LUDUS & PRAGMA

114. Lakukan Itu Bersama!



114. Lakukan Itu Bersama!

0Langkah keduanya tegas menyusuri jalanan trotoar yang menjadi akses utama keduanya untuk bisa sampai ke halte bus yang ada di ujung sana. Tak saling tatap juga hanya terdiam satu sama lain adalah aktivitas keduanya saat ini. Membiarkan hening membentang di antara mereka dan semilir dingin bayu dengan sedikit kehangatan sebab sinar sang surya tegas menyorot menghantam permukaan bumi.     
0

Adam kuat menggenggam jari jemari milik gadis yang kini tegas berjalan tanpa ada keraguan mengiringi langkahnya. Selepas berkunjung dan menjenguk Arka Aditya di rumahnya, Adam menitipkan motor gede miliknya di halaman remaja jangkung yang sebenarnya sudah menolak dengan tegas permintaan Adam sebab rumah Arka bukan tempat penitipan motor hanya karena si pemilik ingin berjalanan kaki menikmati kemesraan dengan pacar barunya.     

Bukan Adam namanya kalau mengindahkan perintah, larangan, saran, dan kritik dari remaja bernama Arka Aditya. Jadi, Adam tetap memaksa meninggalkan motor gedenya di sana. Memilih berjalan kaki bersama sang kekasih untuk menjemput dan mengukir kenangan indah di akhir pekan hingga senja datang menutup hari.     

Kini langkah keduanya terhenti. Duduk di kursi panjang tempat mereka menunggu bus datang dan menjemputnya untuk sampai ke tujuan mereka pagi menjelang siang ini. Pasar minggu! Di sanalah Adam akan membawa Davira untuk meluapkan segala macam bentuk kebahagian hingga mencapai titik kepuasan gadis yang kini menatapnya dengan lengkungan bibir indah di atas paras cantiknya.     

"Kenapa? Ada sesuatu yang mau kamu omongin?" tanya Adam dengan nada lembut.     

Davira menggeleng. "Sangat canggung 'kan?" kekehnya tertawa kecil nan singkat. Tersenyum kuda mengakhiri kalimat juga kekehan kecil miliknya.     

Remaja jangkung yang ada di depannya menggeleng samar. "Tidak terlalu."     

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya gadis yang begitu cantik dengan balutan blouse seperempat lengan berwarna cokelat muda yang dipadukan celana jeans bewarna pekat dan sepasanh sepatu putih bersih sebersih senyum dan tatapannya untuk Adam saat ini.     

Remaja yang duduk berhimpit di sisinya itu mengangguk ragu. Sedikit berpikir untuk mencoba menerka apa yang kiranya sedang mengganggu pikiran gadis yang menjadi kekasih barunya itu.     

Davira tersenyum tipis. Selaman ia mengumpulkan niat dan keberanian untuk menanyakan hal itu pada Adam.     

"Tapi janji dulu, jangan marah atau berpikiran aneh-aneh sama aku." Davira mengacungkan jari kelingkingnya. Menyodorkannya tepat di depan remaja yang kini menatapnya sendu. Tersenyum ringan kemudian membalas jari kelingking milik Davira dan mengangguk samar.     

"Aku gak akan marah dan berpikiran aneh-aneh," katanya tegas. Mengulurkan satu lagi tangan untuk mengusap puncak kepala milik Davira.     

"Kenapa kamu melakukan semua itu? Maksudku, mendekati banyak gadis dan bermain dengan mereka? Meninggalkan mereka dan mencari gadis baik. Hubungan percintaan terasa begitu mudah untuk kamu? Aku tahu kalau—"     

Kalimat Davira terhenti kala remaja yang ada di sisinya tiba-tiba saja mencium pipi kirinya. Meletakkan permukaan bibir merah mudanya untuk menyentuh halusnya kulit milik Davira Faranisa. Melepasnya perlahan kala sukses membuat gadis yang kini menoleh sembari membulatkan matanya tajam hanya diam bungkam tak mampu berkata bahkan bergerak sedikit pun. Sial! Jantung Davira sedang berdemo di dalam sana.     

"Akhirnya kamu diam," tuturnya tersenyum kuda. Sedikit terkekeh kecil nan singkat kala ekspresi lucu ditunjukkan oleh kekasih hatinya itu. Davira terkejut bukan main tentunya. Meskipun ini bukan kali pertama Adam mencium pipinya, namun suasana yang terjadi kali ini lain.     

