LUDUS & PRAGMA

126. Arunika



126. Arunika

0Tegas langkahnya menaiki satu per satu anak tangga yang menghantarkan tubuh ramping nan tinggi miliknya untuk sampai ke lantai atas. Ia terhenti sejenak. Menghirup napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskan ya perlahan. Selepas pertemuannya dengan Davira, gadis itu tak banyak berucap apapun lali. Di sepanjang perjalanan dengan menaiki bus yang sama namun turun di tempat yang berbeda, Davira maupun Lalita hanya diam. Meskipun sesekali menyela dengan kalimat singkat tak berguna untuk memecah keheningan yang ada juga suasana canggung yang terjadi di antara keduanya.     
0

Lalita mempertanyakan perihal hubungan Davira dengan Adam, sedangkan Davira enggan menjawab dan terus mengalihkan pembicaraan untuk mempertanyakan hubungannya dengan sang adik, Rena Rahmawati. Itulah sebabnya, Davira maupun Lalita tak banyak berbicara.     

Gadis berambut panjang tergerai dengan poni belah tengah indah melengkung di kedua sisi pipi tirusnya itu hanya menutup pertemuan dengan meminta janji pada Davira Faranisa. Jangan memberi tahu Rena. Biarkan waktu dan dirinya sendiri yang mengatakannya dengan jujur nanti.     

Lalita menekan gagang pintu dengan hati-hati. Mendorong perlahan pintu kayu di depannya untuk bisa melangkah masuk ke dalam ruangan yang gelap sebab cahaya lampu sebagai sumber penerangan utama belum dinyalakan. Artinya, Rena sedang tak berada di dalam kamarnya.     

Lalita menekan tombol lampu. Kini cahaya terang tegas menerpa permukaan paras cantik yang terlihat begitu lelah nan lesu. Selepas mengabari sang papa juga sang mama perihal mundurnya dari les balet sebab ingin mengubah cara berpikir menjadi lebih dewasa dan berguna, lali menyimpan surat pengunduran dirinya rapat-rapat. Tak ingin ada orang yang menemukan dan membukanya lagi. Termasuk dirinya. Lalita hanya tak mau kalau nanti, penyesalan datang padanya selepas semua terjadi dan berjalan tak sebagai mana mestinya.     

Gadis itu kini berjalan ringan. Duduk di sisi ranjang yang sering ditempati oleh adiknya. Menatap sejenak suasana kamar Rena yang terlihat biasa nan membosankan. Lalita tak mengerti, apa yang menjadi daya tarik di dalam ruangan persegi ini. Tak ada ornamen dan lukisan indah yang ada di dalam. Hanya dinding putih bersih yang akan terlihat membosankan jikalau ditatap dengan benar. Tak seindah kamar tidurnya yang dihiasi lampu tidur indah dengan berbagai macam hiasan, lukisan, dan miniatur cantik patung balet kecil yang bisa berputar kalau ia menekan tombol di sisinya. Mengeluarkan suara indah nan menenangkan hati.     

Lalita kini kembali bangkit. Berjalan ke sisi ruangan untuk mendekat pada kotak besar yang sudah diketahui isinya oleh dirinya kemarin. Kembali membuka dan mengambil satu kotak persegi dengan ukuran sedang. Mengambilnya dan kembali memutar langkah sepasang kaki jenjang miliknya. Gadis itu menghela napasnya kasar. Menarik kursi belajar sang adik dan duduk rapi di atasnya kemudian membuka kotak yang baru saja diletakkan di atas meja.     

Tangannya kini terulur. Mengambil satu gantungan kecil yang ada di dalam sana. Sebelum ini, Lalita melihat gantungan itu ada di atas meja. Menarik perhatian sang adik dan membuatnya tersenyum manis sebelum berteriak dan meninggikan nada bicaranya pada Lalita kemarin malam. Dan sekarang, gadis itu menemukannya.     

"Ini masih baru," kata Lalita lirih. Menatap gantungan kecil yang kini ada di dalam genggaman tangannya. Kemudian mengalihkan fokus miliknya untuk menatap semua benda yang terkumpul menjadi satu di dalam kotak.     

