LUDUS & PRAGMA

142. Berbincang Bersama Dewi Malam.



142. Berbincang Bersama Dewi Malam.

Ia menurunkan pandangannya. Menatap ujung sepatu putih miliknya yang kasar menggesek rerumputan hijau yang ada di bawahnya. Lampu remang tak terlalu cerah menemani dua gadis yang sedang tak saling tatap kali ini. Sama-sama terdiam dan membisu membiarkan kerikan jangkrik terdengar jelas menguasai suasana. Adam Liandra Kin menunggu sembari menyandarkan tubuhnya pada tiang listrik sisi jalanan. Menatap dari kejauhan sang kekasih yang duduk berjarak sedang dengan si mantan teman sebangkunya. Davira Faranisa dan Davina Fradella Putri.     

Gadis bernama identik namun berbeda takdir dan alur hidup serta kisah percintaannya itu kini sedang duduk bersama. Untuk Davira, ia masih enggan membuka mulutnya sebab tak tahu, harus memulai semuanya dari mana sekarang ini. Davina tahu semua yang menjadi rahasianya. Ia tak bisa mengelak apapun lagi selepas Adam dengan tegas mengatakan bahwa Davira Faranisa adalah kekasihnya dan malam ini mereka sedang berkencan sebagai sepasang kekasih yang baru saja melewati masa sulit di awal hubungan mereka.     

Davira malu! Sebab dirinya terlalu banyak berbohong pada gadis yang ada di sisinya itu. Tak mampu berucap juga menatap paras Davina dengan benar malam ini.     

Ia tak menyangka sungguh. Bertemu dengan Davina dalam keadaan dan situasi tak mendukung seperti tadi benar-benar membaut hatinya kalut sedikit takut. Davira masih ingat kalimat penutup dari si teman dekat bahwa ia akan membenci siapapun yang menjadi kekasih Adam Liandra Kin. Siapapun!     

"Lo gak mau jelasin?" tanya Davina akhirnya menyela. Melirik si teman dekat yang masih menurunkan pandangannya untuk menatap apapun yang ada di bawah ujung sepatunya sekarang ini.     

"Kenapa lo jadi diem kayak gitu setelah kita ketemu tadi?" Ia mengimbuhkan. Sedikit bergeser posisi agar bisa sejenak mendekat pada Davira Faranisa. Memangkas jarak yang tak bisa dibilang dekat itu agar bisa sedikit intim dengan si teman baik yang dikenalnya sejak awal masuk ke sekolah menengah atas.     

"Davira ... Jangan gitu! Gue jadi gak enak sekarang sama lo." Davina kini sedikit meninggikan volume bicaranya. Bukan membentak namun ia hanya ingin memaksa Davira untuk mendongak, menoleh, dan menatap ke arahnya. Jika tak bisa tersenyum, maka setidaknya tataplah mata Davina. Agar gadis itu bisa memastikan bahwa Davira sedang tak menangis sebab ketahuan berbohong padanya.     

"Maaf," ucapnya lirih. Sukses membuat Davira mengerutkan dahinya samar. Sedikit memiringkan kepala untuk bisa menelisik perubahan ekspresi paras cantik milik Davira Faranisa sekarang ini.     

"Karena udah bohongin gue?" tanya Davina dengan nada santai. Tersenyum kaku untuk menutup pertanyaan singkat darinya itu.     

"Lihat ke arah gue," perintah gadis berponi tipis dengan rambut panjang yang ia biarkan terurai menutupi batas telinga juga punggung miliknya.     

Mengikuti interuksi dari Davina, gadis itu mendongak. Sembari menaikkan perlahan tatapannya, ia menghela napas ringan. Berat! Bebannya malam ini berat. Meskipun sukses menatap sepasang lensa teduh sedikit tajam milik lawan bicaranya saat ini, namun tetap saja berucap apapun sekarang tak akan pernah bisa membenarkan apa yang dilakukan oleh Davira Faranisa pada teman dekatnya itu. Berbohong tetaplah berbohong. Bahkan Davira sendiripun tak tahu mengapa ia bisa melakukan hal sebodoh ini sebelumnya. Fakta bahwa Davira membenci kebohongan dan pengkhianatan adalah alasan yang tak masuk akal untuknya sekarang bisa berbuat semacam ini. Singkatnya, gadis itu melanggar janjinya sendiri. Tak akan pernah berbohong dan berdusta pada siapapun hanya untuk membenarkan apa yang menurutnya benar.     