Kala itu Adam menciumnya di tempat yang sepi. Malam datang dan hanya ada lampu remang yang menyorot sebagai sumber penerangan utama. Akan tetapi, sekarang adalah pagi menjelang siang. Tempat ini pun umum. Banyak orang mengingat bahwa ini adalah pusatnya orang menunggu bus. Meskipun yang sedang menunggu datangnya transportasi umum itu hanya dirinya dan Adam, akan tetapi tetap saja ini adalah siang hari dan jalanan sedang ramai-ramainya saat ini.     

"K--kenapa ka--kamu tiba-tiba m--mmenciumku?" tanya Davira sedikit gugup. Adam? Remaja usil itu hanya terus menatap Davira dengan senyum kuda yang menggemaskan sedikit menyebalkan.     

"Karena aku butuh waktu untuk berpikir dan menjawab. Pertanyaan kamu terlalu panjang," kekehnya mengacak puncak kepala gadis yang ada di sisinya.     

"Aku melakukannya? Ehm ... karena hanya itu hiburanku." Adam mulai membuat pengakuan. Memicu reaksi gadis yang kini mengubah ekspresi wajahnya sedikit aneh. Hiburan? Adam sebrengek itu? Bagaimana kalau dirinya juga dijadikan sebagai hiburan semata saja?     

"Aku hanya ingin mencari jawaban dengan caraku sendiri. Jawaban atas pertanyaan mengapa papa berselingkuh dengan dengan beberapa karyawan wanitanya? Mengkhianati mama dan seolah-seolah semuanya tak pernah terjadi saat papa kembali ke rumah dan bertemu dengan mama. Aku ingin mencari jawabannya sendiri dengan caraku sendiri. Tanpa harus mengganggu kehidupan papa dan mama, juga tanpa membuat Raffa—"     

"Dengan menjadi seperti papa kamu?" sela Davira memotong kalimat remaja yang ada di sisinya.     

Adam menoleh. Menganggukkan kepalanya samar. "Hm. Itu cara terbaiknya."     

"Lalu, jawaban apa yang kamu dapat?"     

"Awalnya aku mengira, berganti pasangan dan bermain bersama perasaan mereka semua itu menyenangkan. Mengenal banyak macam gadis baru yang berbeda sifat dan kepribadiannya. Menikmati masa kebersamaan tanpa harus terbebani apapun di masa depan sebab kita tahu bahwa kita akan meninggalkannya kalau bosan melanda. Menemukan orang baru yang lebih menarik dan menyenangkan lagi, berpaling dari yang ada di sisi kita saat itu. Aku berpikir bahwa semua itu sangat akan sangat menyenangkan. Namun aku salah. Semua itu membuat kita terlihat menyedihkan dan menjijikan dimata orang-orang baik yang tak bisa melihat luka dalam hati kita." Adam melanjutkan. Menerangkan semua yang ada di dalam hatinya saat ini. Membuka lebar-lebar semua tentang dirinya agar Davira tahu bahwa ia bukan remaja brengsek seutuhnya. Ada luka kecil yang sedang disimpannya saat ini. Di mana luka itu hanya Adam Liandra Kin lah yang bisa memahaminya.     

"Terdengar seperti bualan semata 'kan?" tutur Adam tersenyum miring. Menoleh pada Davira yang tegas menggelengkan kepalanya saat ini. Mengembangkan senyum manis di atas bibirnya sembari meraih puncak kepala Adam yang sedikit tinggi untuk diraihnnya. Mengusapnya perlahan sembari berkata lirih.     

"Hari itu dan hari ini kamu melakukan hal yang benar," ucapnya melirih. Sukses membuat Adam terdiam kala sepasang netranya menatap perubahan ekspresi juga sepasang lensa indah milik Davira. Selama Adam mendekati seorang Davira Faranisa, ia tak pernah melihat senyum dan tatapan setulus itu untuknya. Davira kini lain. Bukan gadis dingin tak acuh dengan kalimat pedas dan umpatan kasarnya. Namun, seorang gadis baik yang ada bersama kehangatan dan ketulusan serta kemurnian kasih sayang yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang di luar sana.     

"Aku paham. Paham sekali," imbuh gadis itu sukses membuat Adam mengembangkan senyumnya.     

***LnP***     

Pasar minggu, tempat semua orang beradu untuk menemukan kebahagiaan tersendiri untuk masing-masing orang. Di tempat inilah Adam menyinggahkan tujuannya bersama Davira. Selepas naik bus dan menyusuri jalanan kota, Adam menuntun gadis itu dengan erat menggenggam tangannya menuruni bus. Kembali berjalan untuk sampai ke pusat pameran pasar minggu yang diadakan satu tahun sekali.     

