LUDUS & PRAGMA

115. Sahabat Adalah Sahabat.



115. Sahabat Adalah Sahabat.

0Malam datang selepas senja purna dalam bertugas. Menyisakan embusan dingin hawa bayu yang lembut membelai helai demi helai rambut gadis yang baru saja menatap gerbang besi berwarna abu-abu cerah. Selepas menekan bel rumah untuk kesekian kalinya, Davira Faranisa memutuskan untuk menunggu. Tak ingin terlalu memaksa tuan rumah untuk cepat datang dan bersua menyambut kedatangannya yang bisa dibilang tiba-tiba.     
0

Selepas menyambangi pasar minggu yang kalau sore datang akan menutup seluruh akses masuk bagi pengunjung baru itu, Davira tak langsung dihantar pulang oleh sang kekasih, Adam Liandra Kin. Mereka sejenak mengisi perut yang keroncongan dengan semangkuk nasi dan lauk pauk yang menggugah selera. Berbincang ringan dengan sesekali tertawa untuk mengakrabkan suasana baru di antara mereka. Selepas itu, Davira masih tak ingin pulang dan menutup hari. Malam tiba, gadis yang berpisah dengan sang kekasih beberapa menit lalu itu minta dihantar ke rumah si teman baru, gadis tomboy berambut pendek sebahu yang kalau berbicara suka asal namun dengan tingkat kejujuran yang luar biasa tingginya, Rena Rahmawati.     

Davira meminta Adam untuk meninggalkannya dan pulang ke rumah. Davira bisa kembali menggunakan bus atau taksi nantinya, jadi gadis itu meminta Adam untuk tak terlalu banyak menaruh rasa khawatir untuknya. Awalnya, remaja jangkung berponi belah tengah itu menolaknya. Mengatakan dengan tegas bahwa ia tak suka meninggalkan kekasihnya sendirian seperti ini. Apalagi malam adalah waktu yang tak tepat untuk melakukan hal sekeji itu. Adam akan menunggu Davira hingga selesai berkunjung dan memberikan barang yang sengaja dibelikannya untuk Rena di pasar minggu tadi.     

Bukan Davira kalau tak bersikeras pada pendiriannya. Mengusir dengan penuh kehalusan dan kehati-hatian agar sang kekasih memberinya ruang untuk bisa bertamu di rumah temannya dengan nyaman. Adam mengalah pada akhirnya. Tak ingin banyak berkata dan berakhir pada sebuah selisih paham dengan membuat hari baik sang kekasih menjadi hancur, Adam pergi meninggalkan Davira di depan rumah Rena.     

"Davira?" Rena menyapanya. Membuat gadis yang sedari tadi menatap jauh ke atas untuk melihat ke arah jendela yang dalam tebakan Davira adalah kamar pribadi milik Rena itu menoleh. Menatap gadis yang ada di sisinya kemudian tersenyum manis.     

"Ngapain malam-malam datang ke rumah gue? Sendirian?" tanyannya berjalan mendekat. Mengambil satu langkah untuk mendekat pada gadis yang masih mengembangkan senyum manis di atas paras cantik miliknya sembari sesekali melirik kantong plastik yang ada di dalam genggaman jari jemari indah milik Rena. Menunggu gadis berambut pendek dengan penampilan ala kadarnya itu mendekat padanya.     

"Gue tadi di anter Adam," jawabnya tersenyum singkat.     

Rena menaikkan kedua alis miliknya. Menatap Davira dengan sedikit ketidak percayaan yang ada di dalam dirinya saat ini. Jikalau gadis bersurai pekat itu mengatakan bahwa Arka Aditya lah yang menghantarnya ke sini, maka itu akan menjadi hal biasa yang patut di wajari. Namun jikalau Adam? Davira baru saja pergi dengan remaja itu dan mampir ke sini?     

"G--gue jadian sama Adam." Davira mengimbuhkan. Seakan paham bahwa Rena menyimpan satu pertanyaannya mengapa Davira datang kemari bersama Adam Liandra Kin alih-alih bersama si sahabat Arka Aditya. Rupanya sebab ia memilih dihantar oleh sang kekasih ketimbang si sahabat yang sudah berpuluh-puluh tahun menemani di sisinya dalam suka maupun duka.     

"Selamat." Rena tersenyum. Kalimat singkat itu yang hanya bisa ia katakan saat ini.     

