LUDUS & PRAGMA

124. Ada Rasa yang Tak Bisa Diungkapkan oleh Kata.



124. Ada Rasa yang Tak Bisa Diungkapkan oleh Kata.

0Gadis berambut panjang yang sengaja dibiarkan terurai menutupi punggung dengan beberapa helai yang turun terjun melalui batas telinganya yang sedikit cuping itu masih tegas mengarahkan fokus lensa indah nan tajam miliknya pada rentetan huruf yang ada di atas kertas dalam genggamannya. Sesekali ia menghela napasnya ringan. Memindah fokusnya menatap suasana ruangan yang sedikit sepi sebab tak akan banyak orang yang berlalu lalang di tempat pribadi seperti ini, kemudian mengembalikan fokusnya untuk menatap selembar kertas yang baru saja diserahkan pada wanita setengah tua berseragam di depannya.     
0

"Anda benar ingin mengakhiri kelas dan keluar dari tim?" Suara itu kembali menyelanya. Seakan mencoba untuk menggoyahkan pendirian sang gadis muda yang masih kokoh dalam posisi tak ingin berkutik atau memberi respon sedikit pun.     

"Anda adalah anggota tim yang berbakat. Jika keputusan ini dibuat atas dasar—"     

"Saya akan mengakhirinya." Gadis itu akhirnya menyela. Menatap perempuan berseragam dengan dandanan rapi yang kini sejenak menaikkan kedua alisnya tajam. Tak menyangka gadis yang datang dan menemuinya beberapa tahun lalu dengan semburat ambisi yang menggebu di dalam pandangan lensanya itu kini hendak mengakhiri segalanya.     

Lalita Rahmawati. Si balerina yang akan menjadi pemeran utama dalam drama musikal empat bulan lagi. Karir yang dibangunnya semenjak pertama datang sebagai anak baru hingga sekarang bisa dibilang sangat memuaskan. Ia adalah balerina terkenal di dalam kelompoknya. Menjadi panutan sebab ambisi dan kemauannya untuk menggeluti bidang terkait. Perempuan itu ingat benar bagaimana wajah dan ekspresi yang ditunjukkan Lalita kala datang kemari.     

--dan sekarang, Lalita ingin mengakhirinya? Begitu saja? Ya! Kata gadis itu. "Begitu saja."     

"Anda adalah balerina terpenting dalam tim ini. Aku akan memberikan waktu untuk Anda bisa—"     

"Saya tak akan kembali. Jadi setujui saja dokumennya dan saya aku mengambil barang-barang saya."Lalita lagi-lagi menyela. Menatap wanita yang jauh lebih tua darinya sejenak. Mengembangkan senyum manis di atas paras cantik miliknya kemudian menyodorkan kopian dokumen yang ada di dalam genggamannya.     

"Saya hanya butuh satu kopian saja," tuturnya dengan nada lembut. Membungkukkan badannya kemudian memutar tubuhnya dan berlalu untuk meninggalkan tempatnya saat ini.     

"Nona Lita!" Wanita itu memangil dengan nada sedikit lantang sebab posisi Lalita yang sedikit jauh kali ini. Menyita perhatian beberapa orang yang ada di sekitarnya yang kini mengalihkan fokusnya pada gadis cantik bertubuh tinggi yang terhenti dan memutar tubuhnya. Ditatapnya si wanita yang kini berlari kecil untuk menghampiri posisi Lalita berdiri.     

"Aku akan menyimpan dokumen pengunduran diri Anda untuk beberapa hari ke depan. Minggu depan kembalilah jika Anda bisa mengubah keputusan itu. Aku berharap Anda datang hari ini sebab perasaan Anda sedang tak baik, jadi Anda menyerahkan surat pengunduran diri," paparnya sembari mengusap pundak gadis yang ada di depannya. Lalita diam. Tak mampu banyak berucap sebab jujur saja, dalam hati terdalamnya Lalita tak ingin melakukan ini. Melepas mimpi hanya untuk sejenak menyisihkan egonya saat ini.     

Namun, tak ada yang bisa Lalita lakukan selain ini. Rena akan bisa menggapai mimpinya kalau Lalita menggantikan posisinya sekarang.     

