LUDUS & PRAGMA

113. Kekasih Baru Untuk Hari Baru



113. Kekasih Baru Untuk Hari Baru

0Suasana sedikit sunyi mirip dengan rumahnya kalau pagi datang menyapa. Hanya membiarkan cahaya sang surya merambah masuk melalui celah-celah tirai yang terbuka separuhnya. Satu gelas besar berisi susu hangat dan beberapa potong buah segar ada di depannya saat ini. Seakan menjadi jamuan istimewa yang disajikan selapas tuan rumah membukakan pintu dan mempersilakan dengan ramah dan penuh kehangatan untuk mengijinkan si tamu yang datang dan masuk ke dalam rumahnya.     
0

Di atas sofa empuk tengah ruangan inilah Davira menunggu. Sedikit lama, sebab kalau di akhir pekan begini Arka menjadi si pemalas yang kalau belum di sapa oleh sengatan sang surya yang masuk melalui jendela kamarnya, maka ia belum juga bangun dan meninggalkan ranjang empuk miliknya.     

Davira melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiri miliknya. Setengah jam sudah menunggu Arka tanpa ada kepastian dan tanda-tanda remaja itu akan turun ke lantai dasar untuk menemuinya, jadi Davira memutuskan untuk bangkit dan berjalan menaikki satu persatu anak tangga untuk naik ke lantai atas. Menuju Arka dan mengetuk pintu kamar remaja jangkung yang kemarin malam berselisih paham dengannya.     

Langkahnya memelan kala anak tangga terakhir adalah pijakan yang menjadi garis finish sebelum gadis itu dinyatakan berada di lantai atas dan meninggalkan kenyamanannya yang ada di lantai bawah.     

Tangannya kini mengepal. Mengetuk perlahan pintu yang ada di depannya dan menunggu seseorang merespon dari dalam sana. Satu ketukan, tidak ada jawaban dari Arka Aditya. Dua ketukan, tetap diam sunyi sepi bak kamar mati tak berpenguhi. Ketukan ketiga dan—     

"Lo mau berdiri di sana sampek magrib?" sela sesorang menghentikan aktivitas Davira. Mengurungkan niatnya untuk kembali mengetuk pintu kamar remaja yang sudah berdiri sedikit jauh darinya.     

Davira menoleh. Menatap sejenak lantai dasar yang masih sepi sebab Tante Desi dan suaminya berada di dalam kamar pribadinya saat ini. Lalu remaja itu? Bagaimana bisa ia berdiri di sana?     

"G--gue kira lo ketiduran lagi. Jadi—" Belum sempat Davira menyelesaikan kalimatnya, remaja jangkung yang ada di depannya itu beranjak. Memutar langkah dan kini mulai berjalan meninggalkan Davira di tempatnya.     

Arka marah? Bukankah seharusnya Davira yang marah di sini?     

Tak mau banyak menghabiskan waktu untuk berpikir, gadis itu kini tegas memulai langkah sepasang kaki ramping miliknya. Mengekori Arka yang terhenti di balkon rumanya. Duduk di salah satu kursi yang berjajar apik di sisi balkon dengan satu meja kaca berbentuk bulat kecil yang minimalis.     

"Duduk," tukas Arka mengetuk sisi kursi kosong di dekatnya. Mengisyaratkan pada Davira untuk mengambil posisi nyaman sembari memandani jalanan komplek yang ada di depannya.     

Gadis yang tadinya diam sembari menatap teduh remaja yang menggendong tangan kiri dengan berbalut perban itu kini menghela napasnya kasar. Mengikuti interuksi dari si sahabat tanpa bantahan dan sanggahan yang berarti.     

"Lo masih marah sama gue?" tanya Arka memulai kalimatnya.     

Davira diam. Menggelengkan kepalanya kemudian menunduk menatap jari jemarinya yang saling tertaut satu sama lain. Menyita fokus Arka untuk ikut menoleh dan menundukkan pandangannya menatap aktivitas kecil yang dilakukan oleh sang sahabat.     

Remaja jangkung itu paham benar, jika Davira sudah menautkan jari jemarinya itu artinya sang gadis yang menjabat sebagai sahabat masa kecilnya itu sedang merasa gelisah sebab perasaan bersalah yang amat sangat besar dengan menyelimutinya saat ini.     

