LUDUS & PRAGMA

128. Lindap-Lindap



128. Lindap-Lindap

0"Jelaskan. Jika penjelasannya memuaskan, aku akan pergi." Rena mengulang kalimatnya. Sedikit lirih sebab ia tak tahu, mengapa tiba-tiba saja ada satu rasa aneh menyelimuti dalam hatinya. Rena khawatir jikalau sang kakak benar-benar pergi sekarang. Meninggalkan dirinya sendirian bersama dengan ambisi kedua orang tuanya yang ingin menghabisi dan membunuh seluruh mimpi dan cita-citanya.     
0

"Kakak akan jelaskan jika kita sudah—"     

"Sekarang. Rena gak suka menunggu." Gadis berambut pendek itu menyela. Menatap paras sang kakak yang kini kembali menurunkan pandangannya sembari terus berkacak pinggang dengan helaan napas ringan sedikit gelisah.     

"Kakak pindah sekolah besok pagi. Siang ini kakak harus mengurus semuanya sebelum pergi," ucap Lalita membuat pengakuan. Sukses membuat perubahan raut wajah sang adik yang kini membuang tatapannya ke samping. Ikut menghela napasnya kasar sebab ia tak tahu, apa sebenarnya yang sedang direncanakan oleh sang kakak? Benarkah ia akan kabur meninggalkan Rena sendirian saat ini?     

"Siapa bilang kakak boleh pergi?" Rena mengembalikan tatapannya. Menitikkan segala fokus untuk bisa menelisik dengan benar perubahan ekspresi wajah sang kakak semata wayangnya itu.     

Lalita menghela napasnya. Sejenak menelan salivanya berat sembari mencoba menyusun kalimat yang tepat agar semuanya berjalan lancar siang ini. Sebenarnya, dalam rencana yang sudah di susun Lalita untuk sang adik. Ia ingin pergi diam-diam. Meninggalkan pesan tertulis untuk Rena selapas ia tiba di luar negeri nanti. Mengatakan dan mencurahkan segala isi hatinya pada sang adik dengan menyisipkan kalimat maaf yang ditulis dengan derai air mata penyesalan. Lalita ingin melakukan semua itu dengan penuh ketulusan yang ada di dalamnya hatinya.     

Tak ingin mengatakannya langsung? Sangat ingin. Akan tetapi, ia juga sangat malu sekarang ini. Menatap paras sang adik saja, Lalita sudah tak kuasa untuk membuka mulutnya dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.     

"Kamu pernah mengatakan pada kakak bahwa, cara berpikir dan cara hidup kita itu berbeda. Jadi, mari kita lakukan dengan cara kita masing-masing." Lalita memungkaskan kalimatnya dengan senyum tipis. Mengambil tas punggung miliknya yang masih tergeletak di atas tanah.     

"Siapa yang suruh kakak pergi?" Mengabaikan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Lalita, Rena semakin kokoh dalam pendiriannya hingga kata puas memenuhi dalam benaknya perihal tindakan bodoh yang dilakukan oleh sang kakak.     

"Kakak. Kakak yang menyuruh dan mengijinkan diri kakak untuk pergi dari sini sekarang juga," timpal gadis bermata tajam itu dengan nada ringan.     

"Kenapa kakak jadi pengecut dan lari begitu saja?"     

Lalita diam sejenak. Membuang kasar napasnya kemudian kembali menatap paras sang adik yang jelas melukiskan semburat paras ketidakmengertian sekarang ini.     

"Kakak gak lari kemana pun. Kakak hanya ... berjalan di jalur yang lain."     

Rena melunakkan ekspresi wajah. Kini ia mulai mengerti satu hal. Asalan sang kakak datang ke dalam kamarnya kemarin sore adalah sebab ini. Sebab gadis itu ingin pergi dan meninggalkan semuanya untuk memulai dari awal lagi.     

"Kenapa kakak ambil kertas yang ada di dalam kotak Rena kemarin?" tanya Rena tanpa mengubah sorot arah lensa pekat miliknya. Seakan tak ingin terlewat satu ekspresi pun yang nantinya akan ditunjukan oleh sang kakak.     

Lalita menaikkan sepasang alis melengkung bak pelangi yang datang selepas hujan turun menghantam bumi. Rena kemarin sadar akan hal itu? Jikalau memang iya, mengapa ia baru menanyakannya sekarang?     

