LUDUS & PRAGMA

141. Teman Baik Untuk Hari Baik.



141. Teman Baik Untuk Hari Baik.

0Langkahnya tegas membelah jalan area parkir tempat Arka memarkirkan motor 'gedhe' miliknya beberapa jam lalu. Saling diam sejenak mengijinkan hening datang membentang di antara mereka berdua. Tak saling tatap juga bersua hanya meluruskan langkah juga pandangan mereka untuk menatap apa-apa saja yang ada di depannya. Arka sesekali menoleh. Memastikan bahwa Rena masih berjalan di sisinya sebab gadis itu masih enggan bersuara selepas berpamit pada Adam juga Davira Faranisa. Hingga remaja itu tak tahan dengan apa yang disebut 'canggung' membentang di antara mereka     
0

Arka menyenggol bahu milik Rena. Menarik perhatian gadis berambut pendek dengan tatapan tajam nan berkharisma itu untuk sejenak menoleh dan menatap paras tampan milik Arka. Mereka akan berbincang selepas ini. Menunggu Arka untuk benar membuka mulutnya untuk memulai pembicaraan dengan topik asal sebab hanya guna untuk memecah keheningan yang ada.     

"Lo mau langsung gue anterin pulang sekarang?" tanyanya berbasa-basi sembari tersenyum kikuk.     

Rena menganggukkan kepalanya tegas. Mengerang ringan untuk mengiyakan apa yang dikatakan oleh Arka Aditya barusan itu. Memangnya Rena mau pergi ke mana lagi sekarang? Ia tak punya tujuan juga tak punya arah langkah yang jelas. Hanya terus berjalan untuk sampai ke arah moge besar milik Arka Aditya yang terparkir di ujung sana. Selebihnya? Tidak ada.     

"Kalau mau mampir ke suatu tempat lo bilang aja sama gue, nanti gue anterin." Arka mengimbuhkan. Membuat Rena menoleh sembari memincingkan matanya tegas. Sejenak tersenyum kemudian berakhir pada tawa ringan untuk menutup perubahan ekspresi yang ada padanya sekarang.     

"Ada yang lucu dari kalimat gue?" protes remaja jangkung berponi naik dengan nada tegas. Menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan bahwa tawa menyebalkan yang dilontarkan Rena untuk dirinya itu benar-benar untuk dirinya!     

"Lo jadi terdengar kayak mama gue dulu." Gadis itu menyela tawa. Menepuk kasar pundak remaja jangkung di sisinya.     

"Lo pasti bahagia dulu." Arka menimpali. Membuat Rena menghentikan tawa dan mengubah raut wajah cantik tanpa make up miliknya.     

"Lo punya orang tua yang perhatian, itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa hidup lo pasti bahagia." Remaja itu menambahkan. Menjelaskan dengan singkat kala menatap perubahan wajah Rena barusan. Ada semburat ketidak mengertian di dalam wajahnya beberapa waktu lalu. Membuat Arka mau tak mau harus menerangkan apa yang menjadi maksud dari kalimatnya itu.     

"Tidak juga," sahut sang gadis kembali menatap jalanan yang ada di depannya. Menyeringai tajam untuk menutup dan memungkaskan kalimat singkat darinya barusan.     

"Semua orang gak akan pernah bisa bahagia 100 persen bukan? Jika ada ... orang itu hanya sejenak lupa bahwa ada beban yang harus ditanggungnya selama hidup."     

"Waktu yang mengingatkannya." Rena menutup kalimat. Tersenyum kaku pada Arka yang ikut melempar senyum manis di atas bibir merah muda tipis melengkung tajam di bagian atasnya itu.     

"Lo sendiri, dulu lo bahagia?"     

Arka menganggukkan kepalanya. "Sekarang pun."     

"Boleh gue tanya sesuatu?" tanya Rena meminta ijin. Bertanya dengan nada ringan sedikit lirih dan menaruh banyak kehati-hatian agar tak menyakiti juga membuat Arka tersinggung nantinya.     

Remaja jangkung yang terlihat begitu 'keren' mengenakan jaket jeans berwarna senada dengan celana panjang miliknya itu menoleh. Kembali mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian tersenyum manis. Tak menaruh rasa curiga juga rasa penasaran dengan mengernyitkan dahinya. Tatapan bahkan ekspresi wajah remaja itu terlihat begitu tenang dan menguasai keadaan. Berbeda dengan Arka Aditya yang beberapa hari lalu bahkan Minggu menyelamatkan Rena dari tamparan sang kakak.     

