LUDUS & PRAGMA

131. Rasa Yang Nyata



131. Rasa Yang Nyata

0Suasana hening kini dirasa oleh gadis berambut pendek yang baru saja melangkahkan kakinya masuk melalui ambang pintu yang terbuka lebar. di tengah ruangan nampak sang kakak dengan dua koper besar yang berjajar di sisinya. Menatap layar besar di depannya sembari sesekali tersenyum ringan kala adegan yang masuk ke dalam lensanya.     
0

Rena terhenti sejenak. Malam ini sang kakak akan pergi? Bukankah katanya Lalita akan pergi besok pagi dengan penerbangan pertama?     

"K-kakak mau pergi sekarang?" tanya Rena menyela pada akhirnya. Kembali melangkah untuk mendekat pada sang kakak yang diam dan menoleh sembari mengembangkan senyum manis di atas paras cantik miliknya.     

"Kamu udah pulang?" Lalita menyahut. Menepuk sisi sofa untuk memberi isyarat pada sang adik agar duduk di sisinya.     

Rena terdiam sejenak. Menatap paras Lalita kemudian sigap mengalihkan fokusnya untuk menatap dua kotak pizza dengan dua kaleng soda hitam berjajar rapi di tengah meja. Gadis berambut pendek itu kini berjalan dengan langkah tegas. Meletakkan tas punggung yang digendongnya di ujung sofa kemudian memilih tempat duduk berhadapan dengan kakaknya.     

"Aku kira kamu akan pulang lebih malam dari ini." Lalita tertawa ringan. Memotong pizza yang ada di depannya kemudian sigap mengulurkan dan memberikannya pada sang adik.     

"Pizza keju gak ada pedesnya," ucap Lalita menerangkan singkat. Lagi-lagi tersenyum pada Rena yang hanya terdiam masih enggan bersuara.     

"Kakak mau pergi sekarang?" tanya Rena pada akhirnya. Membuat sang kakak tegas menatap ke arahnya sembari menganggukkan kepalanya. Mengakhiri dengan senyum ringan dan erangan lirih untuk mengiyakan kalimat dari Rena.     

Papa banyak membantu dan lebih cepat dari dugaan kakak. Penerbangan terakhir pukul 9 nanti. Jadi kakak harus bergegas beberapa menit lagi," papar gadis itu menerangkan.     

"Lalu gimana sama Rena. Kakak ninggalin Rena sendiri?" Gadis berambut pendek yang jatuh tepat di bawah telinganya itu kini kembali berucap. Menundukkan pandangannya dengan menatap sepotong pizza yang disodorkan oleh sang kakak padanya. Suara Rena pun terdengar sangat lirih sekarang ini. Seperti tak rela akan kepergiaan sang kakak yang entah akan kembali padanya atau tidak.     

"Kakak akan menghubungi setiap seminggu sekali di akhir pekan. Kalau kakak lupa, kamu bisa menghubungi terlebih dahulu." Lalita menyahut. Dengan tak mengurangi senyum manis di atas paras cantiknya, ia kini kembali menatap sang adik. Lebih tegas menyodorkan sepotong pizza yang ada di dalam genggamannya untuk Rena.     

"Kakak bahagia?" tanya Rena mengubah arah pembicaraan mereka. Lalita yang tadinya menyodorkan sepotong pizza untuk sang adik kini menyerah. Kembali meletakkan pizza yang ada di dalam genggamannya dan menetap sepasang lensa teduh milik Rena.     

"Kenapa kakak melakukannya?" cecar Rena kala gadis yang dilontarkan pertanyaan olehnya hanya diam.     

Lalita kini menghela napasnya ringan. Menarik satu kaleng soda dan membuka tutupnya. Meneguknya perlahan kemudian ber-ah lirih untuk mengekspresikan betapa lega tenggorokannya sekarang ini.     

"Kakak!" pekik Rena sedikit menaikkan nada bicaranya. Bukan untuk memulai pertengkaran, namun untuk memulai berdiskusi intim dengan sang kakak saat ini.     

"Kakak pernah ngajarin Rena kalau melakukan sesuatu harus berdasarkan apa yang membuat kita bahagia nantinya. Kakak bahagia setelah melakukan semual hal bodoh itu?"     

"Bagaimana dengan kamu? Kamu bahagia dengan apa yang kakak lakukan untuk kamu?" kelit Lalita memutar balikkan pertanyaan.     