"Karena kakak membutuhkannya nanti."     

Rena mengernyitkan dahinya tegas. "Kenapa kakak butuh apa yang menjadi mimpiku. Bukankah kakak bilang mimpi Rena itu murahan?"     

"Bukan mimpinya, tapi cara kamu menggapainya. Bedakan itu," tukas Lalita menyahut.     

"Berubah lah. Jangan buat mimpimu menjadi hal rendah nan mustahil untuk orang-orang. Buatlah mereka percaya bahwa apa yang kamu lakukan hari ini adalah hal yang terbaik untuk mempersiapkan apa yang akan datang besok." Lalita menimpali. Menepuk pundak sang adik yang kini hanya diam tak mampu berkata banyak lagi.     

"Kakak akan pergi ke mana?" tanya Rena dengan nada melirih.     

Lalita menghela napasnya untuk kesekian kalinya. Terdiam sejenak untuk menimang keputusannya kali ini. Haruskah ia mengatakan dengan jujur?     

"Kakak akan pergi ke—"     

"Hm. Singapura." Lalita menyela. Sukses membuat sepasang mata Rena membulat sempurna kali ini.     

"Kursus balet kakak?" tanya Rena kembali menyela.     

"Aku keluar dari sana. Tim sedang mencari balerina utama untuk pentas empat bulan lagi." Lalita menjawab dengan tegas.     

"Aku merelakan semua yang ada di sini untuk mengambil jalan baru yang lebih pas untukku. Mimpi terkadang bisa berubah seiring dengan—"     

"Pembohong!" sela Rena dengan nada gemetar. Membuat Lalita kini kembali mendongak dan memberi tatapan pada sang adik.     

Lensa mata Rena kini berbinar. Seakan menyimpan banyak air mata di dalam sana selepas mendengar pernyataan mengejutkan dari sang kakak.     

"Aku sudah mendiskusikannya dengan papa dan mama. Mereka akan menjemput ku besok pagi. Kamu bisa tinggal dengan bibi di rumah 'kan?" cecar Lalita membuat sang adik benar-benar tak mampu banyak berkata apapun lagi saat ini. Jikalau Rena berucap, maka ia akan benar menangis saat ini.     

"Lagu di dalam kertas yang aku ambil kemarin itu, aku membutuhkannya. Jikalau suatu saat nanti aku menyesali semuanya, aku akan mengambil kertas itu dan membacanya lagi. Membuatku teringat mengapa aku memilih jalan yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya."     

Rena menundukkan kepalanya. Ia kalah! Air mata kini turun perlahan membasahi pipinya.     

"Jadilah gadis baik. Sebab aku sudah memberikan mimpi untuk kamu, balas dengan kamu bisa meraih mimpi itu dengan cara yang elegan." Lalita memungkaskan kalimatnya. Menepuk pundak sang adik yang kini sama terdengar isak tangis di sela tetesan air mata yang terjun membasahi kedua ujung sepatunya.     

"Jangan menangis. Karena aku tak akan memelukmu di tempat umum seperti ini. Itu terlalu memalukan untukmu nanti," tukasnya menutup kalimat. Menganggukkan kepalanya samar kemudian tersenyum ringan.     

"Temui kakak sepulang sekolah di rumah. Kita bisa membicarakan hal yang belum kamu mengerti." Lalita kini kembali menepuk pundak sang adik. Diam sejenak untuk menunggu respon dari Rena Rahmawati yang masih kokoh dalam diamnya. Menunduk membiarkan helai demi helai rambut pendeknya jatuh menutupi sebagian paras cantiknya saat ini.     

Jujur saja Lalita ingin memeluk sang adik. Menepuk punggungnya dengan ringan sembari mencoba menenangkan isi hati sang adik yang pastinya sedang kalut saat ini. Akan tetapi ia tidak bisa melakukannya. Sebab itu akan terasa canggung dan memalukan.     

"Kakak pergi," ucap Lalita berpamitan. Memutar langkah kakinya kemudian tegas berjalan meninggalkan sang adik yang masih mematung di tempatnya saat ini.     