Sebenarnya bisa saja Adam datang bersama Davira menggunakan moge miliknya, akan tetapi gadis itu menolaknya. Kata Davira aka lebih nyaman kalau bisa duduk bersama di dalam bus sembari menatap jalanan yang dilalui, alih-alih berkendara sendiri menerjang padatnya kota. Tak ingin membuat kekasih kecewa, Adam menurutinya. Di sinilah keduanya berakhir sekarang. Berjalan dengan langkah ringan membelah padatnya kerumunan manusia yang juga sedang menghabiskan waktu senggang mereka di dalam pasar.     

"Mau beli sesuatu?" tanya Adam pada gadis yang ada di sisinya.     

Davira menggeleng. "Sejauh ini belum."     

"Mau aku beliin minuman?"     

"Kira baru datang," tukas gadis itu menyela. Mengerutkan bibirnya sebab ia tak tahu kalau Adam bodoh dalam berkencan di akhir pekan.     

"Mau aku beliin makanan?"     

"Kita baru datang." Gadis itu mengulang kalimatnya. Benar, Adam memang tak tahu apapun dengan kencan indah di akhir pekan.     

"Mau aku beliin boneka besar itu?" Remaja jangkung yang terlihat begitu tampan dan mempesona dengan hoodie cokelat muda yang dipadukan celana panjang berwarna pekat senada dengan sepasang sepatu yang membungkus rapi jari jemarinya itu kini menunjuk sebuah boneka besar yang berdiri rapi di depan sebuah kedai kopi bergaya modern.     

"Itu tak dijual," kata Davira melirih. Menatap Adam yang kini tegas mengatupkan bibirnya.     

"Kalau gitu mau duduk di sana? Kamu capek?" tanyannya antusias.     

"Kita baru datang, Adam." Lagi! Jikalau Adam bukan kekasihnya, sudah Davira maki habis remaja kikuk ini.     

"Kamu beneran gak tau caranya berkencan di pasar minggu?"     

Adam menoleh. Sedikit menunduk untuk menatap gadis yang kini menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya serong menatap Adam Liandra Kin.     

"Gak tau?" ulang Davira tegas. Melipat tangannya rapi di depan perut datangnya kemudian sedikit mendongak agar bisa menatap dengan benar paras kekasih hatinya itu.     

Adam menggelengkan kepalanya. Mengerutkan dahinya sembari samar alisnya saling bertaut. "Bisanya aku pergi ke pasar malam dan kafe-kafe di kota. Kalau di pasar malam, baru sekali. Sama Kak Lita."     

Davira terkekeh kecil. "Apa yang kamu lakuin di pasar malam waktu itu?"     

"Aku membelikannya jus dan pulang."     

Kali ini Davira benar-benar tertawa puas. Menatap perubaha ekspresi wajah Adam yang akan sangat cocok jikalau disebut sebagai di culun dan culu yang kikuk saat berkencan dengan gadis.     

"Singkatnya kamu hanya datang ke tempat mewah dan berkelas 'kan? Di sana hanya duduk. Memilih menu mahal dengan rasa yang itu-itu saja, menunggu pesanan datang dan mengobrol dengan topik pembicaraan yang membosankan. Benar 'kan?" tanya Davira pada remaja yang kini menganggukkan kepalanya.     

"Hidup kamu membosankan rupanya," ucap Davira tertawa ringan.     

"Ini pertama kalinya datang ke sini?"     

"Hm. Pasar minggu di tempat ini juga cuma ada satu tahun sekali di hari minggu akhir tahun." Remaja jangkung itu memprotes. Membuat sekali lagi tawa ada di dalam diri Davira.     

"Mau aku ajari bagaimana cara bersenang-senang?" tawar gadis itu mengulurkan tangannya. Menunggu Adam untuk memberi respon dan mengambil uluran tangan darinya.     

"Aku dan Arka sering melakukannya. Mau mencoba?"     

Kini Adam tersenyum. Mengambil uluran tangan Davira dan menggenggam erat jari jemari gadis yang kini menariknya berlari. Menerobos kerumunan yang ada di depan mereka. Hari ini, Adam hanya ingin melihat Davira benar-benar nyaman dan bahagia bersamanya. Meskipun konyol dan asing untuk Adam, namun ia akan tetap mencoba untuk melakukannya. Semua itu hanya untuk membuat senyum tulus selalu ada di atas paras cantik gadis kesayangannya.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.