LUDUS & PRAGMA

122. Asa dan Rasa



122. Asa dan Rasa

0"Jadi lo memutuskan untuk menyembunyikan dari Davina?" Pertanyaan yang sama kembali menghujani gadis cantik bermata bulat yang kini fokus menatap balok kecil es batu yang memenuhi separuh ruang di dalam gelas besar di depannya.     
0

Davira mengangguk samar. Lirih mengerang untuk merespon kalimat dari gadis yang ada di sisinya tanpa mau mengubah sorot lensa pekat nan indah miliknya saat ini. Bukan mengabaikan gadis yang ditemuinya kala ia ingin datang menyambangi kamar mandi selepas bel istirahat panjang nyaring berbunyi. Mengubah arah tujuan selepas menyelesaikan urusan pribadinya di dalam kamar mandi sekolah dan berakhir dengan duduk berbincang ringan di dalam kantin sekolah, namun Davira sedikit malas. Sebab dalam pundaknya beban terus saja bertambah tanpa mau berkurang sedikitpun.     

Menyembunyikan hubungannya dengan Adam Liandra Kin ternyata tak semudah dalam bayangannya. Ia harus mendustai segala orang yang ada di sekitarnya. Bertingkah seperti biasanya seorang Davira Faranisa menanggapi Adam Liandra Kin. Itu tak mudah untuk Davira. Akan tetapi kembali lagi pada dirinya sendiri yang belum benar siap untuk mempublikasikan hubungannya dengan Adam di depan umum.     

"Lo masih gak mau kasih tau ke orang-orang tentang hubungan lo dan Adam?" Gadis di sisinya kini menoleh. Memiringkan kepalanya dengan sedikit mencondongkan badannya untuk bisa menatap dengan paras Davira Faranisa sebab helai demi helai rambut panjang yang turun melalui batas telinga milik gadis itu sedikit mengganggu aksesnya untuk bisa menatap Davira dengan benar.     

"Gue masih belum siap." Davira menimpali dengan rengekan lirih. Menundukkan wajahnya sembari sesekali menghela napasnya kasar. Mengapa memulai hidup dengan status baru seperti ini sangat sulit untuk dilakukan?     

"Apa yang sebenernya lo takutin? Amarah fansnya Adam atau Davina yang akan membenci lo nanti?"     

Davira kali ini mendongakkan wajahnya. Menatap paras gadis bermata tajam yang baru saja mengatupkan bibirnya sebab kalimat singkat nan jelas sudah selesai terucap dari bibirnya saat ini.     

"Mana yang lebih lo takutin? kehilangan Adam atau kehilangan opini baik dari publik tentang lo?" Rena kini mengimbuhkan. Tersenyum ringan kemudian menepuk ringan punggung milik gadis yang masih kokoh dalam diamnya sembari terus menyentalkan netra indah miliknya untuk menatap paras cantik milik Rena.     

"Apa maksud lo dengan bilang bahwa gue akan kehilangan Adam?" tanya Davira sedikit ragu. Memastikan bahwa Rena tak akan menghinanya si 'lola' yang tak pandai dalam berkalimat.     

"Semua laki-laki yang tak diakui oleh pacarnya di depan umum, lama-lama akan pergi dan menghilang. Sebab apa? Sebab ia muak! Ia akan pergi dan mencari gadis lain yang rela mengakuinya dengan membanggakan diri. Sikap lo yang memutuskan untuk main kucing-kucingan begini, akan membuat Adam berpikir lain." Rena kini mulai menerangkan dengan kalimat panjangnya. Sukses membuat Davira terdiam sembari mengerutkan dahinya samar.     

"Misal apa?"     

"Adam bisa aja berpikir bahwa lo malu punya cowok kayak dia. Adam akan berpikir—"     

"Kenapa lo jadi berbicara panjang lebar seperti ini? Padahal lo sendiri gak pernah terlibat dalam hubungan percintaan. Lo gak pernah punya pacar atau mengencani seorang laki-laki 'kan?" sela Davira memprotes. Kalau diingat dari cerita Arka beberapa menit sebelum ia datang kemari dan berbincang ringan dengan Rena Rahmawati untuk sedikit mencurahkan isi hatinya saat ini, Arka sempat bercerita pasal gadis ini.     