"Untuk menggantikan posisi Rena, tentunya." Rena berkata dengan jujur. Sebab berdusta dan menutupi segala apa yang dirasakannya bukan lah cara Rena untuk menjalani kehidupannya.     

"Tapi untuk melepaskan mimpi kakak, Rena merasa bersalah untuk itu." Rena kini menundukkan pandangannya. Samat dahinya mengerut sebab jujur saja, dalam hatinya Rena sedikit merasa bersalah kali ini.     

Rena tersenyum. "Kakak sengaja melakukannya. Membuatmu merasa bersalah dan tak enak hati." Lalita kini terkekeh. Sukses membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik natural milik sang adik.     

"Jika benar merasa begitu, balas lah dengan usaha untuk mendapatkan mimpi kamu. Dengan cara yang elegan tentunya," imbuh Lalita dengan nada tegas. Kembali memiringkan pizza dan menyodorkannya untuk sang adik.     

"Makanlah. Setidaknya makan bersama kakak untuk pertama dan terakhir kalinya."     

Rena mendongak. Ditatapnya paras cantik sang kakak yang tegas mengarahkan sorot lensa indahnya pada Rena. Menaruh banyak harapan tinggi agar sang adik mau menerima pemberian darinya untuk terakhir kali sebelum penerbangan datang dan memisahkan mereka dalam jarak yang tak bisa dibilang dekat.     

"Bagaimana caranya?" sahut Rena menerima pemberian sang kakak. Memasukkan satu gigitan kecil ke dalam mulutnya kemudian menyentalkan fokusnya untuk menatap lawan bicaranya saat ini.     

"Maksud Rena, bagaimana caranya menggapai mimpi dengan cara yang elegan?"     

Lalita tersenyum. Selepas sang adik mengigit ujung pizza yang diberikan olehnya, gadis cantik bersurai pekat lurus tak bergelombang sedikit pun itu kini tegas menarik kaleng soda yang ada di depannya. Membukakan tutup dan menyodorkannya pada sang adik.     

"Pertama, jangan membenci hidup kamu sendiri. Sebab tak semua orang bisa hidup dan berjalan dengan kakinya sendiri." Lalita mulai menerangkan. Memicu reaksi dari sang adik yang kini menganggukkan kepalanya samar.     

"Kedua jangan membenci orang-orang yang ada di dekatmu. Sebab tak semua orang bisa memiliki orang terdekat, seperti keluarga dan teman."     

"Ketiga ... lakukan prosesnya dengan baik dan berusahalah dengan benar. Sebab hasil tak akan mengkhianati usahamu, Rena." Lalita memungkaskan kalimatnya dengan tegas. Tersenyum pada sang adik yang kini mengubah makna sorot matanya untuk Lalita. Sebelum ini, Rena tak pernah menatap sang kakak dengan tatapan teduh penuh makna. Juga, Rena tak pernah mau berbincang bahkan duduk bersama dan menyantap makanan yang sama dengan sang kakak. Akan tetapi, hari ini semua seakan sirna. Gadis itu mematahkan fakta bahwa ia membenci Lalita Rahmawati.     

"Ada yang belum kakak sampaikan. Alasan utama kakak melakukan semua ini." Lalita kembali mengimbuhkan. Menatap Rena yang kini mengembalikan fokusnya untuk menatap paras kakak semata wayangnya itu.     

"Kakak terlalu malu untuk mengatakan ini sebelumnya. Akan tetapi, kakak takut bahwa kakak tak sempat mengatakannya setelah pergi."     

Lalita menghentikan sejenak kalimatnya. Menatap Rena yang masih diam sebab menunggu kalimat lanjutan dari gadis yang begitu anggun berpakaian sweater turtleneck berwarna merah padam dengan celana jeans hitam arang dan sepasang sepatu boots cokelat muda yang membalut rapi ke dua kakinya. Polesan make up Lalita pun terkesan sederhana namun cukup untuk menunjang penampilan anggunnya malam ini dengan dua anting tindik kecil berbentuk mutiara yang berpijar kala cahaya menerpa permukaannya.     

"Kakak melakukannya karena kakak ... Menyayangimu. Bukan sebagai seorang anak gadis yang sedang bermimpi, namun sebagai seorang adik yang sedang ingin terbang jauh di angkasa."     

Rena diam. Bungkam tak mampu berucap apapun kali ini. Matanya mulai terasa pedih. Berbinar sebab genangan air mata mulai memenuhi dalam kelopak matanya. Baiklah, Rena kalah! Kini tetes air mata kembali turun membasahi pipinya. Membuat sang kakak bangkit dan datang merengkuh tubuhnya. Pertama dan terakhir kalinya, Lalita memeluk hangat sang adik. Bagi Rena pelukan itu ... sangat hangat!     