Fokusnya tercuri dengan kertas yang ada di dasar kotak. Sigap namun dengan penuh kehati-hatian, Lalita mengambilnya. Membaca rentetan kalimat indah yang ditulis dengan menggunakan pena tipis di atas kertas buram. Tulisan latin yang indah. Mirip lukis aksara yang diciptakan oleh sang adik. Ya, Rena lah yang menulis kalimat indah dan menyentuh hati seperti ini.     

"Dia menulis lagunya sendiri?" ucap Lalita tersenyum ringan. Kembali mengerakkan bibirnya samar untuk membaca setiap rentetan kalimat yang masuk ke dalam retina matanya. Kalimat itu sangat indah.     

"Aku ingin menggapai langit, meskipun tanganku tak akan pernah sampai." Lalita memungkaskan kalimatnya sendiri.     

"Jika Tuhan memang benar ada, akan kah dia bisa mengabulkan harapan yang dituliskan dalam sebuah lagu alih-alih di dalam panjatan doa?" Tidak! Kalimat yang baru saja diucapkan olehnya bukan bagian dari lagu indah dituliskan oleh sang adik. Kalimat itu ada di bagian pojok kertas yang terpisah dengan kalimat indah lainnya. Artinya, Rena menulisnya sebab ia tak tahu, harus berbicara dan bertanya pada siapa untuk menemukannya jawabannya.     

Lalita melipat kertas yang ada di dalam genggamannya. Memasukkannya ke dalam kantong saku sweater yang dikenakannya saat ini kemudian kembali menutup kotak yang ada di depannya. Niat hati ingin kembali bangkit dan mengembalikkan kotaknya, namun ia terhenti kala tersadar akan sesuatu. Gantungan kuncinya!     

Gadis itu kembali membuka kotak. Mengambil gantungan kunci dan menimbangnya dengan baik. Baru saja ia teringat akan satu hal yang masuk ke dalam pikirannya. Davira mengatakan dengan tegas bahwa memberi mimpi pada Rena adalah kalimat yang salah. Rena mempunyai mimpi, dan ia akan mempertahankannya untuk sekarang ini. Jadi, tak perlu memberi mimpi padanya. Hanya cukup mendukung dan memberi hal baik yang bisa meningkatkan motivasinya.     

Davira juga menambahkan, bahwa dukungan dan hal baik yang dimaksud tak harus merelakan dan memberikan mimpi yang kita punyai, hanya cukup memberikan hal kecil yang berhubungan dengan mimpi itu.     

"Gantung ini Davira yang memberikannya?" tanya Lalita melirih. Samar ia mengerutkan dahinya. Mencoba menerka dan menebak dengan benar perihal siapa pemilik gantungan kunci ini. Adiknya membeli sendiri? Tidak! Rena bukan gadis yang suka melakukan hal tak berguna seperti ini.     

"Letakkan," sahut satu suara lirih membuyarkan fokus milik Lalita. Memaksa sang gadis untuk menoleh dan menatap siapa yang baru saja datang juga menginterupsi dengan suara lirih miliknya itu.     

"Aku bilang letakkan." Ia mengulang. Berjalan tegas kemudian menyambar gantungan kunci yang ada di dalam genggaman sang kakak. Menatap sejenak paras Lalita yang tegas melukiskan semburat terkejut dengan respon berlebihan milik sang adik. Lalita hanya ingin memegang dan melihatnya. Bukan merusak atau ingin mencurinya.     

"Kenapa kakak masuk—" Ucapan Rena terhenti kala sorot lensanya mendapati kotak yang seharusnya tak berada di atas meja belajarnya. Lalu memindah tatapan dan menatap paras sang kakak yang masih diam tak mampu berkutik lagi.     

"Kenapa kakak ambil? Kakak mau buang itu?" tanyanya dengan nada lirih. Memberi sedikit penekanan di bagian akhir kalimatnya sembari tajam menatap paras milik Lalita Rahmawati.     

Gadis setara tinggi dengan Rena itu tersenyum hangat. "Kakak belikan pizza kesukaan kamu di atas meja makan. Turun dan makan di lantai bawah. Jangan terlalu suka makan di dalam kamar sendirian," papar Lalita mengubah arah topik pembicaraan mereka. Menepuk ringan punggung sang adik kemudian berlalu meninggalkan kamar Rena.     