Arka meraih tangan Davira. Membuat gadis yang duduk rapi di sisinya kini mendongak. Menoleh ke arahnya sembari tersenyum tipis untuk membalas lengkungan bibir milik Arka Aditya.     

"Kita lupakan semuanya. Aku bersalah dan lo bersalah. Kita sama sama bersalah dengan cara yang berbeda," tutur Arka sembari mengusap lembut punggung tangan milik Davira. Mengembangkan senyumnya lebar untuk memberi pengertian pada Davira bahwa semuanya akan baik-baik saja selepas ini.     

"Kemarin malam lo pulang sama siapa?" tanya Davira melunak.     

"Mama yang jemput setelah ngurus motor gue." Remaja di sisinya kini tersenyum kuda. Mengakhiri kalimatnya dengan perasaan bahagia sebab Davira datang menyambanginya dengan sedikit meredakan amarah dan kejengkelan yang ada di dalam hatinya saat ini.     

"Lo sendiri? Pulang sama—"     

"Adam. Dia jemput gue ke rumah sakit."     

Arka terdiam sejenak. Berbeda dari dugaannya. Arka mengira bahwa sahabatnya itu akan kembali berdusta pasal Adam Liandra Kin. Remaja itu kini mengangguk. Tersenyum tipis untuk merespon kalimat pengakuan dari Davira barusan.     

"Ada yang mau gue omongin pagi ini." Davira kembali memulai kalimatnya. Menoleh pada remaja yang masih tegas menatapnya sembari menaikkan kedua alisnya tajam.     

Tatapan remaja itu kini beralih pada kalung dengan gantungan kunci kecil yang melingkar apik di atas leher Davira. Arka mengenal kalung itu. Kalung milik Adam Liandra Kin yang dibeli dan pilihnya bersama Candra juga dirinya beberapa minggu lalu. Kata Adam, ia akan memberikannya pada sang mama sebagai hadiah ulang tahun dan rasa terimakasihnya sebab sang mama sudah dengan sabar dan sangat baik mengurusnya hingga dewasa. Akan tetapi, Adam dusta rupanya. Kalung itu untuk Davira.     

Artinya Adam sudah mengatakan perasaannya untuk kesekian kalinya dan Davira menerima pada akhirnya?     

"Gue dan Adam jadian. Gue adalah pacarnya Adam sekarang," ucap gadis itu menunduk. Melirihkan nada bicaranya seakan ia sedang melakukan kesalah terbesar dalam hidupnya sekarang ini.     

Bingo! Tebakan Arka benar adanya.     

"Kenapa menunduk? Kenapa berbicara dengan nada seperti itu? Lo bikin kesalahan apa emangnya?" cecar Arka memotong kalimat Davira. Tersenyum singkat kemudian melepas genggaman tangannya. Mengacak kasar puncak kepala sang sahabat sembari mendesisi ringan untuk mengekspresikan betapa menggemaskannya Davira saat ini.     

"Bukankah seharusnya lo bilang itu dengan anutusias?" imbuh Arka.     

Davira mendongak. Menatap sang sahabat yang jelas tersenyum ramah padanya. "Lo gak marah?"     

Arka menggeleng. "Lo sendiri 'kan yang bilang? Kalau mencintai atau tidak mencintai si sialan— maksud gue Adam, gak akan mengubah perasaan lo ke gue 'kan? Gue akan tetap jadi sahabat dengan panggilan darurat nomer satu 'kan?" kekehnya mencarikan suasana.     

Davira mengangguk. "Thanks. Gue kira lo akan marah."     

Arka kembali menggenggam tangan gadis yang ada di sisinya. Mengusap punggung tangannya lembut sembari tegas mengembangkan senyum manis di atas paras tampan miliknya. "Ingat pesan gue?"     

Davira diam sejenak. Mengangguk ringan kemudian mengerang lirih untuk memberi respon.     

"Cinta adalah tentang kebahagian, kalau tak bahagia sudahi dan cari jalan lain," paparnya pada Davira.     

