LUDUS & PRAGMA

138. Persona Rupa



138. Persona Rupa

0"Jika mencintainya, jangan maafkan dia semudah itu. Tapi mendengar penjelasan dari orang yang sudah berbuat dosa tidak akan membuat kita jadi pendosa." Kalimat itu lah yang menjadi dasar untuk Davira datang dan duduk bersama dengan sang kekasih. Menikmati sore yang indah dengan semburat awan mendung sedikit menggumpal untuk memenuhi ruang di atas cakrawala. Yang dikatakan oleh Rena ada benarnya. Meminta pendapat dari gadis yang tak pernah 'terjun' langsung ke lapangan adalah hal yang meragukan awalnya. Rena tak pernah terlibat dalam hubungan percintaan dengan laki-laki, namun saran dan kalimat yang diberikan untuk Davira sukses memantapkan hati gadis itu untuk datang dan memenuhi panggilan dari Adam Liandra Kin.     
0

Tempat yang tak jauh dari sekolah dipilih mereka guna melepas penat dan lelah yang melanda. Dibatasi satu meja panjang dengan kursi yang membuat mereka duduk saling berhadapan saat ini. Davira sesekali mendongak. Menaikkan pandangannya untuk menatap Adam yang masih fokus dengan semangkuk mie ayam yang dipesan olehnya beberapa waktu lalu. Tak mau berbicara. Hanya terus menggulung mie dan memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyahnya dan menghancurkannya kemudian menelannya masuk ke dalam perut.     

Davira masih belum bisa menerka dengan benar, apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran Adam Liandra Kin saat ini. Bukankah mengajak Davira bertemu sore selepas pulang sekolah dengan tujuan ingin mengajak gadis itu berbicara dan menyelesaikan masalah mereka adalah tujuan awal Adam?     

"K--kamu gak mau ngomong sesuatu?" tanya Davira akhirnya menyela. Mendorong semangkuk mie yang ada di depannya kemudian menatap remaja jangkung yang kini mendongak. Menghentikan aktivitas menggulung mie yang ada di dalam mangkuk di depannya.     

"Makan mie-nya keburu mengembang dan dingin. Itu gak enak." Adam menyela. Tersenyum ringan pada gadis yang ada di depannya kemudian mengulurkan tangan dan mengusap puncak kepala Davira.     

Davira menghela napasnya berat. "Kenapa kamu ngajak aku ke sini? Hanya untuk menonton kamu makan mie?" tanya Davira menaikkan volume suaranya. Terdengar berat dan sedikit jengkel sekarang ini. Davira bukan tipe gadis yang suka berbasa-basi dan melakukan hal-hal bodoh seperti sekarang ini.     

"Kamu makan mie-nya dulu, nanti—"     

"Aku pergi." Davira menyela. Bangkit dari tempat duduknya dan sigap menarik tas punggung yang diletakkannya di sisi meja.     

Adam bereaksi. Ikut menarik tas Davira dan mencoba menghentikan aktivitas gadis yang kini menatapnya dengan penuh kekesalan.     

"Oke. Aku gak akan mengulur waktu lagi. Duduk dulu," perintah Adam dengan nada lembut. Tersenyum ringan pada gadis yang kini menghela napasnya sembari melunakkan ekspresi wajah yang dimilikinya untuk merespon kelakuan aneh dan menyebalkan Adam hari ini.     

"Kemarin aku mencari hal yang mungkin dilakukan seorang gadis ketika bertengkar hebat dengan kekasihnya." Adam mulai menjelaskan. Meletakkan sumpit dan sendok yang ada di kedua genggaman tangannya kemudian mendorong mangkuk agar memberinya celah tempat untuk meletakkan kedua tangannya rapi di atas meja. Memberi segala fokus miliknya untuk menatap Davira yang diam membungkam sebab masih belum mengerti, ke mana arah tujuan pembicaraan mereka sore menjelang petang ini?     

"Katanya gadis umumnya akan menjadikan itu sebagai beban pikiran. Menghilangkan napsu makan dan mood baik yang ada di dalam hatinya. Intinya, gadis-gadis akan stress kalau mereka bertengkar dengan kekasihnya." Remaja jangkung berponi belah tengah itu melanjutkan. Kini membuat Davira mulai melunak dan memalingkan wajahnya sejenak.     