Dalam cerita Arka yang terkesan tiba-tiba membahas Rena meskipun tak ada angin tak hujan yang menerpa dirinya, remaja jangkung berponi naik yang menjadi teman sebangku Davira Faranisa itu mengatakan dengan tegas bahwa Rena adalah gadis kikuk yang tak pandai dalam urusan cinta. Rena tak pernah menyukai remaja lawan jenis seusia dengannya. Jadi, Arka berpesan pada Davira untuk tak meminta saran banyak dan berlebih pada gadis macam Rena. Sebab, tak akan ada gunanya. Kalau-kalau Davira tak beruntung saat itu bisa saja ia terjerumus sebab saran dari Rena.     

"Pernah mendengar kalimat 'pelatih tak ikut bermain dan terjun ke lapangan' bukan?"     

Davira bungkam. Menganggukkan kepalanya samar kemudian mengerang ringan.     

"Aku seperti itu," pungkas Rena menutup kalimatnya.     

"Jadi?" Davira memincingkan matanya. Masih belum sanggup untuk benar memahami apa yang dikatakan oleh Rena barusan.     

"Akui hubungan lo di depan umum. Lagi pula lambat laun mereka semua juga akan mengetahuinya."     

Gadis yang ada di sisinya kini memalingkan kan wajahnya. Entahlah, Davira hanya tak ingin berpikir pasal itu sekarang ini. Yang ada dan mengganggu di dalam dirinya adalah pasal bagaimana nanti reaksi yang akan ditunjukkan oleh Davina kalau ia membuat sebuah pengakuan? Akankah ia marah dan memaki Davira? Berteriak dengan nada lantang dan menghina Davira Faranisa. Mengatakan di depan umum sembari menunjuk dengan menggunakan jari telunjuknya tepat di depan wajah gadis itu. Davira adalah seorang pengkhianat! Melangkahi Davina yang sudah duluan mencintai dan mengharapkan rasa seorang Adam Liandra Kin. Berkencan dengan remaja itu tanpa memikirkan bagaimana hancurnya perasaan sang sahabat. Ya, Davira sejahat dan sekeji itu.     

"Ini hanya masalah waktu saja. Semua akan terbiasa nantinya," imbuh Rena memungkaskan kalimatnya dengan nada bicara yang santai.     

"Haruskah?" tanya Davira kembali memastikan.     

Rena menganggukkan kepalanya tegas. Mengerang untuk memberi respon pada gadis yang kini tegas mendorong gelas kosong dengan embun tipis di atas permukaannya kemudian melipat tangannya rapi di atas meja dan meletakkan kasar kepalanya di sana. Membenamkan wajahnya sembari samar mulai menggerutu. Bagaimana bisa dengan bodohnya ia masuk ke dalam dunia rumit dan menjengkelkan seperti ini?     

***LnP***     

Langkahnya tegas menyusuri lorong sekolah untuk sampai ke tujuannya siang ini. Perpustakaan sekolah guna mencari pinjaman soal ujian untuk seluruh teman-teman yang ada di dalam kelasnya. Bukan tanpa sebab, lagi-lagi Davira lah yang harus menjadi korban untuk dijadikan pesuruh oleh guru dan teman-temannya. Sebab Arka yang mengusulkannya! Remaja sialan yang baru saja berpamit untuk sejenak mampir ke kamar mandi di sisi belokan lorong itu lah yang mengangkat tangannya dan mengacungkan jari untuk menawarkan diri mampir ke perpustakaan sekolah guna mengambil setumpuk soal latihan yang kalau diangkat seorang diri maka tak akan pernah bisa dilakukan. Oleh karena itu Arka menarik tubuh Davira keluar dari dalam kelas dan membawanya menyusuri lorong sekolah.     

"Wah, takdir yang mengejutkan bukan? Kita dipertemukan di sini," sela seseorang menginterupsi. Membuat langkah Davira terhenti dan mau tak mau harus menoleh ke samping dan sejenak memutar badannya agar bisa berposisi dengan nyaman.     

Seorang gadis dengan seragam olah raga kini datang mendekat padanya. Tersenyum seringai mengarah tegas untuk diberikan kepada Davira Faranisa.     

Gadis itu memutar malas kedua bola matanya. Menyesal sudah Davira harus terhenti dan meladeni gadis sialan bermata kucing yang sudah menjadi musuh di dalam hatinya yang paling dalam. Kayla Jovanka.     

"Gue sibuk," tukas Davira memutar tubuhnya. Berniat hati ingin kembali melangkah untuk menjauh dari gadis yang kini menghalang langkahnya dengan sigap memasang tubuh di depan Davira.     