"Apa tujuan kakak datang ke sini? Karena ingin memeriksa?" Rena menyela. Sukses membuat langkah sang kakak terhenti dan kembali memutar tubuh untuk menatap ke arahnya.     

"Hm. Kakak ingin memeriksa," ucap Lalita berdusta. Gadis itu datang ke kamar Rena hanya sebab satu alasan. Lalita merindukan sang adik. Namun, gadis itu tak kuasa untuk mengatakannya sebab ia terlalu malu saat ini juga akan sangat canggung rasanya nanti.     

"Apa yang ingin kakak periksa? Aku tak akan menganggu hidup kakak. Jadi, tak perlu khawatir soal kelas musik dan daftar anggotanya."     

Rena menghentikan sejenak kalimatnya. Sigap memutar tubuhnya seorang untuk menatap sang kakak yang hanya diam sembari tersenyum ringan padanya. "Kakak bisa lanjutkan mimpi tak berguna milik kakak. Aku juga akan memperjuangkan mimpi murahan milikku sendiri," pungkasnya menutup kalimat. Kembali tak acuh dan berjalan ke sisi ranjang kemudian melempar kasar tas yang ada di atas punggungnya.     

Rena terlihat lelah. Entah dari mana perginya si adik semata wayangnya itu mengingat Rena bukan anak rajin yang menyukai lingkungan sekolah. Gadis itu akan pergi selepas bel pulang nyaring dibunyikan. Namun, perginya bukan sebab ingin kembali ke rumahnya. Rena akan pergi dan mampir ke sebuah tempat yang bahkan Lalita sendiri pun tak pernah benar tahu, kemana sang adik pergi melepas lelahnya.     

Duduk dan berbincang bersama teman-temannya kah? Atau hanya sekarang jalan-jalan di taman untuk menghirup udara segara?     

"Bangun dan mandi. Kakak akan antar pizza-nya ke sini." Lalita menimpali dari ambang pintu. Menatap sang adik yang hanya diam sembari menatap langit-langit kamarnya.     

"Rena kamu dengar—"     

"Benarkah Rena adalah adik kandung kakak?" sela gadis itu memotong kalimat Lalita. Sukses membuat gadis yang berdiri di ambang pintu itu menoleh dan menatap dengan tajam. Kalimat itu adalah kalimat yang paling dibenci oleh Lalita keluar dari mulut sang adik.     

"Bukankan kakak juga pasti berpikir begitu?" Rena mengimbuhkan. Bangkit dari tempat tidurnya kemudian ikut menempatkan fokusnya menatap sang kakak.     

"Kita berbeda dari segala hal. Cara kita berpikir, bersikap, dan bertingkah. Kakak lebih rumit pemikirannya dibanding aku. Haruskah kita tes DNA?" kekehnya menutup kalimat.     

Rena menyeringai. "Sudah kubilang berapa kali. Jangan memprovokasi," jawab Lalita melirih.     

"Kakak tahu aku membenci kakak dari segala hal yang paling ku benci di dunia ini. Tapi kenapa kakak mau tinggal dan merawatku? Bukankah cari muka di depan mama dan papa dengan menjadi mata-mata yang melaporkan segala hal tentang Rena sudah cukup? Maksudku, Kakak bisa membuat laporan palsu agar mama dan papa senang. Memuji kakak dan memberi banyak doa untuk kakak."     

Lalita terdiam. Enggan menggubris sang adik yang terus saja mengoceh tak benar.     

"Kenapa kakak membuangku dan mengatakan pada mereka kalau aku kabur dari rumah? Itu akan lebih mudah untuk—"     

"Karena kamu adik kakak. Adik satu-satunya." Lalita kini menyela. Memotong kalimat Rena yang baru saja ingin meninggikan nada bicaranya.     

"Aku ingin membuangmu bahkan terkadang aku ingin membunuhmu sebab kamu terlalu banyak mengeluh dan berteriak bak orang gila. Akan tetapi jika aku melakukan itu ...." Lalita menghentikan sejenak kalimatnya. Menatap Rena yang jelas menunggu kalimat lanjutan untuk memenuhi perkataan rumpang sang kakak barusan.     

"Aku akan merasa kesepian dan menyesal," pungkas Lalita menutup kalimatnya.     

... To be continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.