"Gue gak tahu harus—"     

"Sejak kapan kalian berpacaran?" tanya Davina menyela. Menatap gadis yang kini sejenak terdiam sembari menelisik arti tatapan yang ditujukan oleh Davina untuknya.     

"Mulai ceritakan bagaimana kalian --ah tidak! Maksudku bagaimana lo bisa menerima perasaan Adam padahal lo membenci dia sebelum ini."     

Davira menghela napasnya. Sejenak melirik sang kekasih yang masih tegas mengamati setiap gerak gerik dirinya juga si lawan bicara, Davina Fradella Putri.     

"Semua berubah lambat laun. Sikap baik Adam dan segala perhatian membuat gue luluh. Malam itu Adam mengatakan perasaannya untuk yang ketiga kalinya. Gue sudah menolak dia sebelumnya. Dengan kata-kata kasar dan menyakitkan hati, gue berpikir Adam tak akan pernah kembali dan memutuskan untuk tak mengejar gue lagi. Tapi ...."     

"Lo salah?" Davina memotong. Membuat Davira yang baru saja ingin mengalihkan tatapannya itu kembali menoleh. Menatap si lawan bicara kemudian mengangguk samar.     

"Dia semakin kokoh dan semakin berani. Sampai akhirnya, tiga Minggu yang lalu dia menyatakan perasaannya dan gue menerima itu." Davira mempersingkat. Lagi-lagi menghela napas kasar sebab berbicara bukan mengurangi bebannya saat ini namun menambah berat apa yang dipikulnya.     

Semakin banyak kejujuran diungkapkan oleh bibir kecil nan indah milik Davira Faranisa, maka akan semakin besar pula rasa bersalah dan rasa takut kalau-kalau Davina benar-benar membencinya sekarang. Bukan takut akan bulian dari gadis itu, Davira hanya takut akan kehilangan seorang teman baik seperti Davina Fradella Putri.     

"Kenapa lo berbohong sama gue setelah itu?" tanya Davina tersenyum kaku. Menarik pergelangan tangan lawan bicaranya kemudian menurunkan pandangannya. Tak lagi menatap paras Davira yang tegas melukiskan rasa bersalah, khawatir, dan takut di dalam sana.     

"Karena lo suka sama Adam." Ia menjawab dengan nada tegas. Memberi penekanan di bagian akhir kalimat sebelum nama Adam Liandra Kin disebut.     

Davina kini mengusap punggung tangan milik Davira. Samar bibirnya menyeringai sebab ia sama sekali tak terkejut sebenarnya. Sudah jelas tertera bahwa Davina mengetahui semuanya melalui Kayla Jovanka. Semuannya! Bahkan ia tak sedang mendengar cerita dari Davira dengan benar. Ia hanya puas sekarang, sebab Davira datang padanya dengan ekspresi wajah seperti itu.     

Pantas! Sangat pantas!     

"Apa yang harus gue lakukan sekarang? Gue rasa apapun yang gue katakan gak akan berpengaruh dengan perasaan lo sekarang. Lo pasti marah 'kan?" Davira kembali berucap. sesekali menyela dengan helaan napas kasar tanda gusar ada di dalam dirinya sekarang. Baru saja ia dilanda bahagia bersama sang kekasih, semesta sudah memberinya satu cobaan yang memberatkan hatinya.     

"Kalau gue minta lo meninggalkan Adam, lo mau?"     

Deg! Davira tak mampu berkata-kata saat ini. Hatinya panas dan dadanya sesak. Kalimat itu terlalu berani untuk diucapkan padanya. Biasanya Davira akan menolak dan memaki semua orang yang mengganggu dan mengacau bertingkah kurang ajar padanya, namun sebab itu adalah Davina si teman dekat yang selalu berbuat baik padanya, Davira tak tega melakukan itu.     

"G--gue ... Gue—"     

"Bercanda!" Gadis itu kembali menyela. Tertawa ringan sembari menyenggol bahu si teman dekat. Sukses membuat perubahan di atas paras cantik milik Davira kali ini.     

Samar senyum perlahan mengembang. Seakan menandakan bahwa semua mungkin akan berakhir baik meskipun tak sebaik dalam bayangannya.     