Kini ia mengerti mengapa Adam bertingkah konyol dan aneh sedikit menyebalkan seperti sebelum ini. Remaja itu ingin memastikan bahwa Davira tak sedang terpuruk sebab kalimat menyakitkan darinya kemarin pagi.     

"Aku meneleponmu kemarin dengan 102 panggilan dan spam pesan. Tapi kamu tidak menjawabnya. Aku berpikir bahwa kamu benar-benar—"     

"Aku membenci berbicara di saat hatiku sedang tidak baik." Davira menyela. Memotong kalimat remaja yang kini menaikkan pandangan untuk menatap paras Davira yang terkesan biasa saja hari ini.     

"Tetap saja, aku khawatir," rengek remaja itu dengan manja.     

"Membawa kamu ke sini dan meminta untuk memakan mie-nya sebab aku tahu kamu gak napsu makan kemarin—"     

"Aku makan dengan baik. Bahkan hari pun." Davira lagi-lagi menyela. Membuat Adam sejenak membulatkan matanya sebab ia tak percaya bahwa gadis di depannya itu benar-benar dingin dan terkesan tak acuh.     

"Kenapa kamu harus mengkhawatirkan itu? Bukankah lebih baik mengkhawatirkan kondisi hubungan kita yang—"     

"Karena kamu menangis kemarin." Adam memotong. Membalas aksi Davira sebelumnya. Menatap dengan tatapan teduh dan penuh harapan Davira mau mengerti apa yang dikhawatirkan oleh Adam pasal dirinya.     

Gadis berambut panjang itu diam. Kalimat singkat yang baru saja keluar dari celah bibir Adam sukses membuat Davira bungkam tak mampu berkata apapun dalam sepersekian detik. Hanya menghirup napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya kasar.     

"Air mata itu yang membuatku khawatir. Melihat kamu baik-baik saja tadi pagi, sedikit membuat hatiku lega. Jadi aku mengikuti kamu kemana pun kamu pergi," akunya pada sang kekasih.     

"Aku gak akan memaksa agar kamu memaafkan apa yang sudah terjadi kemarin. Kalimat yang aku ucapkan pasti sangat menyakitkan seiring dengan apa yang kamu lihat 'kan?" tanya remaja itu berbasa-basi.     

Davira menurunkan pandangannya. Lagi-lagi menghela napasnya berat sebab beban bukannya berkurang namun malah bertambah berat kali ini.     

"Katanya kamu ketemu Arka kemarin. Apa yang kalian bicarakan?"     

Adam mendesis ringan. Menarik tangan gadis yang ada di depannya. Sejenak saling tatapan kemudian ia menundukkan arah sorot lensa tajam miliknya. Mengusap punggung tangan Davira dengan lembut. Adam tahu, kalimat apapun yang terucap dari celah bibirnya saat ini tak akan banyak berpengaruh untuk suasana hati Davira. Fakta bahwa ia sudah menyakiti sang kekasih lebih dari apapun adalah hal yang menjadi dasar alasannya berpikir demikian.     

Meskipun dalam fisik Davira terlihat baik-baik saja, namun siapa yang bisa mengira bahwa dalam hati gadis itu sedang ada api yang membara? Adam mengenal Davira Faranisa dengan baik. Gadis itu sangat pandai memakai topeng untuk menutupi wajah dan suasana hatinya sekarang.     

"Aku datang ke rumah kamu kemarin sore."     

"Aku berniat untuk datang dan mengobrol dengan kamu secara tatap mata. Tapi, Arka datang dan mencegah. Menarik tangan aku untuk membawa aku pergi dari sana." Adam mulai menjelaskan. Memberi tatapan teduh pada Davira yang kini terdiam membuka lebar pendengarannya untuk bisa memahami apa yang akan dikatakan oleh sang kekasih.     

"Katanya aku tak perlu datang sebab Davira sedang tak menerima tamu siapapun dan bagaimana pun tujuan serta kondisinya. Davira ingin diam dan merenungi semua yang terjadi. Mencari solusi terbaik dengan kepala dingin dan hati yang sudah damai," tukas remaja itu tersenyum manis.     

"Dia juga bilang kalau tak perlu memaksa untuk mendapatkan pengampunan. Sebab itu tak akan banyak membuahkan hasil. Bersikap biasa dan tak menggores terlalu dalam lagi luka yang ada di hati Davira Faranisa adalah hal yang tepat untuk dilakukan."     