"Saya pamit," balas Lalita dengan nada ramah. Tersenyum tipis kemudian membungkukkan badannya ringan sebagai tanda penghormatan sebelum melanjutkan langkahnya dan keluar dari dalam ruangan.     

Ini bukan terakhir kali Lalita datang dan mengunjungi tempat kursus balet yang amat diimpikannya selama ini, sebab besok dan lusa Lalita akan datang. Namun bukan sebagai seorang balerina berbakat, ia datang hanya untuk mengambil barang-barangnya.     

Lalita memungkaskan mimpinya dan memberi celah untuk sang adik agar bisa menggapai mimpinya juga. Lalita pernah merasakan indah dan nikmatnya berjalan di arah yang benar untuk menuju dan menggapai mimpi dan cita-cita. Jadi, Lalita juga ingin sang adik bisa merasakan hal yang sama.     

Singkatnya, Lalita merelakan mimpinya hanya untuk memberi mimpi baru dari sang adik. Begitulah caranya ia menunjukkan rasa kasih yang dimilikinya teruntuk sang adik. Ya! Meskipun tak memberi uang, harta, dan tahta, namun Lalita memberikan mimpi pada sang adik.     

***LnP***     

"Kak Lita?" Lirih suara menginterupsi namun sukses membuat langkah gadis yang baru saja mendorong pintu kaca besar di depannya itu terhenti. Menatap gadis yang kini terdiam sejenak sembari menatapnya. Kemudian memindah fokus miliknya menatap gedung yang baru saja disinggahi gadis dua tahun lebih tua darinya itu. Gedung kursus balet yang terkenal di bangun di tengah kota. Banyak penari handal nan profesional yang datang dari tempat ini. Ah, Davira kini ingat Rena pernah mengatakan bahwa tubuh indah nan tinggi milik kakaknya ada sebab ambisi sang gadis yang ingin menjadi seorang balerina terkenal.     

"Davira?" sahut Lalita melempar balasan dengan sejenak mengerutkan dahinya. Tak percaya jikalau ia akan bertemu dengan Davira di sini.     

"Ternyata kakak kursus di sini?" tanya gadis itu berbasa-basi. Lalita hanya tersenyum ringan. Tak mau membuka mulutnya hanya menganggukkan kepalanya samar.     

Davira kini melirik kertas yang ada di dalam genggaman Lalita. Menyipitkan matanya untuk mencoba menelisik kata besar penyusun kalimat judul kertas yang kini disembunyikan oleh sang pemilik di belakang tas selempang yang menyilang rapi di atas dadanya.     

"Kakak mengundurkan diri?" Terlambat! Davira mampu membaca apa yang menjadi judul kertas di dalam genggaman Lalita saat ini.     

"Kakak berhenti menari balet?" cecar Davira kala yang diajak berbincang hanya diam sembari sesekali membuang tatapannya agar bisa menghindari tatap mata gadis yang ada di depannya itu.     

"Seriusan? Kakak berhenti mengejar mimpi kakak?" Davira kembali menimpali. Berjalan mendekat pada gadis yang kini menghela napasnya kasar.     

Lalita akan berhenti, namun secara diam-diam. Tak ingin seorang pun tahu kecuali sang papa juga sang mama. Lalita ingin semuanya berjalan lancar sebelum ia resmi di pindahkan ke luar negeri nantinya. Mengakhiri kisah hidupnya di Indonesia dan mencari peluang hidup sebagai seorang pebisnis di negara tetangga. Itulah tujuan Lalita saat ini. Akan tetapi, mengapa ia harus bertemu Davira di sini?     

"Kenapa kamu ke kawasan ini? Setahu aku ini jauh dari—"     

"Aku mau membelikan hadiah untuk seseorang. Toko baju di sini katanya menjual model terbaru dengan kualitas—"     

"Adam?" Belum sempat Davira memungkaskan kalimatnya, Lalita kini membalas aksinya dengan menyela dan memotong kalimat gadis yang kini terdiam sembari mengerang lirih. Menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang diucap oleh Lalita Rahmawati.     

"Selamat atas hubungannya." Lalita menimpali. Tersenyum ringan kemudian mengulurkan tangannya.     

"Mau minum teh denganku?" tanya Lalita kala gadis yang diberi uluran tangan olehnya hanya diam tak bereaksi apapun saat ini.     