"Gue cuma bercanda. Lagian Adam bukan pacar gue 'kan? Jadi dia berhak jadi pacar lo." Davina mengimbuhkan. Menarik tangannya untuk kembali ada di atas himpitan kedua paha kurus miliknya saat ini. Masih dengan tatapan teduh mengarah pada Davira Faranisa.     

"Lo marah?" tanya Davira memastikan.     

Davina mengangguk. Mengerang ringan untuk menyetujui kalimat tanya singkat dari Davira Faranisa. "Tentunya gue marah. Gue adalah manusia," gerutunya merespon.     

"Lo bohongin gue, Davira. Gue yakin lo juga akan marah dan kecewa kalau lo jadi gue." Ia mengimbuhkan melirik Adam yang masih kokoh berdiri untuk menunggu sang kekasih datang padanya.     

Tak bohong jikalau Davina mengatakan bahwa ia sedang dilanda cemburu malam ini. Meskipun baru saja ia mengatakan bahwa Adam berhak memiliki dan dimiliki oleh siapapun, namun tetap saja rasa dan tatapan mata tak akan pernah bisa dusta. Amarahnya bukan hanya sebab Davira yang membohongi dirinya sekarang ini, amarahnya juga sebab rasa cemburu dan rasa dikhianati ada di dalam diri.     

"Gue cemburu," kekehnya selepas kembali menatap Davira yang ada di sisinya.     

Gadis itu mendongak. Menatap Davina dengan tatapan sendu sedikit sayu. "Sama gue?"     

"Hm. Sama lo. Melihat Adam menunggu di bawah kegelapan sesuai perintah dari lo membuat gue iri dan cemburu."     

"Karena itu adalah Adam Liandra Kin?" Davira menyahut. Ditatapnya dengan dalam lawan bicaranya yang sejenak terdiam sembari mencoba menimang kalimat dari Davira Faranisa.     

"Karena lo memiliki orang seperti itu. Ada Arka Aditya dan Adam Liandra Kin di sisi lo sekarang. Gue iri dan cemburu." Dusta! Davina dusta dengan kalimatnya barusan. Ia bahkan tak peduli tentang Arka Aditya yang menjadi sahabat dari Davira Faranisa. Yang ia pedulikan hanyalah Adam Liandra Kin dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.     

"Ini adalah rahasia gue selama ini. Jadi, apa rahasia lo dengan Arka?" tanya Davira mengubah topik pembicaraan. Membuat Davina sejenak membisu sembari tegas memberi tatapan mengarah padanya.     

"Lo pengen bales amarah dari gue?" ucap gadis itu tertawa ringan.     

Davira menggeleng. "Gue pengen tahu karena itu menyangkut lo dan Arka."     

Davina mengangguk ringan. Tersenyum simpul sembari menatap rerumputan hijau yang ada di depannya. Sejenak berpikir untuk mulai berkata-kata tanpa menujukan sisi jahat yang ada di dalam dirinya saat ini.     

"Soal salah paham. Dia mengira gue akan merebut Adam kalau tahu kalian pacaran." Ia mempersingkat. Sukses membuat perubahan di atas paras jelita milik Davira Faranisa saat ini.     

"Kenapa dia berpikir begitu? Arka yang gue kenal—"     

"Mungkin karena dia terlalu sayang sama lo. Dia suka sama lo juga 'kan? Naluri seorang laki-laki untuk melindungi fisik dan perasaan gadis yang dicintai adalah hal yang wajar, Davira."     

"Arka ingin melindungi perasaan lo sekarang dengan caranya sendiri." Davina mengimbuhkan. Mempertegas akhir kalimat yang diucapkan olehnya barusan itu.     

Untuk Davina, ia akan melepas Adam begitu saja? Tidak! Ia bukan gadis lemah yang akan menyerah hanya sebab satu hantaman keras mengenai hatinya. Meskipun sekarang ia adalah gadis menyedihkan dengan hati yang sudah terlanjur patah, namun sebelum benar-benar remuk dan hancur hilang tak berbekas, maka Davira akan merebut kembali semua yang harusnya menjadi miliknya.     

Ya! Davira akan merebut Adam Liandra Kin dari genggaman Davira. Dengan cara yang halus dan perlahan. Hanya perlu waktu juga ruang tunggu yang nyaman. Mulai sekarang, ia mengibarkan bendera perang pada teman dekatnya itu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.