Bagi Davina, ini adalah momen yang menyebalkan untuknya. Sejak awal gadis pemilik senyum manis yang menggugah mood kalau ditatap dengan benar itu memang tak terlalu akrab dengan Arka Aditya. Davina hanya bersua dan berbincang dengan ramah kepada Arka Aditya sebab remaja itu adalah sahabat dekat dari Davina Faranisa. Selebihnya? Davina tak terlalu menyukai Arka ditambah dengan masalah yang sedang terjadi di antara keduanya. Gadis itu menganggap bahwa Arka Aditya terlalu banyak ikut campur ke dalam permasalahan yang bukan menjadi ramahnya untuk datang dan menyelesaikan.     

Lingkup permasalahan yang ada di dalam batin Davina hanya sebatas Adam Liandra Kin, Kayla Jovanka, dan Davira Faranisa. Arka? Dia tak pantas untuk ikut campur meskipun dirinya adalah sahabat terdekat dari Davira Faranisa.     

"Ide yang bagus. Mau gue beliin dulu nanti kalau rame—"     

"Susu mocca. Susu yang kotak," tukas Davira menyela. Mempersingkat apa yang dimaksudnya kala Arka baru saja ingin membuka mulutnya dan kembali bersuara guna memperjelas apa yang ingin dikatakan oleh si sahabatnya itu.     

"Oke. Ayok!" Arka bangkit. Mendorong meja yang ada di belakangnya untuk memberi celah dirinya keluar tanpa menganggu Davira yang masih sibuk mengemasi barang-barangnya kemudian menarik kasar pergelangan tang Davira.     

Gadis itu melirik. Menatap bagaimana cara Arka 'menyeret' tubuh si mantan teman sebangku yang terkesan kasar tak berperasaan. Batin Davira berkata bahwa apa yang menjadi kecurigaannya selama ini benar adanya.     

Dalam lingkup hubungan Arka Aditya dengan Davina Fradella ada permasalahan yang sedang mereka sembunyikan darinya saat ini.     

***LnP***     

Perpustakaan sekolah. Teman ternyaman sebab tak akan ada yang berani meninggikan suara dan membentak untuk mengekspresikan perasaan yang ada di dalam diri mereka. Semua akan tenang, diam tak bersuara atau kalau memang ingin bersuara maka volume lirih sedikit berbisik dengan posisi bicara intim adalah cara semua anak berbincang juga berinteraksi di dalam lingkungan perpustakaan.     

Davira suka akan hal itu. Jika bisa, ia ingin membuat seluruh tempat di sekolah menjadi layaknya perpustakaan yang harus dihormati kondisi ketenangannya.     

"Saya ingin mengembalikan novel dan meminjam baru," ucap gadis itu lirih. Menghentikan langkah kakinya selepas tubuh mungil sedikit semampai milik Davira sudah berada di depan meja besar tempat biasa orang-orang mendaftar sebagai anggota, meminjam dan mengembalikan buku.     

"Atas nama?"     

"Davira Faranisa." Seseorang menyela dari balik punggung gadis yang kini sigap memutar tubuhnya. Sejenak melirik si penjaga perpustakaan yang ikut menatap kedatangan remaja jangkung di belakang Davira.     

"Namanya Davira Faranisa. Cantik 'kan, Bu?" imbuhnya kala semua yang ada di depannya hanya terdiam bak sedang mematung sebab terpesona dengan ketampanan yang ada di atas parasnya.     

"Ah, iya. Nama saya Davira Faranisa." Gadis itu kini menyela. Selepas menghela napasnya ringan ia tersenyum kaku. Menyebutkan namanya dengan lirih dan mendapatkan anggukan kepala dari si penjaga perpustakaan. Mengabaikan kehadiran remaja sialan yang baru saja menggodanya di depan penjaga perpustakaan dengan menyisipkan kata 'cantik' setelah tegas namanya disebut.     

"Saya boleh pinjam lagi, Bu?" tanya Davira semakin melirih. Wanita paruh baya berkerudung cokelat muda dengan tata rias yang sedikit mencolok di bagian mata dan bibirnya itu menganggukkan kepalanya.     

"Tinggalkan bukunya di sini dan pinjamlah lagi."     

Davira menganggukkan kepalanya mengerti. Membungkuk ringan sembari tersenyum tipis. Memutar langkahnya untuk pergi dan berjalan menuju ke rak besar yang berjajar di setiap sisi samping dan tengah ruangan.     

Remaja jangkung yang berdiri di belakang Davira kini mengekori. Ikut melangkah dan mencoba untuk menyamakan irama langkah dengan gadis yang kini terhenti. Menatap rak besar yang ada di sisinya kemudian berjalan tegas mendekat. Di sana lah tempatnya menemukan puluhan novel juga buku sejarah yang akan membuat hatinya bergetar kalau membaca seluruh isinya.     

"Mau baca novel romance?"     

Davira terkejut. Cepat memutar tubuhnya kala suara berat menyela aktivitasnya. Dalam pikiran Davira remaja sialan ini masih berada di depan meja besar tempatnya meletakkan novel yang dipinjamnya satu minggu lalu. Namun, ternyata dia ada di belakang Davira saat ini.     