"Itu sebabnya aku bertingkah seperti hari ini. Sedikit menyebalkan dan aneh bukan?" kekeh Adam tertawa kecil. Sukses membuat perubahan ada di atas paras cantik Davira.     

"Sebenarnya aku ingin memeluk kamu dan mengatakan bahwa aku meminta maaf sebesar-besarnya. Tak seharusnya aku berkata seperti kemarin," pungkas Adam menutup kalimatnya. Melepas genggaman tangannya dari Davira yang masih diam enggan menggubris satu kata pun.     

"Maaf karena udah menyakiti hati kamu." Remaja itu menutup kalimatnya. Menundukkan wajahnya seakan sedang menghukum dirinya sendiri saat ini.     

"Apa yang kamu pelajari dari semuanya?" tanya Davira berkelit.     

"Maksud aku perbedaan antara kamu dan Arka?" imbuhnya dengan nada melirih.     

Adam menganggukkan kepalanya samar. Mendongak untuk kembali menatap Davira yang masih duduk rapi sembari menatap dirinya dengan teduh.     

"Arka adalah orang yang paling mengerti keadaan kamu dan Adam adalah orang yang baru belajar untuk melakukan itu."     

Davira tersenyum ringan. Menggelengkan kepalanya tegas kemudian menarik tangan berotot milik kekasihnya. "Arka adalah sahabat yang meredam. Adam adalah kekasih yang mendamaikan."     

Adam mengerutkan keningnya samar. Sejenak diam sebab ia masih belum bisa mencerna dengan baik maksud dari kalimat Davira barusan itu.     

"Jika Arka bisa meredam amarah Davira dengan sikapnya, Adam bisa menenangkan dan mendamaikannya Davira dengan kalimat dan kehadirannya." Davira menutup kalimat pendek miliknya dengan senyum manis. Mengusap punggung tangan Adam yang ikut mengembangkan senyum di atas paras tampan dan mempesona miliknya.     

"Memulai hubungan denganku bukan hanya pasal mencintai seorang gadis bernama Davira Faranisa. Memulai hubungan denganku, artinya kamu harus mulai belajar dan mengenal apa-apa saja yang ada di balik punggungku. Mengenal siapapun yang menjadi orang baik dalam hidupku dan memahaminya dengan baik pula."     

"Arka adalah sahabatku sejak kita kecil. Kita selalu bersama bahkan aku sempat menangis berhari-hari saat Arka pergi mengkhianati janji kita. Aku membencinya bahkan mengumpat di usiaku yang masih kecil. Aku mengatainya brengsek," ucap Davira mulai bercerita.     

"Meninggalkan Arka adalah hal yang berat untukku." Gadis itu kembali menimpali. Membuat senyum manis yang ada di atas paras tampan milik Adam kian memudar.     

"Paham maksudnya?" pungkasnya menutup kalimat.     

Adam terdiam sejenak. Menatap Davira yang jelas menaruh banyak harapan padanya kali ini. Gadis itu berharap Adam mau sedikit menyisihkan baik dan sabarnya untuk memahami kehidupan Davira dan Arka Aditya. Davira bukan gadis rumit yang minta ini itu untuk membahagiakan hidupnya. Pinta gadis itu amat sangat sederhana.     

Kehidupannya sebagai seorang Davira Faranisa, sahabat Arka Aditya, dan kekasih hati Adam Liandra Kin bisa berjalan dengan seimbang. Tanpa berat sebelah juga tanpa mengurangi satu sisi untuk membuat satu sisi menjadi lebih dominan.     

"Kalau aku dan Kayla? Kamu mau memahaminya?"     

Davira terdiam. Tersenyum tipis kemudian mengerang ringan. "Aku kini paham dengan cara berpikir gadis sialan itu."     

"Jadi aku akan memahaminya secara perlahan. Membuat semuanya lebih mudah tanpa harus menyakiti siapapun." Davira mengimbuhkan.     

"Jadi intinya kita hanya harus saling mengerti sekarang?" tanya Adam tersenyum manis. Gadis yang ada di depannya kini mengangguk. Mengerang ringan untuk mengiyakan apa yang baru saja dikatakan oleh kekasihnya.     

Benar, ada satu hal yang sempat dilupakan oleh Davira ... bahwa sebuah hubungan tak hanya memerlukan cintanya yang saling terbalas, namun juga memerlukan apa itu kepercayaan dan pengertian.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.