"Jangan lepaskan ikatan kita meskipun sekarang ada yang berbeda. Lo adalah sahabat terbaik gue, Ka." Davira menimpali. Ikut mengembangkan senyum manis di atas bibirnya. Bukankah seharusnya ia mengatakan itu untuk dirinya sendiri? Bagaimana kalau ternyata dirinya lah yang melepas genggaman Arka nantinya? Bagaimana jika ternyata dirinya yang menjadi pengkhianat besar dalam hubungan dengan Arka Aditya nanti?     

"Setelah lo mengakui ini, gue harus gimana sekarang?" tanya Arka dengan nada lirih.     

"Lepasin genggaman tangan lo dan sedikit menjauh dari pacar gue." Suara bariton menyela keduanya. Membuat Arka maupun Davira menoleh cepat pada remaja yang sudah berdiri di belakang mereka sembari menenteng sekeranjang buah-buahan yang dibelinya sebelum datang ke sini.     

"Davira berdiri." Ia memerintah. Berjalan mendekat dan meraih bahu gadis yang dengan sigap bangkit dari tempat duduknya. Menatap Adam —remaja jangkung yang usil menarik kursi agar ada celah di antar posisi Arka dan Davira saat ini— dengan tatapan aneh nan bingung.     

"Duduk lagi," katanya dengan nada lembut. Membersihkan kursi yang ada di sisinya kemudian membantu Davira untuk kembali mendapat posisi nyamannya saat ini.     

"Sahabat gue masih bisa duduk sendiri."     

"Pacar gue harus aman dan nyaman dalam mengambil tempat duduk. Gimana kalau ada serangga berbahaya di atas kursinya?" sahut Adam menyela kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Arka padanya.     

"Rumah gue bersih." Arka menimpali dengan nada malas. Melirih sejenak Davira yang hanya diam sembari sesekali menggigit bibir bawahnya. Mereka mulai lagi!     

"Tetap aja. Ini 'kan lingkungan luar. Banyak bahaya yang bisa datang sekarang," protes Adam menyanggah kalimat dari remaja yang kini menghela napasnya kasar.     

"Lo juga, ada ruang tamu yang lebih nyaman di lantai dasar, kenapa harus membawa Davira di tempat jauh dari jangkauan orang tua lo?" tutur Adam semakin tegas memprotes.     

"Ini masih khawasan rumah gue."     

"Lo emang tuan rumah yang buruk."     

"Lo tamu yang gak tau sopan santun," kelit Arka membuat Adam kini tegas berkacak pinggang di depannya. Sesekali menoleh ke sisi Davira yang membuang tatapannya jauh ke samping. Gadis itu kini mulai hapal, kalau Adam dan Arka bertemu dama satu waktu seperti ini maka jangan harap kau akan menemukan ketenangan dan kedamaian.     

"Ngomong-ngomong itu buat gue?" tanya Arka menyela. Mengubah topik pembicaraan sembari menunjuk keranjang buah yang baru saja diletakkan Adam di atas meja.     

"Wah! Tau dari mana lo kalau gue suka apel hijau? Lo menguntit gue?" ledek Arka menarik keranjang buat yang sedikit jauh posisi dengannya saat ini.     

"Gue munggut di tepi jalan tadi. Makan aja," tutur Adam menarik kursi kosong yang ada di depannya. Duduk rapi sembari menatap Davira yang kini tersenyum tipis kala melihat sang sahabat yang begitu antusias. Arka menyukai segala macam apel. Terlebih jikalau itu adalah apel hijau yang baru dipetik dari kebunnya.     

"Gue bantu lap kulitnya," tukas Davira menarik tisu bersih yang ada di sisi meja. Meraih buah apel yang ada di dalam genggaman Arka untuk membantu membersihkan kotoran yang mungkin saja bisa membunuh sang sahabat.     

"Wah, lo masih sama aja rupanya." Arka menyahut. Tersenyum ringan sembari mengacak puncak kepala gadis yang ada di sisinya.     

Panas! Hati Adam panas dan terbakar kali ini. Remaja sialan itu sengaja 'kan melakukannya?     

"Biar aku aja!" Adam menyahut. Kasar menampik tangan Arka untuk tak lagi menyakiti permukaan rambut milik sang kekasih. Meraih buah apel dan tisu yang ada di dalam genggaman Davira kemudian berdecak ringan.     

Davira menatap raut wajah milik Adam. Ia tak tahu kalau saat sedang cemburu begini, Adam bisa menjadi terlihat begitu menggemaskan.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.