Sekali lagi, ada rasa aneh yang menyelimuti dalam diri Rena Rahmawati. Membuat gadis itu kini meneteskan air mata yang semakin deras saja setiap detiknya. Rena membenci ini. Membenci dirinya yang harus luluh dan menangis sebab hal yang konyol dan menjengkelkan yang membuat hatinya sakit. Kepergiaan sang kakak yang melepas mimpi untuk memberi ruang dan celah padanya agar bisa merasakan indah dan nikmatnya berjalan di jalur yang tepat.     

Gadis berambut pendek dengan paras cantik natural tanpa ada make up berlebih yang menempel di atas wajahnya itu kini berjongkok. Menyembunyikan Isak tangis yang semakin jelas ada di dalam hatinya. Ia ingin pergi dan bersembunyi saat ini. Menjauh dari beberapa pasang mata yang tegas mengarahkan sorot mata mereka untuk menatap Rena. Akan tetapi, Rena tak mampu. Tak mungkin ia berlari dalam keadaan seperti ini. Setidaknya, Rena harus menghentikan isak tangisnya lebih dahulu.     

"Nangis sekencang-kencangnya. Menangis bukanlah sebuah kejahatan." Seseorang menyela isak tangis miliknya. Membuat gadis yang tadinya membenamkan wajah di atas kedua lutut kaki yang saling berjajar itu kini mendongak. Menatap ujung sepatu yang sedikit tak asing untuknya sekarang. Arka Aditya.     

"Gue tutupin kalau malu nangis di tempat umum," ucapnya menoleh. Membuang muka selepas tak sengaja lensanya bertemu dengan sepasang mata sembab milik Rena Rahmawati.     

"Cih, sialan." Rena mengumpat lirih. Menarik fokus Arka untuk menoleh sedikit menunduk agar bisa dengan benar menatap paras gadis cantik dengan hidung memerah di depannya itu.     

"Gue sekarang tahu, kenapa Davira bisa suka sama Lo sebagai seorang teman dekat padahal baru kenal beberapa minggu terakhir," sahut Arka dengan nada meremehkan.     

Rena bangkit. Sejenak mengernyitkan dahinya sebab kalimat yang diucapkan oleh Arka barusan terkesan benar-benar acak dan keluar dari situasi yang sedang terjadi padanya sekarang ini. Rena sedang kalut hatinya. Bukankah ini saatnya Arka menghibur dan memberi motivasi agar hati sang gadis sedikit tenang?     

"Kalian itu sama. Sama-sama gengsian kalau nangis dan sempat-sempatnya mengumpat di sela isak tangis kalian," kekeh Arka tertawa ringan. Sukses membuat lengkungan bibir milik Rena kini tegas mengembang.     

"Dan cara membuat kalian tersenyum kalau hati sedang kalut juga sama. Sama-sama mudah dilakukan," imbuhnya mengacak kasar puncak kepala gadis yang kini menggerutu. Memprotes aksi menyebalkan milik Arka Aditya barusan itu.     

Seseorang menatap keduanya dari kejauhan. Ikut tersenyum singkat sembari terus menfokuskan lensa indahnya untuk memotret segala pemandangan yang sedikit asing untuknya kali ini.     

"Arka punya pacar baru?" sela suara bariton menginterupsi. Memecah fokus milik gadis yang kini menoleh untuk menyambut kedatangan remaja jangkung berponi belah tengah dengan seragam identik dengan milik Davira Faranisa.     

"Kenapa gak dijawab?" tanya Adam melanjutkan. Menatap gadis yang masih bungkam terdiam tak mau berucap sepatah kata pun saat ini.     

Selepas kedatangan Adam yang menginterupsi keheningan dan memecah fokusnya, ingatan Davira kini dipaksa untuk kembali pada momen penutup kencan mereka kemarin sore menjelang malam. Adam dan Davira hanya saling diam. Selepas membicarakan hal pasal pengakuan cinta untuk umum yang diinginkan Adam namun ditolak oleh Davira itu, membuat keduanya saling mendiamkan dan hemat dalam berbicara. Adam pun tak kunjung memberi kabar pada Davira selepas menghantar gadis itu kembali ke rumahnya dan permintaan pulang pada mama Davira.     

Hingga Davira mengira bahwa Adam merajuk sebab hal itu. Sebab keegoisannya untuk tepat diam dan membungkam mulut rapat-rapat hingga waktu yang tepat untuk mendeklarasikan hubungan mereka di depan umum.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.