***LnP***     

Langkah keduanya tegas membelah sepinya jalanan kompleks. Menikmati embusan angin yang tegas membelai permukaan kulit dua remaja yang kini salin tatapan satu sama lain. Davira Faranisa, alih-alih memilih pulang dengan Adam Liandra Kin, Remaja itu memilih pulang bersama Rena juga sang sahabat, Arka Aditya. Berpisah dengan si teman baru di halte pertama pemberhentian bus dan membuatnya hanya berdua saja dengan Arka Aditya. Lagi, suasana canggung. Tak seperti saat mereka bisa bersua ria tanpa ada halangan rasa apapun, Davira berubah. Lambat laun gadis itu tak bisa sedekat dulu dengan sang sahabat sebab rasa yang dikirimkan Adam Liandra Kin teruntuk gadis itu sukses membuat perubahan di dalam diri seorang Davira Faranisa.     

"Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh Rena pada kakaknya? Mungkin dia memaki Kak Lita seperti sebelumnya?" Arka menyela. Membuat Davira kini kembali menoleh dan tersenyum tipis padanya.     

"Dia tak akan tega melakukan hal itu setelah melihat semua yang tak terjadi."     

"Mereka akan baikan?" tanya remaja jangkung itu sejenak menaikkan satu sisi alisnya. Mencoba menerka bagaimana kelanjutan kisah antara Rena juga Lalita Rahmawati.     

"Kenapa lo jadi kepo banget sama kehidupan Rena? Jangan-jangan lo beneran suka sama—"     

"Hei! Jangan singgung itu lagi!" gerutu Arka mulai kesal. Selepas Rena turun dari bus dan meninggalkan Davira juga Arka di dalam bus, Davira terus saja menghujani Arka Aditya dengan pertanyaan-pertanyaan konyolnya seputar rasa Arka teruntuk Rena. Entah apa yang membuat Davira begitu kokoh untuk mengetahui rasa macam apa yang dipilih sahabatnya untuk menyambut kedatangan seorang Rena Rahmawati dalam hidupnya.     

"Gue seneng kalau lo akhirnya nemuin gadis baik yang bisa membuat lo jatuh hati. Selama kita sahabatan, lo gak gak pernah menyingung pasal itu." Davira mempersingkat. Mengatakan apa yang menjadi alasannya begitu antusias menanyai Arka perihal rasa yang ada di dalam hatinya saat ini.     

"Gue udah nemuin gadis yang bisa bikin gue jatuh cinta. Dan lo udah tahu itu 'kan?"     

Davira menoleh. Terdiam sejenak kemudian berdecak kasar untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hatinya selepas sadar dengan maksud dan arti kalimat Arka barusan itu.     

"Gue pacarnya Adam. Lo tau itu 'kan?"     

Arka menganggukkan kepalanya sembari mengerang ringan. "Sangat tahu."     

"Tapi kalian belum menikah," tukas Arka mengimbuhkan.     

"Jangan bercanda!" ucap Davira memukul pundak lebar milik sahabatnya. Tersenyum ringan kemudian kembali mengarahkan tatapannya jauh ke depan.     

Arka menoleh. Menatap paras cantik sang sahabat dari samping. Entah mengapa rasanya tak akan pernah berkurang sedikitpun untuk Davira. Meskipun gadis itu sudah memiliki tambatan hati lain, bagi Arka sebelum dirinya mati maka ia akan terus berjuang.     

"Gue gak bercanda," jawabnya merespon.     

Davira menoleh ke arahnya. Memberi tatapan sendu pada sahabat yang sejenak menatap kemudian kembali memalingkan pandangannya jauh ke depan. Tersenyum tipis untuk menutup kalimat singkatnya barusan itu.     

Satu hal yang membuat Davira bersikap lain pada Arka selepas hubungannya bersama Adam Liandra Kin dimulai adalah sebab remaja jangkung itu masih kokoh mempertahankan perasaannya untuk Davira. Alih-alih berhenti dan memilih mundur juga mendukung sepenuhnya. Davira hanya takut, kalau ia terlalu dekat dengan Arka banyak hati yang akan tersakiti nantinya. Hati milik Arka Aditya, Adam Liandra Kin, juga hati milik dirinya sendiri.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.