"Apa sebenarnya mau lo?" tanya Davira dengan malas. Sedikit jengkel terselip di dalam nada bicaranya. Membuat Kayla semakin tajam menyeringai pada Davira Faranisa.     

"Mau gue? Lo putus dari Adam." Kayla menjawab dengan tegas. Suaranya lirih, sebab takut seseorang mendengar obrolan mereka kali ini. Bukan ingin membantu Davira untuk menyembunyikan hubungannya dengan Adam, Kayla hanya tak mau jikalau hubungan mereka tersebar lebih cepat dari dugaan maka banyak yang akan mendukung Davira dan Adam. Itu akan sangat merepotkan untuknya nanti.     

"Kalau gue gak mau?" balasnya menyeringai.     

"Maka gue akan membuat Adam yang mutusin lo," sahur gadis bermata kucing itu singkat. Membuat Davira sejenak menyipitkan matanya sembari samar dahinya berkerut mencoba untuk menerka apa yang sedang ada di dalam pikiran gadis menjengkelkan di depannya itu.     

Kayla memajukan langkahnya dengan tak mengurangi sedikitpun senyum seringai yang ada di atas paras cantiknya kali ini. "Bukan hanya lo yang bisa mengatakan ini, gue pun bisa mengatakannya. Lo berurusan dengan orang yang salah, Davira Faranisa."     

"Lo—" Kalimat Davira terhenti kala sesosok tubuh berperawakan jangkung menahan tubuhnya dengan menarik pergelangan tangan Davira dari belakang. Membuat langkah kecil yang ingin diciptakannya kembali terhenti.     

"Harus berapa kali gue bilang jangan ganggu sahabat gue," ucapnya dengan nada melirih. Mengambil posisi berdiri di sela-sela keduanya. Menutup akses Davira untuk bisa berhadapan dengan Kayla sebab tubuh Arka terlalu jangkung dan kekar.     

"Arka Aditya. Sahabat baik yang sedikit ... menyedihkan, mungkin." Kayla tertawa kecil di bagian akhir kalimatnya. Membuat Arka sejenak memalingkan wajahnya sebab ia membenci cara gadis sialan itu tertawa.     

"Lo yang terlihat menyediakan sekarang ini." Arka menyela. Dengan nada lirih penuh penekanan sebab ia sedang memendam amarahnya saat ini. Jikalau jari jemari Davira tak kuat menggenggam dan mengusap pergelangan tangannya sekarang ini, Arka pasti sudah menonjok paras cantik milik Kayla Jovanka.     

"Gue? Kenapa gue?" Kayla menghentikan sejenak kalimatnya. Memajukan satu langkah untuk sedikit mendekat pada Arka Aditya.     

"Lo ditolak meskipun lo adalah orang yang selalu ada buat dia. Menemani hidup membosankan milik Davira Faranisa dan memberikan segala hal yang bisa lo berikan. Katakan saja singkatnya bahwa lo sudah menghabiskan separuh hidup Lo mengabdi sebagai sahabatnya, tapi perjuangan lo sia-sia," tuturnya panjang nan lebar.     

Semua yang dikatakan oleh Kayla benar adanya. Tak ada yang keliru juga tak ada yang patut untuk dibenarkan. Usahanya terasa sia-sia hanya sebab seorang remaja brengsek yang masuk dan mencuri hati sang sahabat. Membuat posisinya sedikit tersingkir lambat laun, Davira bisa saja melupakannya.     

"Dan lo masih mau jadi orang bodoh dengan tetap bersahabat dengannya meskipun jelas-jelas posisi Lo akan tergantikan?" kekeh Kayla mengakhiri kalimatnya.     

Arka mendekat. Ingin sekali ia melayangkan tinju ke depan paras cantik gadis menjengkelkan itu sekarang ini, namun sekali lagi Davira menghentikannya. Meskipun hanya genggaman jari jemari yang semakin kuat menggenggam pergelangan tangannya, akan tetapi bagi Arka itu sangat cukup untuk meredakan perlahan amarah yang ada di dalam dirinya.     

"Gue mencintai Adam ... tapi gue menyayangi Arka," sahut Davira menutup kalimatnya. Sukses membuat Arka terdiam sebab ia tak menyangka, akhirnya kalimat itu mampu terucap oleh Davira dengan tegas nan jelas masuk ke dalam lubang telinganya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.