LUDUS & PRAGMA

127. Risak Sanubari



127. Risak Sanubari

0Netra indah milik gadis bersurai pekat itu tegas membelah padatnya lorong sekolah yang ada di depannya. Bersama dengan langkah sepasang kaki jenjang yang mengiringinya untuk menapaki satu per satu ubin yang samar memantulkan bayangan kedua gadis yang bertemu di depan kelas pojok lorong. Davira Faranisa berjalan ringan dengan sesekali menoleh pada Rena yang fokus tak mau menoleh sedikitpun. Rasa lapar menguasai keduanya. Perut keroncongan sebab tengah hari datang menyapa dengan hawa panas yang nyata menggerogoti masuk ke dalam celah kancing seragam yang dikenakan oleh keduanya.     
0

"Mau makan apa?" sela Davira sukses mencuri perhatian Rena yang kini menoleh tegas ke arahnya. Sejenak mengerutkan dahinya untuk berpikir menu apa yang pas untuk masuk ke dalam perut mereka di saat lapar akut benar melanda di tengah hawa panas yang datang menyapa.     

"Nasi goreng?" tanya Rena memberi penawaran.     

Davira menggeleng. "Itu enak kalau di makan pagi hari."     

"Soto ayam!" sela seseorang membuyarkan fokus keduanya. Menyela langkah dan membuat kedua gadis yang tadinya saling melempar tatapan itu menoleh ke belakang. Menatap paras remaja berponi naik yang kini tersenyum manis sembari menggoyangkan tangannya untuk menyambut.     

"Gue rasa soto ayam dengan sambel kecap pedas ditambah es jeruk atau es teh bakalan cocok," sambungnya dengan nada tegas. Berjalan membuka celah di antara Davira juga Rena Rahmawati.     

"Setuju," ucap gadis berambut pendek dengan senyum ringan yang menghias di atas paras cantik miliknya.     

Menatap Arka yang kini menoleh padanya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.     

"Ngomong-ngomong, lo gak pergi sama Adam?" tanya Arka menyela. Membuat Davira kini menoleh sembari sejenak memincingkan matanya tajam.     

"Lo pacar dia sekarang. Gue kira di sekolah pun—"     

"Kita masih merahasiakan hubungan kita." Davira memotong kalimat milik remaja jangkung yang ada di sisinya.     

"Gimana kalau ada yang tahu?" Rena menyahut.     

"Selama kalian diam, gak akan ada yang tahu."     

"Lo lupa sama Kayla? Dia brengsek dengan mulut sialannya itu." Arka menimpali. Tersenyum seringai pada gadis yang kini diam bungkam rapat-rapat mengunci bibirnya. Kembali menatap lurus ke depan untuk menghindari kontak mata dengan Arka Aditya juga Rena Rahmawati.     

"Davira," panggil remaja jangkung itu menarik pergelangan tangan milik gadis yang ada di sisinya. Membuat langkah kaki mereka sejenak terhenti diikuti dengan gerak reflek milik Rena yang mengekori aktivitas sepasang sahabat tua di sisinya itu.     

Arka tajam memberi tatapannya pada Davira. Kemudian memindah fokus untuk bisa menatap paras cantik Rena yang diam sebab situasi yang terjadi saat ini, terkesan asing dan sangat tiba-tiba untuknya.     

"Bisa lo duluan dan tinggalkan kita berdua? Ada yang mau gue bicarakan sama Davira," pinta Arka sembari memberi tatapan teduh dan senyum tipis untuk Rena yang menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Gue duluan kalau gitu," ucapnya melirih.     

Davira diam. Hanya menganggukkan kepala tanpa mau berucap sepatah kata pun. Menatap perubahan ekspresi sang sahabat selepas Rena pergi meninggalkan mereka, jelas sudah bahwa Arka sedang dalam masalah kali ini. Entah masalah itu benar sebab hidupnya yang sedang kacau, atau masalah yang muncul dan ada di dalam hidup Davira tanpa gadis itu sadari adanya.     

"Lo mau ngomong apa?" tanya Davira menyela. Melepas perlahan genggaman tangan Arka yang kuat menggenggam pergelangan tangan miliknya.     