"K--kamu ngapain ke sini?" tangannya gagap. Mencoba untuk memundurkan langkahnya sebab Adam terlalu dekat dengannya saat ini. Ujung sepatu mereka bersentuhan. Membuat jarak intim tercipta dan memicu jantung Davira untuk berdetak lebih kencang dari biasanya.     

"Ini di sekolahan. Jangan macam-macam dengan—" Ucapan gadis itu terhenti kala Adam membungkukkan badannya. Membuat tinggi wajah gadis itu setara dengan paras tampan milik sang kekasih. Dua lensa mereka bertemu dalam satu titik. Dari jarak yang amat dekat, Davira bisa merasakan embusan napas remaja jangkung yang terus saja mencoba untuk memblokir segala fokus yang ada di dalam dirinya.     

Adam semakin mendekatkan wajahnya. Seakan sudah bersiap untuk segala kemungkinan buruk yang terjadi, Davira rapat memejamkan kedua kelopak matanya. Menunggu Adam menempelkan bibirnya di salah satu pipi sedikit chubby miliknya sekarang.     

Tunggu! Davira berpikiran kotor!     

"Aku mau ambil novel ini," bisiknya menyela. Membuat sepasang kelopak mata Davira Faranisa kini kembali terbuka. Sejenak membulat sebab ia tak percaya Adam akan mengatakan itu padanya.     

Sigap tangan panjang miliknya terulur. Menarik asal novel yang ada di depannya. Asal? Ya!     

Asal kalian tahu saja, Adam masuk ke dalam perpustakaan bukan sebab ia mencintai suasana tenang atau apapun yang ada di dalamnya. Ia datang dan menyela Davira juga penjaga perpustakaan sebab Adam melihat gadis kesayangannya masuk ke dalam ruangan ini seorang diri. Tak ada Arka Aditya yang mengekori atau pun Davina Fradella Putri yang menemani. Juga tak ada Rena Rahmawati yang beberapa hari ini tak didengar kabarnya oleh Adam. Jadi, ingin mengambil novel dan membacanya adalah alasan semata Adam hanya untuk melihat paras cantik juga suara lirih Davira siang ini sebab gadis itu tak mau mengangkat telepon darinya juga membalas pesan yang ia kirimkan kemarin malam.     

Singkatnya, selepas marah pada sang gadis, Adam tentu merasa bersalah dan ingin bersua dengannya. Merindukan Davira juga segala hal yang ada di atas fisik gadis itu.     

Davira mendongak. Menatap sejenak Adam kemudian melirik novel yang ada di dalam genggaman jari jemari panjang milik sang kekasih. Membuang tatapannya kala Adam membalas tatapan dari Davira.     

"Kenapa kamu memejamkan mata tadi?" tanya Adam berbasa-basi. Hanya mendapat diam dan tak diindahkan oleh gadis yang kini menghela napasnya kasar. Kembali memutar tubuhnya untuk membelakangi posisi Adam berdiri.     

"Oke kalau gak mau jawab." Adam menutup kalimatnya. Memutar tubuh jangkungnya kemudian sigap berjalan menjauh dari Davira. Dengan cepat ia mengembalikan novel yang ada di dalam genggamannya. Menaruh dan menyelipkannya asal pada rak buku yang ada di sisinya saat ini.     

Berjalan keluar melalui ambang pintu dan meninggalkan Davira yang masih mematung di tempatnya.     

Gadis itu menoleh. Memutar tubuh mungilnya kemudian menatap ambang pintu yang baru saja tertutup.     

Hanya itu? Adam hanya ingin mengatakan itu padanya selepas apa yang dikatakan remaja itu kemarin pagi? Wah! Sialan betul rupanya dia itu.     

Davira kini menarik asal novel yang ada di depannya. Berjalan dengan menghentakkan kakinya kasar sebab rasa jengkel mulai memenuhi di dalam hatinya saat ini. Bagaimana bisa Adam mengabaikan dirinya selepas semua yang sudah terjadi? Remaja itu marah pada Davira sebab ia mengabaikan pesan dan ratusan panggilan dari Adam kemarin?     

Tidak! Harusnya ia mengerti. Wajar Davira melakukan itu sebab ia sedang marah dan tak enak hati sekarang ini. Alih-alih meredam dan mendinginkan, Adam malah bersikap seenaknya seperti tadi.     

Gadis itu kini mulai berjalan. Melirik sejenak rak besar yang ada di depannya. Novel dengan sampul merah muda yang diambil oleh sang kekasih terselip dengan posisi setengah miring sebab orang yang baru saja mengembalikannya terkesan tak acuh dan tak mau tau. Membiarkan benda yang baru saja dipinjamnya tergeletak begitu saja tanpa mau merapikannya.     

Tunggu, Adam yang mengembalikan itu?     

"Ternyata dia berbohong." Davira melirih. Tersenyum singkat sembari terus menatap novel yang ada di antara jajaran buku di depannya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.