"Mau masuk?" tawar Rena pada gadis yang kini hanya menganggukkan kepalanya ringan. Tersenyum kuda sembari menatap Rena yang baru saja membalas aksi baik nan ramah dari Davira.     

***LnP***     

Ruang berbentuk persegi dengan gaya metal berkesan rock dan terkesan tomboy untuk seorang gadis adalah tempat Davira singgah malam ini. Bersama dengan seorang gadis yang baru saja mengeluarkan beberapa camilan dan satu soda serta teh kotak yang dibelinya di minimarket terdekat sebelum Davira datang menyambanginya. Gadis itu kini melepas jaket yang sedikit kedodoran untuknya. Melemparkannya asal ke sisi ranjang kemudian menatap Davira yang masih menelisik setiap bagian ruang kamar yang terlihat begitu asing untuknya saat ini.     

"Sorry, gue cuma beli camilan sedikit. Habis lo gak ngomong kalau mau dateng," ucap Rena duduk di sisi ranjang. Menatap gadis yang lagi-lagi hanya tersenyum ringan sembari melempar tatapan teduh padanya.     

"Ngomong-ngomong lo jadian sama Adam kapan? Hari ini adalah hari pertama kalian?" tanya Rena antusias.     

"Hm. Ini adalah hari pertama kita."     

"Akhirnya lo memilih untuk mengikuti perasaan lo," ucap Rena sembari tertawa ringan.     

"Arka adalah sahabat gue dan akan menjadi seperti itu. Meskipun dia menyukai gue lebih dari sahabat, tapi gue gak bisa membalasnya. Gue mencintai dia dengan cara yang lain," tutur gadis itu dengan nada lembut. Membuat Rena hanya bisa tersenyum sembari menganggukkan kepalanya setuju.     

"Gue iri sama lo." Rena menyahut. Menarik perhatian Davira yang kini tegas menaikkan kedua alisnya sembari mengerutkan keningnya samar.     

"Lo dicintai banyak orang. Sedangkan gue? Ya ... beginilah." Rena merentangkan tangannya sembari mengangkat kedua sisi bahunya. Tersenyum miring mengakhiri kalimat penjelasan singkat darinya itu.     

"Dan gue iri sama lo juga," kata Davira menyahut.     

"Kenapa harus iri sama gue? Lo lebih bahagia—"     

"Karena lo bisa hidup dengan cara seperti itu. Bahagia dengan cara lo sendiri, memberontak, dan tak acuh adalah hal yang pengen gue lakuin dari dulu."     

Rena terdiam. Menatap gadis yang kini mengatupkan bibirnya selepas mengutarakan apa yang menjadi isi hatinya saat ini.     

"Haruskah kira bertukar posisi?" bisik Rena sambil terkekeh ringan. Gadis di depannya mengimbangi. Ikut tertawa ringan dengan raut wajah bahagia yang tak pernah dirasakannya sebelum ini.     

Rena memang bukan orang istimewa yang mampu memberinya sebuah hadiah mewah untuk membangun persahabatan yang baru saja terjalin di antara mereka, akan tetapi Rena adalah 'sesuatu'. Bagi Davira 'sesuatu' itu sangat mengasyikkan dan membuatnya nyaman.     

"Ngomong-ngomong gue beliin lo ini." Davira menyodorkan tote bag berukuran mini pada gadis yang sejenak terdiam. Menatap wajah Davira kemudian melirik tote bag kecil yang disodorkan padanya.     

"Tadi siang gue ke pasar minggu sama Adam. Gue lihat ini dan kepikiran sama lo," tukasnya menjelaskan singkat.     

Rena mengulurkan tangannya. Mengambil pemberian dari Davira dan membukanya. Terkejut sejenak sebab ia tak menyangka, di tempat ramai seperti itu menjual benda cantik yang amat sangat digemarinya. Gantungan kunci gitar kecil yang mengkilap kalau cahaya menerpa permukaannya. Bentuk dan warna gitar itu pun serasi. Membuat kesan elegen dan cantik juga keren mempesona sepasang mata telanjang yang melihatnya bercampur aduk menjadi satu.     

"Lo suka?" tanya Davira sedikit memiringkan kepalanya. Menatap paras gadis yang kini mengembangkan senyum manis di atas parasnya.     