***LnP***     

Menyetujuinya dengan syarat tak akan lama sebab Davira ada janji dengan Adam sore ini. Jadi, Davira hanya datang memenuhi tawaran undangan dari Lalita untuk menikmati kopi bersama menyambut senja indah bersama jingganya cahaya yang terjun menghantam bumi sebab gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu memaksa. Katanya ada hal penting yang ingin dikatakan oleh Lalita pada Davira terkait sang adik, Rena Rahmawati.     

"Boleh aku berbicara sekarang?" tanya Lalita menyela fokus gadis yang masih menatap kepulan asap secangkir teh manis yang terkenal nikmat di tempat ini.     

"Hm. Katakan saja," jawab Davira menaikkan tatapannya. Mengarah pada Lalita yang sejenak melipat bibirnya masuk ke dalam mulut dan menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Jangan bilang ke Rena kalau kamu bertemu aku sore ini di depan kursus bales," ucap Lalita membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik milik Davira.     

"Kenapa aku gak boleh—"     

"Kedua, jangan bilang kalau aku mengundurkan diri ke Rena atau pun Adam. Bahkan sahabat kamu atau teman-teman kamu sekali pun." Lalita menyela. Memotong kalimat gadis yang kini tegas menatapnya. Sedikit mengerutkan kedua sisi mata bulatnya sebab ia masih tak mengerti, sebenarnya apa yang sedang ingin dilakukan oleh gadis yang dalam cerita Rena, kakaknya adalah si gadis sialan yang hidup menganggu ketenangannya selama tinggal di bumi. Rena membenci sang kakak, itu lah fakta yang didapati oleh Davira setiap cerita Rena baik secara tatap muka atau hanya sekadar sebuah pesan singkat dan panggilan suara.     

"Ketiga, aku ingin menitipkan Rena sama kamu."     

"K--kenapa kakak bilang begitu. Kak Lita mau pergi ke suatu tempat tanpa Rena ketahui?" tanya Davira kala ia merasa bahwa Lalita terlalu acak dalam berbicara. Bahkan satu kalimat tanya yang dilontarkan Lalita untuknya saja belum mendapat jawaban yang bisa memuaskan hati Davira sekarang ini. Namun, Lalita kembali menghujani Davira dengan kalimat aneh bermakna ambigu yang sukses membuat Davira mengernyitkan dahinya saat ini.     

"Aku akan menjawab tiga pertanyaan kamu secara sekaligus." Lalita menghentikan sejenak kalimatnya. Menarik secangkir kopi yang ada di depannya kemudian menyeruputnya perlahan. Ditatap sepasang lensa indah yang tegas memberi tatapan padanya dengan penuh pengharapan bahwa jawaban Lalita yang akan dikatakan untuknya bisa melegakan dan terdengar masuk akal untuk Davira.     

"Aku keluar dari kursus balet tanpa diketahui Rena. Rena tak boleh tahu sebab ia akan marah besar dan memakiku nanti. Adam dan semua orang yang berhubungan denganku juga tak boleh tau tentang ini. Karena itu akan sangat merepotkan," jawab Lalita tersenyum ringan. Meletakkan secangkir kopi yang ada di dalam genggamannya kemudian kembali meletakkan sorot lensa matanya mengarah pada gadis yang masih diam sebab tak tahu harus memberi jawaban macam apa saat ini untuk merespon Lalita?     

"Aku akan pergi ke luar negeri dan memulai untuk belajar bisnis di sana. Meneruskan perusahaan papa dan meninggalkan semua yang ada di Indonesia, termasuk Rena dan sekolah." Lalita melanjutkan.     

"Aku sudah memutuskan untuk menggantikan posisi Rena saat ini. Aku yang akan menjadi penerus perusahaan bukan Rena," pungkas gadis cantik itu dengan sentum tipis mengembang di atas paras cantiknya.     

Davira diam sejenak. Mencoba menelisik arti tatapan gadis yang duduk rapi di depannya. Ia akan benar mengumpati Lalita kalau gadis itu sedang membual padanya. Akan tetapi, arti tatapan itu Davira mengenalnya. Lalita sedang putus asa saat ini.     

"Kenapa kakak melakukannya?"     

"Karena aku menyayangi Rena."     

... To be continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.