"Saat lo menyelamatkan gue dari Kak Lita waktu itu ... Itu beneran lo?" tanya Rena mengubah gaya dan cara berbicaranya. Membuat Arka sejenak membulatkan matanya bukan terkejut namun tak mengerti dengan apa yang dipertanyakan oleh gadis berambut pendek itu.     

"Lo gak percaya kalau gue bisa baik sama lo?" kekeh Arka tertawa ringan. Mengacak puncak gadis yang kini mendegus kesal atas tingkah menyebalkan miliknya itu. Dulu Arka selalu melakukan itu untuk Davira, kala sang sahabat mulai dengan pemikiran konyol dan pesimis miliknya dalam menghadapi dunia. Sekarang, ia tak bisa melakukan itu lagi pada sahabatnya. Davira milik Adam Liandra Kin! Begitu juga sebaliknya. Jadi, Renalah yang pantas untuk menggantikan posisi Davira Faranisa.     

"Tatapan mata lo berbeda waktu itu." Rena menimpali. Kalimat singkat yang diucapkan dengan penuh penekanan itu sukses membuat Arka Aditya menghentikan langkahnya. Sejenak mematung kemudian menurunkan pandangannya. Benar, tak ada yang tahu perihal penyakit kejiwaan yang diidapnya sekarang ini. Gangguan emosi yang tak bisa ia kontrol dengan baik kala seseorang memancing dan menyulut emosinya secara bertubi-tubi. Melihat seseorang dalam bahaya akibat penindasan dan pembulian juga saat melihat Davira terluka adalah beberapa alasan yang membuat Arka hilang kendali kala marah dan mengamuk.     

Rena benar kala masa itu tiba, tatapan dan cara bertingkah Arka akan terlihat lain dan menyeramkan.     

"Semua orang pernah marah bukan? Gue sangat marah saat itu," ucap Arka beralasan.     

"Kenapa? Saat itu bahkan kita belum terlalu kenal dan—"     

"Karena lo lagi dibuli dan ditindas sama kakak lo sendiri. Lo pikir orang yang melihat itu akan diam aja?" Arka menyahut. Memotong kalimat Rena yang kini mengunci rapat bibirnya.     

"Kalau soal lo berantem sama Adam di belakang sekolah? Lo hampir mukul Adam dengan balok kayu penuh dengan paku. Kalau gak ada Davira pasti Adam udah dirawat di rumah sakit waktu itu." Rena meneruksan. Menatap Arka yang kini menyeringai tajam.     

"Lo tau dari mana?"     

"Davira Faranisa. Dia banyak bercerita hal-hal yang membuatnya—"     

"Ah, kenapa dia jadi begitu." Arka memotong menatap Rena sejenak kemudian memalingkan wajahnya tegas. Menghela napasnya dan berkacak pinggang.     

"Maksudnya?" tanya Rena mengernyitkan dahinya samar.     

"Davira bukan tipe gadis yang suka mengumbar hal pribadi yang membahayakan nama gue." Remaja itu menjelaskan dengan singkat. Menghela napasnya kemudian kembali melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti.     

Rena mengekori. Menengadahkan kepalanya untuk menatap perubahan ekspresi paras tampan milik lawan bicaranya.     

"Adam mengubah dia menjadi gadis yang lain." Ia memungkaskan kalimatnya. Kini benar terhenti kala tujuan mereka sudah ada di depan mata. Moge besar milik Arka Aditya yang terparkir di ujung barisan motor asing pengunjung Mall pusat kota.     

"Dia mengatakannya bukan dengan nada antusias atau bersemangat seakan ingin menyebarkan hal buruk tentang lo, dia mengatakan semua itu dengan nada takut dan khawatir." Rena menyahut. Menarik helm hitam yang ada di dalam genggaman Arka Aditya kemudian memakainya perlahan. Melirik remaja yang kini memaku sembari mengernyitkan dahinya samar.     

"A--apa maksud lo tadi?"     

"Lo tau alasan Davira menceritakannya sama gue? Pasti lo mengira dia menceritakannya karena ingin bukan?" kelit Rena menatap remaja yang ada di depannya.     