Arka menurunkan pandangannya. Menatap jari jemari panjang miliknya yang terpaksa melepaskan genggaman pada pergelangan tangan sahabatnya. Bahkan, hal sekecil ini pun Davira mengubahnya. Dulu, sebelum Davira resmi menjadi kekasih Adam gadis itu tak pernah mempermasalahkan genggaman bahkan rangkulan tangan dari sang sahabat. Akan tetapi, kali ini gadis itu melepasnya. Meskipun perlahan dan amat sangat hati-hati, namun rasanya begitu menyakitkan sebab Davira mulai berubah secepat ini.     

"Soal lo dan Adam." Arka menghentikan kalimatnya. Menatap Davira yang masih diam sembari menunggu remaja jangkung di depannya itu untuk melanjutkan kalimat dan memungkaskan maksud tujuannya menghentikan Davira dalam keadaan perut yang sedang keroncongan seperti ini.     

"Jika sebuah masalah besar timbul nantinya karena hubungan kalian, apa yang akan lo lakuin?" kelit Arka membuat perubahan raut wajah gadis yang kini samar mengerutkan kedua sisi mata bulatnya. Dahinya mengernyit sebab ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Arka Aditya barusan itu.     

"Masalah besar? Seperti apa contohnya?"     

Arka melipat sejenak bibirnya. Mengalihkan tatapan untuk beberapa detik agar tak menatap sepasang lensa indah milik Davira. Rasa sayangnya pada sang sahabat bahkan memberinya sinyal bahwa ada yang tak beres dengan hubungan sahabatnya di masa depan.     

"Misalnya ada orang yang awalnya menjadi teman baik namun setelah lo dan Adam pacaran, dia jadi benci dan—"     

"Lo nonton drama korea lagi?" kekeh Davira menghentikan kalimat milik sahabatnya.     

"Gue bilang jangan terlalu banyak nonton drama dan sinetron. Itu gak baik buat otak labil lo," sambungnya menjitak kasar puncak kepala remaja yang ada di depannya. Sukses membuat Arka mengerang ringan sembari terus menatap paras Davira yang kini tersenyum ringan. Kembali melanjutkan langkahnya untuk segera menyusul Rena yang mungkin saja sudah sampai di kantin sekolah.     

Benar, Davira bukan gadis yang akan memikirkan hal konyol seperti itu. Sifatnya dalam mencinta tak pernah mau bertele-tele dan banyak hal yang dilebih-lebihkan. Davira adalah tipe gadis yang akan memandang bahwa cinta adalah hal bahagia untuk mempersiapkan masa depan. Davira tak suka banyak bermain dalam sebuah hubungan. Baginya, pasangan adalah mereka yang mengingat kepercayaan dalam satu tujuan yang sama. Berjuang dalam duka serta suka menghadapi luka bersama adalah tujuannya datang dan menerima seorang Adam Liandra Kin.     

"Tunggu gue!" teriak Arka kala Davira semakin jauh melangkah darinya. Berlari kecil untuk mengejar sepasang kaki pendek dan ramping milik sang sahabat.     

***LnP***     

Kembali dalam langkah ringan tak bersela sebab Davira ingin segera sampai ke kantin tempatnya mengisi perut yang sudah meronta minta untuk segera di isi dengan apapun yang bisa mengenyangkan perutnya saat ini. Dalam bayangan Davira pastilah Rena sudah sampai di kantin sekolah dan memesan. Menunggu pesanan sembari mengotak-atik tempat sendok dan garpu berada sebab bosan melanda karena Davira Faranisa tak kunjung datang menyusulnya.     

"Lo yakin Rena pergi ke kantin?" tanya Arka menyela. Sukses membuat Davira menoleh dan kembali menatap paras remaja yang kini mulai tak acuh dengan keberadaan dirinya.     

Davira mengikuti arah sorot lensa pekat milik sang sahabat. Menuju ke sebuah sisi lapangan dengan pohon mangga rindang berbuah yang menjadi payung peneduh untuk dua orang gadis hampir setara tinggi dengan wajah yang sedikit identik sedang saling pandang saat ini.     

Rena menggenggam sebuah kertas di sana. Sedangkan si lawan bicaranya masih diam sembari mencoba merebut kembali kertas yang ada di dalam genggaman sang adik. Jikalau ditelisik dan lihat dengan benar, paras Rena sedang kaku sebab suasana tegang datang membentang. Diimbangi dengan perubahan ekspresi Lalita Rahmawati yang sesekali menghela napasnya kasar sebab sang adik memblokir segala fokus juga kalimat yang ingin terucap dari celah bibir merah delima miliknya.     