Rena mengangguk. "Thanks," ucapnya tegas nan singkat. Menimang-nimang benda cantik yang kini resmi menjadi miliknya dengan sesekali ber-woah ringan untuk mengekspresikan betapa bahagia hatinya saat ini.     

"Harus gue ganti dengan harga berapa?" tanya Rena menyela.     

Gadis di depannya tersenyum. "Harganya sangat mahal. Kalau pakek uang lo harus nyicil seumur hidup."     

"Terus gue bayar pakek apa?" tanya Rena mengerutkan dahinya.     

"Persahabatan. Diskon rasa minta maaf gue di dalam sana."     

"Minta maaf?" Rena kini tegas mengernyitkan dahinya. Menatap Davira yang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tegas.     

"Gara-gara gue lo ditampar kakak lo waktu itu. Kalau lo gak belain gue—"     

"Itu bukan salah lo. Ada masalah lain yang membuat si nenek sihir itu marah." Rena menyela. Terkekeh kecil dengan sedikit senyum seringai yang menyela.     

"Gue bayar pakek persahabatan dengan bonus teman seperjuangan." Rena menutup kalimatnya dengan tegas. Membuat Davira kini tegas mengembangkan senyum manis di atas paras cantiknya.     

Semesta sedang baik padanya kali ini.     

***LnP***     

Adam berjalan tegas. Mengekori remaja jangkung dengan satu tangan berbalut perban yang sudah baik membukakan pintu gerbang untuknya bisa masuk dan mengambil moge kesayangannya. Selepas turun dari Halte bus, jujur saja perasaan Adam sedikit tak tenang kali ini. Meninggalkan Davira di rumah Rena bukan alasan utamanya. Akan tetapi yang membuat hatinya gelisah adalah bagaimana Davira akan kembali ke rumahnya nanti? Sendirian? Bukankah Adam itu jahat?     

"Lo udah anter Davira pulang?" tanya Arka menyela lamunan Adam. Membuat remaja itu menoleh sedikit terkejut.     

"Dia minta di anter ke rumah Rena." Remaja jangkung itu menyahut. Merogoh kunci motor yang ada di dalam hoodie miliknya kemudian menancapkannya di lubang kunci.     

"Sendirian? Lo bikin Davira pulang sendirian?!" sentak Arka membulatkan matanya. Menatap Adam tajam.     

"Dia yang maksa," ucap Adam malas. Memakai helm yang baru saja diambilnya dari atas motor dan ikut menatap Arka yang mematung di sisinya.     

"Harusnya lo itu—"     

"Dia yang maksa. Lo tau sendiri 'kan kalau Davira itu keras kepala?" Lagi-lagi Adam menyela. Berucap dengan nada malas.     

"Itu sebabnya lo gak pantes jadi pacarnya." Arka menimpali. Menyeringai tajam untuk mencoba memancing amarah milik remaja yang masih kokoh dalam diamnya. Memutar kunci motor dan menyalakan mesin motornya.     

"Lo mau balik gitu aja? Lo gak mikirin—"     

PLAK! Sigap tangan Adam memukul jidat remaja cerewet yang baru saja menarik motornya untuk mencegah Adam agar tak pergi sebelum ia menyelesaikan perbincangannya dengan Arka.     

"Lo pikir gue mau kemana setelah ini?" tanya Adam berkelit.     

"Jemput Davira," imbuh remaja jangkung itu berdecak kasar di bagian akhir kalimat. Membuat Arka melunak. Melepas cengkraman tangannya kemudian memalingkan wajahnya.     

"Puas?" Adam menyambung kalimatnya. Memicu reaksi dari remaja yang kini kembali menoleh menatapnya.     

"Gue ngomong ini bukan sebagai sahabat sahabat Davira, tapi sebagai Arka Aditya." Remaja berponi naik itu menghentikan sejenak kalimatnya. Menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya kasar.     

"Jangan sakiti dia, jangan bohongi dia, jangan dusta, dan jangan ingkar. Jangan membuatnya menangis dan kecewa. Jangan sulut amarahnya dan jangan—"     

"Gue bukan lo." Adam menyela. Sukses membuat Arka terdiam sembari menganggukkan kepalanya samar.     

"Thanks," pungkas Arka berucap untuk menutup kalimatnya malam ini. Membiarkan Adam pergi menjemput sang kekasih yang jujur saja, sampai saat ini Arka belum bisa benar merelakan Davira untuk bersama Adam. Haruskah ia merebut Davira darinya?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.