"Karena dia takut dan khawatir. Dalam kalimat penutup panggilan, Davira mengatakan bahwa ketika gue mendapati Arka Aditya dengan tatapan dan tingkah yang aneh seperti saat lo menyerang Adam waktu itu dan di sana gak ada Davira, dia cuma minta gue untuk datang dan menghentikan lo. Katanya, gue pukul lo sampai pingsan kalau perlu." Rena menjelaskan. Berjinjit kemudian memukul puncak kepala remaja yang masih diam mematung sembari terus memberi tatapan teduh para Rena.     

"Alih-alih ingin menyebarkan aib sahabatnya, Davira ingin melindunginya." Gadis itu kembali mengimbuhkan. Menghela napasnya kemudian membenarkan helm yang dikenakan olehnya saat ini.     

"Lo paham sekarang? Davira gak pernah berubah sedikitpun. Ia hanya menyisih sebab—"     

"Kenapa dia menceritakan dan mengatakan itu sama lo. Dia bahkan tau kalau lo dan gue gak akan bisa—"     

"Karena dia tahu, lo menyelamatkan gue waktu itu." Rena menyahut. Membalas aksi Arka Aditya yang baru saja memotong kalimat singkat miliknya.     

"Davira gak pernah berubah, Ka. Lo aja yang berubah," pungkasnya menutup kalimat dengan senyum tipis.     

Arka terdiam sejenak. Menatap Rena yang kini mulai tak acuh sebab fokus mengancingkan helm yang dikenakan olehnya. Menatap spion moge besar miliknya untuk memastikan bahwa helm yang dikenakan oleh gadis itu sudah benar dan rapi.     

"Ayo pulang."     

"Gue penah mengatakan perasaan gue sama Davira." Arka menyela. Menarik tangan Rena agar menoleh dan menatap parasnya sekarang ini.     

Rena memincingkan sejenak matanya. Tak mengerti apa maksud dan tujuan Arka mengatakan itu padanya sekarang. "Terus? Davira nolak lo, gue tau itu."     

"Menurut lo, gue berubah karena itu?" tanya Arka tegas memblokir seluruh arah tatap lensa indah milik Rena Rahmawati.     

"Lo sendiri merasa begitu?"     

Arka terdiam. Melepas genggaman tangannya dan menghela napasnya perlahan. Menatap Rena yang baru saja tersenyum aneh padanya.     

"Menurut gue lo cuma belum bisa menerima fakta bahwa ada orang baru yang menyela di antara persahabatan kalian. Itu pasti perlu waktu."     

"Arka," gadis itu kembali membuka suaranya selepas sejenak diam dan menarik napasnya dalam-dalam. Membuangnya perlahan dan Rena mulai paham dengan keadaan yang sedang terjadi pada Davira juga Arka Aditya.     

"Bukankah baiknya lo nemuin Davira dan mengobrol bersama? Mengatakan apa yang lo rasain, dan pasti gue yakin bahwa Davira merasakan hal yang mengganjal dalam hatinya saat ini."     

Rena mendekatkan langkahnya. Meraih pundak Arka Aditya dan mengusapnya perlahan. "Pasti berat untuk kalian sekarang. Lo mencintai Davira sebagai seorang gadis, dan Davira mencintai lo sebagai seorang sahabat baik setara dengan keluarganya sendiri. Davira butuh lo untuk jadi pengganti mamanya, dan lo butuh Davira untuk menjadi pemenuh dalam ruang hati lo. Persahabatan kalian kacau sejak saat itu, jangan salahkan Adam yang tiba-tiba masuk dan menyela kalian berdua."     

"Lo bela Adam?" tanya Arka akhirnya mau membuka mulutnya.     

Rena terkekeh ringan. "Apa gue terlihat suka sama Adam sekarang? Gue cuma pengen nyadarin lo kalau gak ada yang berubah dari Davira. Dia tetap sama seperti sebelumnya. Di dalam hati Davira lo masih tersimpan apik sebagai seorang sahabat baik."     

Rena kini menghela napasnya. Ia tak tahu kalau dirinya bisa sebijak ini sekarang. Selepas masuk dan mempelajari hubungan antara dua sahabat ini, Rena kini mulai paham kalau semesta tak pernah benar-benar baik pada hambanya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.