Davira menghentikan langkahnya. Mengubah arah kaki dan berniat untuk berjalan mendekat ke posisi Rena juga Lalita berada saat ini.     

"Lo yakin mereka gak akan saling tampar lagi 'kan?" Arka menyela. Ikut mengekori langkah Davira yang kini terhenti kala posisi di rasa tak cukup jauh, namun juga tak cukup dekat dengan Rena. Sebab Davira tak ingin mengganggu dan mengacau saat ini. Datangnya kemari dengan menghentikan dan mengubah arah langkahnya bukan untuk ikut campur. Akan tetapi hanya ingin berjaga-jaga kalau saja Lalita lepas kendali dan menampar pipi sang adik lagi.     

"Berikan." Kini suara terdengar sedikit samar mulai masuk ke lubang telinga milik Davira.     

"Kakak bilang berikan." Gadis berambut panjang itu kembali mengulang kala Rena hanya diam tak berkutik atau memberi respon.     

"Jangan ikut campur," ucapnya dengan nada semakin melirih.     

"Kenapa menyerah?" tanya Rena sembari memincingkan matanya.     

"Bukan urusan kamu. Jadi berikan dan kembalilah ke kelas lagi." Lalita kini kembali meraih kertas yang ada di dalam genggaman sang adik.     

Persetanan gila memang mulut teman-temannya itu. Jikalau saja mereka tak menggosip di lorong sekolah hingga terdengar oleh sepasang telinga milik sang adik, maka Rena tak akan pernah tahu bahwa ia keluar dari sekolah siang ini.     

"Papa dan mama yang meminta?" tanya Rena memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya.     

Lalita kini menunduk sejenak. Mengusap kasar wajahnya sembari kembali memohon pada Rena untuk menyerahkan apa yang ada di dalam genggamannya dan kembali ke kelasnya. Seperti biasa, jadilah Rena yang tak peduli dengan kakakmu! Itulah permintaan terakhir yang terucap sebelum helaan napas kasar lolos dari celah bibir milik Lalita.     

"Jelaskan. Jika penjelasannya memuaskan, aku akan mengembalikan ini."     

Lalita bungkam. Mengunci rapat bibirnya sekarang ini. Memangnya apa yang perlu dijelaskan oleh saat ini. Perihal ia mengundurkan diri dari sekolah? Tidak! Rena terlalu malu untuk menjelaskan semua yang sedang bergejolak di dalam hatinya saat ini.     

"Kembalikan ke kakak dan kita bisa bicarakan itu di rumah." Lalita kini memohon. Sedikit mendekat pada sang adik yang diam sembari terus menatapnya tajam. Mencoba menelisik perubahan ekspresi sang kakak yang jelas begitu merasa terganggu dengan keberadaan Rena sekarang ini.     

Gadis berambut pendek itu sigap menarik tas punggung milik sang kakak. Membuat benda berwarna merah muda berbahan kulit taiga itu jatuh ke tanah. "Siapa yang suruh kakak untuk menyerah dan pergi seperti pengecut begini?"     

"Rena ...." Lalita kini memanggil dengan nada yang tak selembut sebelumnya.     

"Siapa yang suruh kakak pergi dan meninggalkan semua bebannya ke Rena?"     

"Rena cukup," ucap Lalita menyela. Melirik sejenak Davira yang ada di belakang punggung sang adik bersama Arka yang tegas memberi tatapan pada Rena juga dirinya.     

"Ada Davira dan temannya. Pergi kembali ke kelas kamu dan—"     

"Kakak bilang untuk tidak membuat diri kita menjadi pengecut yang—"     

"Rena!!!" sentak Lalita sukses membuat Arka memberi respon. Ingin melangkah mendekat ke arah keduanya namun Davira sigap menahannya. Menarik pergelangan tangan Arka sembari menggelengkan kepalanya samar.     

"Kita pergi dari sini," tukas Davira menutup kalimatnya. Menarik tubuh sang sahabat agar menjauh sebab Davira mulai paham apa yang sedang terjadi pada Rena juga Lalita.     

Masalah itu perihal keluarnya Lalita dari segala ambisi untuk mengejar mimpinya demi sang adik.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.